[CERPEN] Bisik Ilalang

20 menit di penghujung senja

“HA?!”

Itu adalah seruan pertama yang refleks terlontar dari mulutku, setelah sebuah kekagetan berskala tinggi nyaris melepaskan jantungku dari tempatnya.

Sore itu senja masih membiaskan sisa semburat keemasan pada pucuk-pucuk ilalang yang menghampar pada sebidang tanah di belakang bangunan bekas sekolah yang sudah tak terurus, tak jauh dari perkampungan tempat aku tinggal. Lahan itu nyaris tak terjamah lagi, hingga ilalangnya tumbuh tinggi nyaris melebihi pinggangku.

Dari jarak pandang sekian meter, tentunya aku tak bisa langsung melihat sosok yang mengagetkan itu. Seorang anak lelaki berseragam putih abu-abu, tengah berbaring santai di antara gerumbul ilalang, berbantalkan sebelah tangannya. Sesaat tadi sempat kupikir bahwa tubuh kerempeng itu adalah sesosok mayat, kalau saja ia tak segera membuka matanya.

“Wah, kamu pasti punya banyak waktu luang. Tidur-tiduran di tempat seperti ini, menjelang maghrib begini, masih pakai seragam pula. Apa kamu nggak mikirin kalau orangtuamu mungkin khawatir atau—”

Anak lelaki itu melirikku sekilas, dengan isyarat menyuruhku diam. Lalu, ia kembali memejamkan matanya.

Kukernyitkan dahiku, tak habis pikir. “Apa sebenernya yang kamu lakuin? Jangan-jangan... kamu lagi ngambek sama orangtuamu? Bermaksud minggat dari rumah? Hmm, walau pun pilihan tempatnya lumayan bagus, tetep aja itu tindakan yang sangat nggak dewasa.”

Ia berdecak jengkel, lalu bangkit dari posisi terlentangnya. “Cerewet! Kamu merusak momen.”

“Ha?”

“Ha?” Ia hanya menirukan dengan tak acuh seruan keherananku barusan, tanpa bermaksud memberi penjelasan. Lalu dikemasinya barang-barang yang bergeletakan di sekitarnya —tas sekolah, jas almamater, beberapa buah pensil dan sebuah buku gambar besar, sebelum akhirnya ia beranjak pergi.

Kupandangi punggungnya masih tetap dengan dahi mengernyit. Aku tak begitu mengenalnya, tapi bagiku anak lelaki itu bukanlah sosok yang asing. Yang kutahu ia tinggal di kampung sebelah. Dan tahun lalu ia adalah kakak kelasku di SMP. Kalau tak salah namanya Raka, atau Rafa. Kurang lebih seperti itulah.

Sekian detik berikutnya, setelah kuangkat bahuku sambil memutuskan untuk tidak memusingkan kelakuan ganjilnya lagi, aku melanjutkan langkah dan kembali menyibak ilalang, meneruskan niatku semula untuk mencari kucingku yang hilang setelah dibawa kakakku berjalan-jalan di depan bangunan kosong itu tadi.

“Hei!” Anak itu berseru memanggilku. “Kamu nggak mau pulang?”

“Nanti, setelah kucingku ketemu.”

“Kucing?” Ia mengulangi penjelasanku sambil melangkah mendekat. “Kamu yakin yang lagi kamu cari itu kucing? Bukan kambing atau sapi? Kalau aku jadi kucingmu, aku nggak akan mungkin keluyuran di tempat ini. Buat apa?”

“Cih, emangnya cara berpikirmu seperti kucing?”

“Itu logika umum, tau? Di sini adanya rumput, bukan ikan. Jadi apa yang menarik seekor kucing sampai berkeliaran di tempat semacam ini? Denger ya, lo-gi-ka.”

Penegasannya yang berlebihan pada kata ‘logika’ itu membuatku merasa dianggap dungu atau semacamnya. Kami langsung terlibat debat kusir panjang lebar kala itu, padahal itu adalah kali pertama kami mengobrol.

Tapi ia membantuku mencari kucingku hingga azan maghrib berkumandang. Hasilnya nihil. Lagipula sebenarnya kami memang lebih fokus berdebat daripada mencari.

Saat aku pulang, kucingku sudah lebih dulu ada di rumah.

Tapi hari berikutnya, pada jam yang sama, aku kembali lagi ke hamparan ilalang di belakang bangunan bekas sekolah yang tak terurus itu. Entah apa yang sebenarnya kupikirkan. Pun aku tidak terlalu berharap kalau anak itu masih akan kujumpai di sana. Kalau pun ia ada di sana, lantas kenapa? Ingin meneruskan debat kemarin yang belum selesai? Benar-benar tak penting.

Faktanya, anak itu ada di sana. Masih tetap terlentang seperti itu, memejamkan mata, dengan barang-barang bergeletakan di sekitarnya. Saat itu, buku gambarnya terbuka. Aku dapat melihat suatu sketsa yang belum selesai, coretan-coretan yang ditarik dengan apik oleh tangan yang sepertinya dianugerahi bakat seni.

“Kucingmu belum ketemu?”

Bahkan tanpa membuka matanya, ia sudah langsung tahu kalau yang datang adalah aku.

“Gimana kamu tau kalau ini aku?”

“Dari cologne aroma strawberry-mu yang norak itu.”

Aku jelas tak terima. “Norak katamu?”

“Ssstt...!” Ia kembali menyuruhku diam, tak tertarik meladeni kalimat protesku yang bernada siap perang.

Ya ya ya, aku pastilah dianggapnya merusak momen lagi. “Tapi, apa sebenernya yang kamu lakuin itu? Apa tiap sore kamu pasti tiduran di sini kayak orang gila?”

Ia tak menjawab.

Oke, aku maklum. Seniman memang sering kali bertingkah atau berpikir seperti orang gila.

Beberapa menit berlalu. Aku merasa telah memberinya cukup waktu untuk momen ‘entah-apa’nya, jadi aku tak tahan berdiam diri terus.

“Hei Rafa, karena ada orang lain di sini selain kamu, nggak bisakah kita ngobrol aja? Kamu tau, kelakuan ganjilmu itu—”

“Raka.”, ia mengoreksi ucapanku masih tanpa membuka matanya.

“Oh, jadi namamu yang bener itu Raka toh. Anyway, yang lagi kamu lakuin itu, apakah semacam... lagi nyari inspirasi?”

“Bukan,” ia menjawab dengan tenang. “I’m listening to something.”

“Apa itu? Kicau burung?”

“Bukan.”

“Suara jangkrik?”

“Bisik ilalang.”

“Ha??”

“Ha??” Lagi-lagi ia menirukan —atau lebih tepatnya mencemooh— caraku mengekspresikan rasa terkejut. Dan tetap seperti kemarin, tak ada pertanda bahwa ia ingin menjelaskan hal yang sedang kuherankan.

“Bisik ilalang? Maksudmu suara desau angin di rerumputan?”

“Bi-sik-i-la-lang. Perlu kuulangi sampai sepuluh kali, huh?”

Mengesampingkan kegemarannya menegaskan kata-kata dengan cara mengeja yang menyebalkan seperti itu, aku memandanginya sedemikian rupa. “Kamu bener-bener orang gila rupanya.”

“Bukan kewajibanmu untuk mengerti.”

“Lagian siapa juga yang berusaha mengerti?”, aku bersungut. “Tapi kalau boleh tau, bisikan ilalang itu kedengarannya kayak gimana sih? Apa dia ngomong sesuatu? Ngasih semacam wangsit, gitu?”

It says: suatu hari nanti aku bakal sukses di bidang yang kusukai.”

“Menggambar? Oo...”, kepalaku memang manggut-manggut, tapi gerak bibirku tak dapat kutahan dari sebuah cibiran. Rupanya anak itu hidup di dunianya sendiri yang tak dipahami orang lain. [Baca: agak sedikit sinting]

“Mau lihat karyaku?” Ia menyorongkan buku gambarnya kepadaku.

Aku menerima buku itu dengan ekspektasi yang —jujur saja— cukup tinggi. Ia memang sedikit sinting or such, tapi entah mengapa aku sama sekali tidak meragukannya.

Benar saja, hasil karyanya memang terbilang bagus —terlebih di mata seorang awam sepertiku. Ia menggambar apa saja di buku itu. Pemandangan, mobil, binatang, tokoh kartun, robot, bahkan karikatur.

Sebagaimana naluri umum orang yang tengah menggebu-gebu terhadap sesuatu, melihatku antusias mengamati lembar demi lembar bukunya, dari mulut anak itu langsung meluncur mulus cerita ini dan itu tentang hobi menggambarnya. Terutama, soal mimpinya untuk dapat hidup dari melukis. Menurutnya hidupnya akan sangat bahagia andaikan ia dapat mencari nafkah di bidang yang dicintainya itu.

Bukan aku berbasa-basi demi menyenangkan hati seorang remaja tanggung yang idealismenya tengah menggelora. Saat itu aku meyakinkannya, karena hatiku mengatakan demikian. Aku memang tak tahu banyak soal lukisan, tapi aku dapat melihat sesuatu yang tak biasa pada diri anak itu.

“Kalau gitu, lukis aku!” Pintaku kemudian, memasang pose dan tampang semanis mungkin.

Ia ganti memandangiku dengan dahi mengernyit.

Why? Ada yang aneh sama wajahku?”

Ia menggeleng, menahan tawa.

“Kalau gitu cepetan lukis!”

Tiba-tiba saja, tanpa kuperhitungkan sebelumnya, ia memukul kepalaku menggunakan buku gambarnya. “Lupain ide narsismu itu! Nggak akan pernah.”

“Kenapa?”

“Impossible.”

“Kenapa?”

“Aku cuma ngelukis cewek kalau dibayar.”

“Kenapa?”

“Kenapa, kenapa, kenapa! Bisakah kamu cerewet dengan cara yang lebih kreatif?”, ia mengomel.

“Ke-na-pa!” Aku malah justru semakin ngeyel.

Lalu, penjelasannya benar-benar sok keren. Katanya, jika bukan untuk tujuan komersil, ia tak akan melukis perempuan yang ia kenal, kecuali satu orang saja selama hidupnya.

Ya, tentu saja pengecualian itu akan dipersembahkan bagi perempuan spesialnya. Belahan jiwanya. Pada saat itu, secara aneh, kupikir siapa pun yang kelak mendapatkan kehormatan itu, akan membuatku sangat iri.

Hari demi hari berganti. Aku tetap pergi ke sana setiap menjelang senja tanpa alasan yang cukup jelas, hanya untuk 20 menit bersamanya yang diwarnai perdebatan-perdebatan kecil tak penting. Kurasa aku tak perlu memusingkan alasan, karena ia toh tak pernah menanyakannya. Ia seolah setuju untuk membiarkan hal itu bergulir saja, tanpa perlu mempertegas apa dan mengapa.

Kami membicarakan apa saja, dari topik umum hingga permasalahan pribadi, dengan cara yang ringan dan tidak terlalu serius. Kami bahkan saling mengolok satu sama lain mengenai berbagai hal. Nyaris tak ada satu pun yang luput untuk dijadikan bahan ejekan. Mulai dari gaya berpakaian, cara bicara, potongan rambut, selera musik, makanan favorit, bahkan nama —yang nota bene adalah pemberian orang tua kami.

“Namamu alim ya. Ayu Lestari. Kesannya yang punya tuh orangnya polos, lugu, anggun, sopan dan sejenisnya. But you? Cerewet, usil, menjengkelkan, nggak mau kalah, suka meributkan hal-hal kecil— ”

Mungkin aku sudah marah jika yang mengejekku itu orang lain. Tapi terhadapnya, aku sama sekali tak punya prasangka bahwa ia mengucapkan segala olok-olok itu dari hatinya. Terlepas dari pembicaraan kami yang tak pernah bergulir damai dan baik-baik saja, ada naungan perasaan nyaman tertentu yang tak pernah kudapati di tempat lain. Hanya darinya. Hanya dengannya.

“Apa mimpimu?” Suatu hari ia bertanya.

Pertanyaan sepele, tapi bagiku terdengar seperti sebuah tantangan. Aku tak siap dengan tantangan seperti itu. Sejujurnya, itulah pertama kalinya pertanyaan semacam itu tertuju padaku, termasuk oleh diriku sendiri. Apa mimpiku? Bahkan aku belum pernah memikirkannya.

“Mm..., belum tahu.”

“Ha?”

“Ha?” Aku mengulangi dengan tak senang cara terkejutnya yang menirukan gayaku itu.

“Taukah kamu? Orang yang hidupnya nggak punya mimpi itu—," ia tak melanjutkan pendapatnya. Tapi dari caranya mengendikkan bahu, aku tahu pandangan seperti apa yang bersarang di balik batok kepalanya mengenai persoalan ini. “Bermimpilah! Hidup ini cuma sekali.”

“Cih, mimpi kok disuruh! Lagian aku bilang belum, bukannya enggak.”

“Jangan kelamaan! Emangnya kamu baru akan bermimpi setelah tua?”

“Sombong amat kamu, mentang-mentang punya mimpi.”

“Sombong??”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dan ribut-ribut lagi, seperti biasanya.

Segalanya berjalan seperti itu, dari hari ke hari. Dua puluh menit sebelum maghrib, nyaris tak pernah kurang dan tak pernah lebih. Pun aku tak pernah mencoba datang lebih awal, walau sebenarnya bisa saja. Apalagi janjian bertemu di tempat dan waktu lain, atau bertukar nomor telepon sekadar untuk berkirim SMS di malam hari. Sama sekali tak ada.

Namun aku sudah merasa cukup dengan itu. Makna dari 20 menit itu jauh melebihi segala komitmen murahan yang mungkin dijalin oleh anak-anak muda seusia kami. Setidaknya begitulah yang kupikirkan.

Ratusan hari bergulir. Cuaca tidak selalu bersahabat terus setiap harinya. Adakalanya hujan deras, angin kencang, atau petir sambar menyambar. Kami sabar menunggu, terkadang hingga belasan hari tak bertemu. Tak masalah meski berapa lama pun, karena sore yang tenang tanpa hujan pasti akan datang lagi. Dan pertemuan selanjutnya setelah penantian berhari-hari itu, akan terasa lebih berwarna.

Tanpa terasa, aku segera tumbuh menjadi gadis kelas 2 SMA. Aku tak melanjutkan di sekolah yang sama dengannya. Tapi tak ada yang berubah dengan pertemuan rutin 20 menit kami di setiap penghujung senja. Segalanya masih sama seperti di awal. Sama persis. Kami tetap tak membahas mengapa kami terus bertemu dan sampai kapan akan tetap bertemu, juga akan bagaimana kelanjutannya nanti. 

Suatu hari, setelah berminggu-minggu yang suram berhiaskan rinai hujan, aku menerobos gerimis datang ke belakang bangunan kosong itu. Sebenarnya aku tak yakin ia akan datang. Tapi toh di rumah pun aku tak punya kegiatan lain selain gelisah terus memikirkan ia dan tempat itu. Jadi walau di sana aku hanya akan termangu sendirian, aku tetap memutuskan untuk datang.

Ilalang nampak segar menghijau, semakin lebat dan rapat setelah sekian lama terguyur hujan. Sebersit perasaan lega membuncahi dadaku manakala kudapati sebentuk gundukan berwarna putih menyembul di antara gerumbul ilalang itu. Sebuah payung.

Tapi aku urung melanjutkan langkah. Di bawah naungan payung putih itu, ia tak sendirian. Ada sesosok perempuan berambut panjang berdiri dekat, sangat dekat, di sebelahnya.

Aku tak tahu siapa perempuan itu, mengapa ia ada di sana, dan apa yang akan Raka ceritakan tentangnya. Dan aku tak mau tahu. Tempat itu dan 20 menit sebelum maghrib, adalah milik kami berdua —aku dan Raka. Jika sampai ada orang lain, maka semua itu berakhir.

Segera, sebelum dua orang itu menyadari kehadiranku, aku mengambil langkah mundur, pergi dari sana diam-diam.

Lalu tak pernah datang ke sana lagi hingga seterusnya.

Aku bisa saja mendramatisir situasi hari itu. Mencari-cari kemudian memilah-milah berbagai jenis rasa yang pada saat itu bercampur aduk di hatiku, menamai rasa itu satu per satu, termasuk menangisinya jika aku mau.

Tapi aku tak mau.

Seperti hubungan kami selama itu yang berjalan tanpa nama, tanpa jenis-jenis tertentu dengan masing-masing label pada wadahnya, saat harus berakhir pun kuputuskan untuk tidak menamai apa-apa. Aku enggan untuk menanyai diriku sendiri tentang apa yang kurasa, apa yang kuinginkan, juga bagaimana sebaiknya aku bersikap. Bahkan berusaha melupakan pun tidak. Kuabaikan saja perasaanku seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Hidup terus berjalan. Aku tak pernah mendengar kabar apa pun tentangnya, juga tidak mencari tahu. Ia pun sepertinya sama. Kami menjalani hidup masing-masing di tempat terpisah dan tak pernah sekali pun kebetulan bertemu.

Sore ini, bertahun-tahun kemudian, aku masih saja terkenang senja bersamanya. Jika sedang berlibur di kampung halamanku seperti sekarang, aku masih sesekali menyempatkan diri melirik ke sana setiap kali melintas di jalan depan bangunan sekolah yang tak terurus itu.

Bangunan itu sekarang sudah ambruk. Puing-puingnya sebagian besar sudah tertutup gulma. Dan lahan yang dulu ditumbuhi hamparan ilalang itu, kini sudah berubah menjadi lapangan bola. Jika sore sedang tidak hujan, tempat itu ramai oleh kaum lelaki dari usia SD hingga dewasa muda sekitar 30-an, baik yang datang untuk bermain bola mau pun yang hanya sekadar duduk-duduk menonton saja.

Ada sesuatu yang hilang. Ya, baru setelah beranjak dewasa, aku berani mengakui hal itu. Bahwa 20 menit di penghujung senja bersama Raka yang mewarnai ratusan hariku waktu itu, adalah something important yang kini meninggalkan celah besar menganga di dalam hatiku. Rasanya kosong dan sunyi. Bahkan masih tetap terasa begitu hingga detik ini.

Tapi aku tak menyesalinya. Tak ada secuil pun rasa atau ingatan yang aku merasa perlu untuk menghapusnya, karena aku menyukai segalanya tetap begitu. Termasuk pertanyaannya tentang mimpiku, yang masih saja menyibukkan pikiranku hingga sekarang. Orangnya memang sudah entah di mana, entah masih mengingatku atau tidak, pun entah bagaimana ia hidup sekarang; tapi bagiku ia seperti menantangku sepanjang waktu dengan satu tanya itu.

“Apa mimpimu?”

Sambil melangkah ke beranda, aku menghela napas dalam. Apa mimpiku? Tak ada yang mengharuskanku untuk menjawabnya. Jadi sampai kapan aku akan terus merasa terganggu?

Senja merayap pelan, mendekati 20 menit khusus yang hampir selalu kuingat setiap harinya. Matahari menenggelamkan dirinya sehati-hati mungkin, seolah tak ingin merusak momenku. Semburat keemasannya singgah di pucuk pohon palem di pinggir jalan depan rumahku. Cantik dan syahdu.

Kupejamkan mata, untuk menghirup udara senja sebanyak-banyaknya. Ah, aku benar-benar rindu aroma padang ilalang. Sejujurnya beberapa tahun terakhir, jika aku sedang berdiri di pinggir ladang milik orang tuaku, desau angin pada pucuk-pucuk ilalang terdengar seperti membisikkan nama itu. Raka Wisnu Pratama.

Yeah, begitulah resikonya jika terlalu banyak bergaul dengan orang sinting. Lama-lama pasti ikut tertular sinting.

Di pinggir halaman, ibuku sedang merapikan sisa-sisa sampah bekas pangkasan pohon teh-tehan yang sudah menjadi pagar pekarangan rumahku semenjak aku masih balita dulu. Aku sudah bekerja keras memangkasnya seorang diri tadi, jadi kubiarkan saja beliau membereskan sisanya. Aku bermaksud menemaninya saja sambil duduk-duduk di kursi beranda rumah kami.

Kursi panjang bergaya ukir kuno itu tidak kosong. Ada suatu benda tergeletak di atasnya, memakan sebagian besar tempat. Sebuah benda pipih persegi, ukurannya nyaris selebar permukaan meja ruang tamu, terbungkus kertas sampul berwarna cokelat.

“Ibu, apa ini?” Tanyaku sambil mengamati benda itu penuh rasa ingin tahu.

“Oh, iya. Itu kiriman buatmu.”

“Kiriman? Maksud Ibu paket?”

“Bukan dari jasa ekspedisi. Baru saja, seorang anak lelaki muda, kira-kira seumuran kamu, menitipkan itu ke Ibu. Buat kamu.”

Tak ingin menghabiskan waktu dengan menebak-nebak, kurobek dengan cepat sampul coklat yang membungkus kiriman misterius itu. Sesaat berikutnya, aku terperangah.

Sebuah lukisan!

Butuh waktu tak sebentar bagiku untuk meyakinkan diri bahwa semua ini bukan mimpi. Aku terus memandangi benda itu, tak pulih-pulih dari ketertegunan panjangku.

Yang terlukis di atas kanvas itu adalah... sesosok perempuan. Kelihatannya sama sekali tidak asing. Sosok itu berambut sebahu, duduk bercangkung lutut di hamparan ilalang. Mirip denganku. Atau, itu memang aku. Dan aku nyaris tak memercayai penglihatanku sendiri ketika membaca judul yang tertera di bagian sudut bawahnya: The Only.

Selembar kartu kecil diselipkan di celah pinggir pigura, bertuliskan sederet nomer dan sebuah kalimat singkat: Call me!

“Ibu!” Seruku bergetar. “Anak muda yang nganterin ini... seperti apa orangnya?”

Ibuku mencoba menggambarkan sosok itu dalam beberapa kalimat dan gerakan tangan. Tapi aku bahkan tidak sanggup lagi memfokuskan konsentrasiku untuk mendengarnya.

“Kapan dia datang? Jam berapa? Udah lama?”

“Belum terlalu lama, waktu kamu baru selesai mandi. Sepuluh menitlah kurang lebih.”

Aku berlari ke jalan tanpa memedulikan ketidak-mengertian ibuku. Aku terus berlari, walau akhirnya bimbang sendiri di tengah perjalanan. Lewat mana ia tadi? Letak rumahku bukanlah di gang buntu. Jadi pilihan rutenya bukan hanya satu. Aku tak boleh salah arah. Tak boleh!

Tuhan! Aku merasa frustrasi.

Ah iya, nomor telepon itu. Dengan tak sabar dan gemetar, kupencet deretan nomer itu sambil berharap jemariku tak salah pencet. Cepatlah selesai, cepatlah selesai...

Nada tut panjang yang kudengar dari sambungan telepon, berbunyi lebih dari lima kali. Lama sekali. Apa sebenarnya yang sedang dilakukannya?

“Halo.”

Jantungku bertalu. Suara itu— Ah, mau menangis aku rasanya. “Kamu di mana?”

Ada jeda sejenak sebelum suara itu bertanya dengan ragu. “Ayu?”

“Aku tanya! Kamu di mana??”

“Oh, masih di deket bekas bangunan sekolah kosong itu. Emangnya—“

“Tunggu di situ!”, aku menukas tak sabar. “Jangan ke mana-mana sampai aku datang. Awas ya kalau berani kabur!”

Kututup sambungan telepon tanpa menunggu persetujuannya lebih dulu. Lagi, aku berlari. Aku terus berlari. Tak ada lagi hal lain yang kupikirkan sekarang. Dan aku tahu, tak seorang pun akan sanggup menghentikanku.

Ia ada di sana. Tentu saja telah terjadi beberapa perubahan pada sosoknya, tapi aku tetap dengan jelas mengenali bahwa itu adalah Raka. Ia tengah duduk santai di atas sebuah motor yang terparkir di pinggir jalan. Benar-benar santai sepertinya, sampai-sampai tak merubah posisi duduknya meski melihatku tiba di hadapannya dengan dada naik turun nyaris kehabisan napas.

“Apa kamu bener-bener harus seperti ini?”, ia malah berkomentar ganjil. “Aku kan udah ninggalin nomor telepon dan kita bisa mengatur pertemuan baik-baik dengan cara yang lebih simpel. But now what? Apa kamu punya hobi mempersulit diri sendiri?”

Sungguh, aku segera kehabisan kata-kata bahkan sebelum sempat mereka-reka apa yang sebaiknya kukatakan, di pertemuan pertama kami setelah sekian lama, yang kukira akan luar biasa. Ya, tadi aku sempat berpikir bahwa ini akan mengharu-biru dan semacamnya. Hah, lucu sekali!

Akhirnya aku memilih untuk duduk menyelonjorkan kaki pada rerumputan di pinggir halaman bekas sekolah, menstabilkan napasku dan membiarkan ia menunggu.

Setelah kurang lebih satu menit, ia menegurku. “Hey, say something!”

Aku mendengus jengkel. Mengapa harus aku duluan? “Pertama, jangan ge-er dulu mengenai alasanku nggak bisa menunda lain waktu buat ketemu kamu. Ada beberapa hal mendesak yang harus kuomongin.”

“Se-urgent itu?”

“Ya! Kamu mungkin nggak pernah sadar, tapi aku terus terganggu sama pertanyaanmu, bahkan sampai detik ini.”

“Pertanyaan yang mana?”

“Tentang mimpiku.”

“Ha??”

“Berhenti niru-niruin ‘Ha??’ punyaku itu!”

Ia menanggapi teguran tak senangku dengan sebuah tawa kecil.

 “Nggak peduli berapa kali pun kupikirkan, menurutku nggak seharusnya kamu nyamain orang lain seperti dirimu. Karena nggak semua orang diciptakan seberuntung kamu, yang hobinya adalah sekaligus bakatnya juga, yang dengan mudah bisa bebas bermimpi. Kamu tahu? Buat sebagian orang, mencari tau bakat terpendamnya sendiri adalah pekerjaan yang lebih sulit dari mencari jarum di tumpukan jerami. Apalagi kalau bakat itu harus sama dengan hal yang disukai. Bikin frustasi. Seseorang bisa aja sangat suka dengan musik. Tapi apa dia harus pinter nyanyi atau pinter main musik? Asal kamu tau aja, pembicaraan tentang mimpi sering bikin aku tertekan. Aku merasa—“

Ia mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat agar aku berhenti dulu. Ekspresinya seolah ingin memberitahuku bahwa ia kesulitan mencerna semua kalimat panjangku itu seketika.

Aku tahu, bicaraku cepat dan nyaris tanpa jeda. Kapan lagi, kan? Jika bukan sekarang— well, aku tak tahu apakah setelah ini kami masih bisa bertemu lagi.

“Denger,” lanjutku berapi-api. Tak kualihkan seinci pun tatapanku darinya saat ia turun dari motor dan melangkah menghampiriku. “Aku lebih nyaman untuk hidup tanpa harus pusing mikirin apa mimpiku. Nggak bisakah aku jadi seseorang yang biasa aja? Yang nggak harus memimpikan sesuatu dan harus menjadi sesuatu. Bagiku, asal aku nyaman dengan apa yang kulakukan, hidup sehat dan baik-baik aja, juga tercukupi secara materi, itu udah cukup. Karena bahkan untuk mencapai hal sesederhana itu aja udah cukup sulit untuk kebanyakan orang. Dan justru, faktanya, sebagian besar orang-orang di muka bumi ini adalah jenis yang sama sepertiku. Jadi, walau pun kamu terlahir spesial, bukan berarti kamu punya hak untuk menganggap kami menyedihkan. Oke? Paham?”

Ia duduk berjongkok di hadapanku sambil membuat ekspresi ‘Oh, begitu.’. Sebuah reaksi obrolan khas miliknya, yang selama ini begitu sering kupikirkan. “Jadi, bagaimana hidup yang nyaman versi kamu itu? Apa yang kamu lakuin selama ini?”

“Kerja. Jadi bawahan orang. Emangnya kenapa?” Jawabku sensitif. “Oke, kalau harus cari tahu apa mimpiku, bagiku emang nggak semudah itu. Tapi aku paham kok apa yang kusukai. Sejak sekolah dulu aku merasa keren saat mengerjakan sesuatu yang ada unsur hitung-hitungannya. Jadi aku kerja di bagian Accounting. Atau, di mana pun itu sebenernya nggak masalah, selama aku masih bisa main angka.”

“Bukankah itu artinya mimpi juga?”

“Bukan. Nggak sebesar itu untuk disebut mimpi atau pun hobi. Aku cuma merasa keren aja saat melakukannya. Dan aku nggak peduli pendapat orang lain, karena ini hidupku.”

Dummy!”, ia menoyor dahiku. “Itu kan sama aja. Bedanya di mana?”

Aku tak terima. “Jelas bedalah! Buatmu mungkin hidup itu harus melukis. Tapi aku akan tetep survive dan baik-baik aja andai pun harus ganti kerjaan. See? Hidupku udah fleksibel begini, jadi kenapa aku harus ngikutin aturan ribetmu?”

“Siapa yang ngatur kamu?”

“Kamu udah lupa? Dulu kami bilang ‘Bermimpilah!’ dan semacamnya, lalu memandang aneh orang yang—“

“Aku nggak memandang aneh macem itu.”

“Kamu kira aku nggak paham cara pikirmu?”

“Kenapa kamu nggak berubah sama sekali? Masih aja nggak mau kalah.”

Lalu bergulirlah, perselisihan pendapat seperti dulu. Aku menikmatinya baik-baik kata demi kata, setiap lekuk intonasi, juga setiap detil kecil ekspresi di antara kami. Aneh memang. Sebuah oase perasaan yang mungkin hanya kami sendiri yang memahaminya. Karena walau pun dengan cara yang sama, jika itu dengan orang lain, maka segalanya akan sama sekali berbeda.

Seperti biasa, waktu selalu bergulir lebih cepat setiap kali aku bersamanya. Namun sesaat sebelum kumandang adzan maghrib, ia mengusulkan sesuatu.

Should we look for somewhere else? Somewhere only we know. Kamu lihat sendiri, tempat ini udah nggak kayak dulu lagi.”

Aku mendengus, berlagak mencela idenya. Padahal sebaliknya, hatiku justru merasa lega. Teramat sangat lega.

Dan sisa ilalang di sudut-sudut pinggir lahan yang kini telah menjadi lapangan bola itu berbisik: ini masih akan terus berlanjut, untuk waktu yang sangat lama.***

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya