[CERBUNG] Reuni Merah Bag. 6

Kejadian di vila ini semakin misterius...

 

Menjelang maghrib, aku termenung sendirian di balkon, memikirkan gulungan kertas kecil di dalam lubang pohon. Kertas atau bukan ya? Siapa yang menaruhnya?

Waktu kecil dulu aku sering bermain mencari jejak, yakni permainan menyembunyikan lipatan kertas bertuliskan sebuah permintaan di celah-celah tersembunyi. Kelompok pertama menyembunyikan, kelompok kedua mencarinya.

Petunjuk arahnya kami corat-coretkan di aspal, batu, daun, batang pohon, pagar halaman, tong sampah, atau pot tanaman. Jika berhasil ditemukan, maka perintah yang tertulis di dalam kertas itu harus berhasil dipenuhi. Sebelum dapat menyelesaikan tugas, giliran tak akan berpindah ke kelompok lainnya.

Mungkinkah lipatan kertas atau apa pun yang kutemukan tadi itu, adalah sisa permainan anak-anak desa yang tak berhasil ditemukan?

Hanya saja, ingatan tentang mimpi-mimpi itu mengacaukan kembali pikiran rasionalku. Khawatir bahwa Keyla memang menghendaki sesuatu dariku, lagi-lagi aku berpikir keras. Kurasa sebaiknya besok aku kembali ke sana lagi, memastikan benda apa yang terselip di lubang itu sebenarnya. Dan tanpa sepengetahuan April tentunya.

“Rein!”

Maya tiba-tiba muncul dari arah tangga. Tanpa alas kaki, pantas saja aku tak mendengar suara langkahnya.

“Dari telaga?” Tebakku malas.

Dia mengangguk.

“Kok nyeker?”

“Sandalku di kamar. Susah dipake turun ke sana.”

High heels?”

“Ya.”

Rasakan! Salah sendiri, ke vila pakai sandal hak tinggi. Sok fashionable jadinya malah salah kostum.

“Herman mana?”

Maya tak segera menjawab, pipinya bersemu merah.

Aku nyaris tak dapat menahan tawaku. Sepertinya Maya masih gengsi mengakui Herman sebagai pacarnya. Apalagi Danu berseliweran di sekitarnya dalam keadaan single. Aku yakin jauh di hati kecilnya masih ada perasaan yang menyesalkan statusnya sekarang. Begitulah kalau terburu-buru mengambil tawaran hanya karena ketakutan tidak akan mendapatkan lagi kesempatan yang sama. Kenapa harus menjalani sesuatu yang tidak kita yakini?

Aku sudah ragu sejak awal kalau Maya benar-benar mencintai Herman. Aku sangat kenal seleranya. Dari kosmetik, pakaian, pernak-pernik, bahkan alat tulis, dia tak pernah mau memakai merek murahan. Dia pasti malu mempunyai pacar bertampang biasa saja seperti Herman. Dan malangnya, sejak reuni kemarin Herman terus menempel padanya seperti panu, seolah gadis itu adalah harta berharga yang harus dijaga agar tidak dicuri orang.

“Kalian lengket juga ya,” komentarku berlagak bodoh.

Maya menduduki kursi di dekatku sambil melengos jengah. “Kamu di sini dari tadi?” Tanyanya mengalihkan topik.

“Nggak. Tadi aku ke sebelah timur telaga.”

“Bukannya di sana tebing terjal?”

“Ya. Aku di atasnya.”

“Ngapain?”

“Nyelidikin sesuatu.”

“Maksudnya?”

Aku menimbang-nimbang sejenak, apakah sebaiknya membagi unek-unekku pada Maya atau tidak. Bagaimana harus memulainya? “Mmm, begini. Apa kamu ngerasain sesuatu yang nggak wajar di sekitar sini?”

“Nggak. Biasa aja. Apanya yang nggak wajar?”

“Kalau soal pemilik vila ini, kamu udah tau?”

“Emangnya segitu pentingnya untuk tau siapa dia?”

“Ya pentinglah! Kita ini harus kritis, jangan main terima-terima aja pemberian orang tanpa tahu asal-usulnya.” jawabku sebal.

“Apa bedanya sih tahu atau nggak tahu? Kalau sesuatu udah dikasihin, itu berarti udah legal untuk kita pake. Gratis ini. Toh, kamu juga menikmatinya.”

“Nggak, aku nggak menikmati. Maaf aja, dalam hal ndablek, kita nggak sama.”

Ndablek gimana? Kalau nggak menikmati, ngapain kamu masih di sini?”

“Karena kupikir yang punya vila bakal menampakkan wujudnya hari ini.”

“Mungkin dia ada bareng kita. Dia cuma nggak mau pamer.”

“Bukan nggak mau pamer, May, dia ngerencanain sesuatu.” tukasku yakin.

Maya menatapku alergi. “Please Rein, jangan merusak suasana! Berhenti mengada-ada!”

“Coba kamu pake pikiranmu sedikit aja! Ini bukan tempat biasa, temen kita hilang di sini. Apa dari situ aja kamu nggak bisa ngerasain kejanggalan? Apa kamu bisa ngejelasin kenapa dia harus rahasiain lokasinya? Surprise, huh? Surprise macam apa ini?” Balasku ikut-ikutan kesal.

“Jelas banget kali, karena dia nggak mau rencananya gagal. Kalau udah tau vilanya di sini, mana mungkin anak-anak langsung mau?”

“Nah, see? Kamu sendiri bilang begitu. Ini emang bukan tempat biasa, lokasi ini dipilih karena suatu alasan. Ada sesuatu, Maya. Ada yang nggak beres di sini.”

“Terus? Kalau emang nggak beres, kamu mau ngapain? Ngajakin aku nyelidikin tebing? Ngikutin instingmu yang juga nggak beres itu?”

“Ini bukan cuma insting, tapi logika dari otak yang waras,” tukasku jengkel. Aku heran, biasanya Maya tidak semenyebalkan itu. Kurasa dia sedang senewen pada Herman yang terus mengekornya, sementara dia masih ingin tebar pesona pada Danu.

“Jadi kamu anggep otakku nggak waras? Jangan mentang-mentang kamu bisa rakus ngebut SKS dan lulus cum laude deh, ngeremehin orang seenaknya!” Sergahnya langsung tersinggung.

“Aku nggak bilang gitu, tapi otak yang nggak bebal pasti langsung ngerespon keanehan ini sejak awal. Baca nih!” sahutku menghempaskan surat undangan reuni ke atas meja. “Bagian belakang,” tambahku ketus.

Muka Maya masam tak karuan, tapi dipungutnya juga kertas merah seukuran kartu pos itu, lalu dibacanya.

Mengungkap tabir rahasia. Coba jelasin, rahasia apa yang mau diungkap di suatu reuni kalau itu emang wajar dan biasa!” Tantangku.

Dia tak kunjung menjawab, masih memandangi untaian syair itu dengan muka runyamnya.

“Dan aku mau tau apa yang bikin kalian kompak tidur di bus, bahkan belum pada bangun juga sampai sekian menit busnya berhenti. Pikir, May, semuanya tidur kecuali sopirnya! Apa yang terakhir kamu inget sebelum tidur?”

“Kenapa nanya sama aku? Kamu sendiri kenapa bisa tidur?”

“Karena malemnya aku begadang. Dan jauh sebelum nyampe sini aku udah bangun duluan.”

“Ya udah, kalau kamu emang terjaga kenapa malah nanya sama orang yang tidur? Kamu sendiri lihat apa selama terjaga?”

“Kamu nggak paham inti pertanyaanku, huh?” Tanyaku semakin jengkel.

“Paham. Tapi buat apa aku ngurusin pikiran melanturmu?”

“Melantur? I see. Mungkin di otakmu itu yang ada cuma pikiran gimana caranya naklukin gebetan lama yang masih aja menggoda iman, walau pun kamu udah punya pacar sendiri,” ejekku terang-terangan. “Tapi kalau aku sih lebih memilih waspada, daripada nanti terjadi sesuatu yang buruk di sini.”

Muka Maya memerah. Sangat jelas dari sorot matanya kalau kali ini dia sudah benar-benar marah. “Oh, waspada ya? Caranya? Dengan nyelidikin tebing? Apa yang kamu dapet dari penyelidikan hebatmu itu, huh?”

“Belum. Tapi tempat itu bukan pilihan lokasi yang asal.”

“Oh ya? Berdasarkan analisa apa lagi kali ini? Tempat itu cocok buat mojok berdua sama April?”

Deg!

Pipiku terasa seperti tertampar. Bagaimana dia bisa tahu kalau April menyusulku ke sana?

“Kaget ya aku bisa tau? April sendiri yang ngasih tau. Tadi aku cuma ngetes aja, pura-pura nanya.”

“Ngetes apanya?” Tanyaku tak senang.

“Tempat itu tersembunyi, kan? Cocok untuk melakukan hal-hal pribadi biar nggak terlihat orang.”

“Maya!” Tegurku tak percaya pada kekejaman prasangkanya.

“Terus apa maksudnya kamu nyelidikin tebing? Emang ada hubungannya? Bukannya kamu lagi mancing April supaya ngikutin kamu ke tempat sepi?”

Keterlaluan! Apa sebenarnya yang membuat mulutnya jadi sekejam itu? Cemburu karena tadi aku mengobrol lama dengan Danu?

“Asal kamu tahu aja, akhir-akhir ini Keyla sering dateng ke mimpiku, dan background-nya selalu sisi timur telaga itu, di sekitar pohon yang meranggas. Dan kamu tau apa yang kulihat di sana tadi? Pohon itu bener-bener ada, sama persis kayak yang di mimpi. Aku punya firasat kuat, kalau Keyla itu bukan hilang secara kebetulan, tapi ada yang nyingkirin.”

“Dibunuh, maksudmu? Terus dia dateng ke mimpi kamu buat ngasih tau kalau mayatnya ada di sekitar pohon meranggas? Hebat juga ya firasatmu itu! Tapi kenapa Keyla ngasih tahunya telat?”

“Akan kubuktiin kalau di balik semua ini emang ada sesuatu!” Geramku.

“Kayaknya nggak perlu deh. Lagian emangnya dia bakal balik lagi kalau kamu berhasil bikin pembuktian?”

“Ada apa sama kamu? Kamu masih nganggep dia saingan terberatmu ngerebutin Danu? Oke, aku paham. Kalaupun dia bisa balik, kamu nggak akan suka.”

Maya terdiam.

Dengan emosi meletup-letup kutinggalkan dia menuju taman. Aku nyaris bertabrakan dengan Maria di tangga. Dia tampak panik, bukannya terkejut. Heran, hobinya mencampuri urusan orang sepertinya belum sembuh juga. Pasti dia sedang menguping. Dulu, dia dan dua sohib sejenisnya itu memang paling gemar mengintervensi dua orang yang sedang bermusuhan.

“Bilang-bilang dong kalau di sini!” bentakku padanya.

Maria nampak tak percaya pada sikapku. Aku lebih tak percaya lagi pada diriku sendiri. Tapi masa bodohlah. Kalau Maya saja kuperangi, kenapa dia tidak?

**

Pintu kamar terbuka tanpa diawali suara ketukan. Syifa, Febri dan Fatia menyelonong masuk tanpa mengucapkan sepatah salam pun. Ketiganya segera merubungku dengan gerak-gerik ala preman pasar.

“Ada apa?” Tanyaku tanpa menghentikan aktivitasku memainkan game pada ponsel, sambil duduk rileks di atas sofa.

“Mestinya kami yang nanya ada apa,” jawab Syifa dingin.

“Tapi kalian lihat sendiri nggak ada apa-apa,” sahutku tak acuh. Aku yakin ini pasti menyangkut Maya.

“Kamu apain si Maya?” Todong Fatia dengan intonasi menghakimi.

“Nggak ngapa-ngapain,” jawabku malas.

“Jangan ngelak, Reyna! Dia marah. Kamu udah nyinggung perasaannya.”

“Nah, itu orangnya sendiri udah cerita. Jadi buat apa nanya lagi?”

“Kamu menghinanya, kan? Dan menganggap kami ndablek, bebal dan lain sebagainya, cuma karena kami nggak peduli sama imajinasi paranoidmu?”

See? Mereka memang tidak butuh penjelasanku lagi.

“Cukup, Reyna! Kamu udah berlebihan. Jangan bikin masalah dan akhiri khayalanmu itu!”

“Dan minta maaflah sama Maya!” Saran Febri dengan intonasi yang lebih enak didengar dibandingkan dua kawan impulsifnya itu.

Aku mendengus masam. Mayalah yang seharusnya minta maaf padaku atas tuduhan kotornya.

“Kalau tau sikapmu bakal begini, mendingan kemarin kucegah kamu ikut aja. Kita ke sini mau bersenang-senang, bukannya mau main sandiwara-sandiwaraan konyol khas pikiran fiktifmu,” Syifa bersungut-sungut.

Aku bangkit berdiri, menatap mereka marah. “Silakan aja bersenang-senang! Aku nggak berminat.”

“Kita belum selesai ngomong!” seru Syifa keras saat aku menyelonong menuju pintu.

“Terusin aja acara bersenang-senang kalian! Aku nggak bakal ganggu,” kusempatkan diri menyahut sejenak, sebelum menutup pintu dari luar dengan kasar.

**

 

Aku menikmati makan malam di salah satu meja ruang tengah bersama Astrid, Tita, Santi dan para senior. Semenjak pertengkaranku dengan teman-teman dekatku tadi, aku dan mereka memang saling menghindar. Terhadap yang lain aku beralasan bahwa ini acara untuk bersama, bukan acara kelompok.  Lagipula toh aku cukup dekat dengan semua teman sekelas.

Usai makan, ruang tengah disulap menjadi seperti kelab malam. Meja dan kursi kembali disingkirkan ke gudang. Di antara puluhan orang yang meliuk-liukkan badan di tengah ruangan itu; kulihat Maya, Syifa dan Fatia berada di antaranya.

Maya mengenakan pakaian yang membuatku nyaris terbelalak. Rok jins super pendek, tank top berdada rendah dan cardigan rajut yang ketat di badan. Apa-apaan ini?

Selintas pikiran sinis muncul di benakku. Hebat juga dia bisa menahan udara sedingin ini. Apakah karena lapisan lemaknya cukup tebal?

Jengah menyaksikan semua itu, aku cepat-cepat kembali ke kamar. Ternyata Febri ada di sana.

“Aku nggak suka acara nggak jelas macem itu,” laporku padanya tanpa peduli dia masih memusuhiku atau tidak. “Dan kamu tau apa yang Maya lakuin di ruang tengah?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Febri yang sedang duduk di sofa sambil membaca novel itu mengangguk pelan. “Aku juga nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba jadi aneh begitu.”

“Kamu udah nggak marah lagi sama aku?” Tanyaku sambil menduduki tempat di sampingnya.

“Uhm, sori. Harusnya aku dengerin juga gimana cerita versimu.”

“Tapi aku udah males cerita.”

“Nggak perlu. Secara garis besar, sekarang aku udah bisa memperkirakan.”

“Intinya dia senewen akibat cemburu, karena aku dan Danu masih akrab kayak dulu?”

“Lebih dari itu. Dia benci kenapa di saat kayak gini dia harus berstatus sebagai pacar orang, Herman pula cowoknya. Tuh buktinya, tadi mereka berantem.”

“Maya sama Herman? Apa yang mereka ributkan?”

“Semuanya. Lagian cowok mana pun pasti nggak sukalah kalau pacarnya berkelakuan seperti Maya malam ini. Kayaknya anak itu mabuk deh, Rein. Dia nggak biasanya kayak gitu. Tadi kulihat sih ada beberapa botol minuman keras di meja ruang tengah.”

Apa?

“Feb,” bisikku tercekat. “Apa mungkin...,” lanjutku ragu.

“Apa?” Desak Febri tak sabar.

“...kita semua akan dibikin mabuk malam ini?" Lanjutku setengah berbisik. "Well, mungkin termasuk di menu yang kita makan tadi...”

Febri memandangiku lekat, cukup lama, kemudian menjawab datar, nyaris tak terdengar. “Mungkin aja.”

Aku terkesiap mendengar jawabannya. Bukan karena excited bahwa sekarang Febri sudah ada  di pihakku. Melainkan, jika Febri yang tadi siang masih ngeyel menentang pemikiranku itu saja kini sudah mulai berpikir sama, itu artinya situasi ini memang benar-benar tidak beres.

“Apa yang bikin kamu akhirnya sependapat sama aku?” Tanyaku tak habis pikir.

“Pekerja-pekerja itu,” jawab Febri serius. “Mereka nggak banyak bicara, muncul hanya saat diperlukan, lalu menghilang entah ke mana setelah pekerjaan selesai.”

Itu benar sekali. Jumlah mereka memang hanya tiga orang. Tapi yang bertindak di balik layar? Siapa yang bisa menduga?

“Jadi, apa yang harus kita lakuin sekarang?” Tanyaku tercekat.

“Yang jelas bukan berdiam diri di kamar dan terpisah dari yang lain.”

Aku dan Febri saling pandang sejenak, lalu seperti sebuah kesepakatan tak terucap, kami menghambur bersamaan menuju pintu.

Baru saja kami tiba di ruang depan, petir terdengar sambar menyambar. Pepohonan di luar nampak bergerak-gerak terkena tiupan angin kencang. Tepat ketika jam pada ponselku menunjukkan angka 23.17, hujan turun mengguyur dengan lebat.

Semua yang berada di luar ruangan berhamburan masuk. Musik yang berdentam-dentam sementara tak terdengar, kalah oleh suara curahan berton-ton air dari langit. Semua pintu dan jendela segera ditutup rapat.

Semula kami bertahan di ruang depan. Namun udara semakin dingin menusuk tulang. Aku pamit sebentar pada Febri untuk mengambil kaos kaki di kamar.

Suasana di koridor cukup lengang. Sebelum masuk ke kamar, kuawasi sekelilingku sekilas. Hanya ada satu dua orang melintas. Mereka yang enggan berkumpul di lantai bawah, mungkin kini sudah meringkuk di bawah selimut di kamar masing-masing. Pikiranku sibuk bertanya-tanya, kejutan macam apa yang menanti kami setelah ini?

Kulanjutkan mendorong pintu kamar. Tapi aku urung masuk setelah pintu terkuak lebar. Aku terpaku, tercengang memandangi sebuah adegan yang sedang berlangsung di hadapan kami.

Ada sesosok lelaki di dalam sana. Wajahnya memang tak terlihat karena posisinya membelakangiku, tapi aku jelas mengenali bahwa itu Theo. Ia berada di sofa, sedang melakukan sesuatu terhadap Maya. Sesuatu yang...

Ah, harusnya bukan kejutan macam ini yang kudapati. Kenapa situasi malah melenceng jauh dari keanehan seputar reuni?

Herannya, walau tidak merespon apa yang Theo lakukan, kelihatannya Maya hanya terdiam pasrah. Apakah dia baik-baik saja?

Aku menghambur masuk dengan berbagai macam perasaan. Theo nampak terkejut menyadari kehadiranku. Ia panik dan gugup, berusaha merapikan keadaan dirinya yang setengah amburadul. Sementara Maya tidak bereaksi apa-apa, tetap tergolek lunglai di sofa, kedua matanya terpejam. Hanya sesekali kudengar suara pelannya menggumamkan nama Danu.

Jadi Maya benar-benar mabuk? Oh, please...

“Theo!” Tegurku keras pada cowok berperangai kasar itu. “Kamu sadar apa yang kamu lakuin ini, ha?”

Ia tidak menjawab, sibuk membetulkan ikat pinggangnya. Gerakannya yang gugup membuatnya tidak lekas bisa menyelesaikan pekerjaan sepele itu dengan mudah.

“Seingetku ini bukan pertama kalinya kamu berutang maaf,” geramku. “Dari dulu kamu selalu bikin aku kesal. Fine, waktu itu kudiemin soalnya kamu seniorku. Tapi setelah yang satu ini, jangan harap aku bakal tinggal diam. Siap-siap aja berurusan sama polisi!”

Theo masih tetap tak menjawab, dengan gerak sekenanya disambarnya jaketnya yang tergeletak di lantai, lalu terbirit-birit dia meninggalkan kamar tanpa sepatah kata pun.

Sepeninggal Theo, sambil menghela napas panjang berulang kali, aku membetulkan pakaian Maya yang berantakan, sebagian malah sudah terbuka, kemudian menyelimuti tubuhnya. Dia tetap belum tersadar.

Perasaanku campur aduk. Peristiwa seperti ini sama sekali belum pernah kualami, dan tak pernah terpikir olehku bahwa aku bisa saja mengalaminya. Menjadi saksi tindak pelecehan seksual, dan sahabatku sendiri pula yang menjadi korbannya. Apa yang sebaiknya kulakukan? Bagaimana aku harus menceritakan semua ini kepada yang lain? Aku merasa perlu untuk berpikir.

Cukup lama aku duduk di pinggiran tempat tidur dalam kebimbangan, benar-benar tak tahu harus bagaimana. Sampai akhirnya Febri menyusulku ke dalam kamar.

Sudah kuduga kalau Febri akan keheranan mengapa aku terduduk diam di sini bersama Maya yang tertidur di sofa. Pada akhirnya aku hanya memberitahunya bahwa Maya mabuk. Aku benar-benar tak tega membiarkan orang lain tahu bahwa Maya telah dilecehkan. Bahkan aku berharap Maya tak ingat peristiwa itu, atau lebih baik lagi jika dia sama sekali tak menyadari semuanya sejak awal keterlibatan Theo.

Tak senang melihat kondisi Maya, Febri mengajakku keluar kamar. Beberapa orang dari kamar sebelah menggotong sofa dan meletakkannya di koridor depan kamar. Gaduh, seperti biasa. Tita dan Santi, si biang keributan, masih saja suka bersitegang seperti dulu. Kali ini mereka berebut tempat duduk.

Belum juga aku sempat membuka mulut untuk menegur mereka, tiba-tiba semua berubah gelap. Lampu padam. Koor jeritan para perempuan memecah nyaring sedetik berselang. Panik melanda dalam gemuruh yang menyamarkan suara-suara.

Beberapa saat menunggu, lampu belum menyala juga. Listrik benar-benar padam. Eva yang pemberani mengusulkan untuk mencari lilin ke ruang belakang. Sekawanan tukang ribut itu kontan menolak.

“Ayo Ev, sama aku!” Ajakku akhirnya.

Cahaya remang-remang ponsel membantu kami menyusuri koridor menuju bangunan belakang. Tujuan utamaku adalah menemukan ibu pengurus vila, karena dialah yang tahu di mana penerangan alternatif disimpan. Sejak makan malam usai, perempuan itu belum menampakkan batang hidungnya lagi.

“Bu, Pak, permisi!” Seruku sembari menggedor salah satu pintu kamar di seberang ruangan yang berisi rak, lemari-lemari dan meja setrika.

Eva melakukan hal yang sama pada daun pintu sebelahnya. “Ibu, Bapak, bangun! Kami butuh penerangan nih!”

Tak ada jawaban. Pintu itu tetap rapat tertutup.

Setelah belasan menit berlalu, aku mengajaknya mencari lilin sendiri di lemari-lemari dan rak sekitar kami.

Ternyata sebagian lemari terkunci. Di tempat lain yang dapat kami periksa, barang yang kami cari tak ditemukan.

Sebelum pergi, iseng kuputar gerendel salah satu pintu kamar itu. Terbuka.

Eva segera menyinari kamar yang gelap itu dengan nyala ponselnya. Ternyata tak ada orangnya. Kamar sebelahnya pun ternyata sama saja, tak ada orangnya.

“Tunggu dulu, Ev!” Tahanku saat Eva siap bergegas. Aku melihat setengah batang lilin di atas meja di salah satu kamar.

Lilin itu sudah tidak utuh, tapi dalam situasi ini menjadi benda paling berharga yang diperebutkan banyak orang. Akhirnya diputuskan untuk meletakkannya di ruang depan, karena sebagian besar orang berkumpul di sana.

Aku dan Eva sempat mencari-cari lagi para pekerja vila di seantero ruang tengah dan ruang depan, tapi tak ada juga. Dugaanku semakin kuat saja bahwa seseorang atau sekelompok orang merencanakan sesuatu atas kami. Seperti sopir-sopir minibus aneh yang begitu selesai mengantar kami langsung pergi lagi tanpa beristirahat lebih dulu. Kendaraan-kendaraan itu dibawa pergi, itu artinya kami ditawan untuk tetap di sini.

Hujan mereda perlahan, menyisakan rintik-rintik konsisten yang memperdengarkan suara lebih mencekam dibandingkan sunyi senyap sama sekali. Aku melirik layar ponselku. Pukul 00.21 sekarang. Detik-detik pergantian tahun sudah lewat, luput dari perhatian. Dan sudah nyaris tak terdengar lagi suara orang bercakap-cakap. Tita, Santi dan Eva terkantuk-kantuk bersandar pada sofa.

“Fatia sama Syifa pada ke mana tuh?” Tanya Febri dengan suara cemas.

Benar, mereka tak kelihatan sejak tadi.

“Aku cari deh,” putusku akhirnya. Aku yakin mereka ada di ruang depan.

Belum juga aku selesai menuruni tangga, tiba-tiba terdengar suara jeritan histeris perempuan, yang langsung diikuti kegaduhan di ruang depan. Penasaran, aku mempercepat langkahku ke sana.

Di tengah ruangan, seseorang terduduk lunglai di atas lantai dengan wajah pucat dan bibir gemetar. Beberapa orang merubungnya. Astaga! Itu Syifa.

“Key..... Keyla,” ucapnya lirih dan terbata. Ekspresinya gabungan antara hendak menangis dan ketakutan.

 “Ada Keyla di depan,” jelas Sigit tersengal. Tubuhnya bersandar lemas pada tembok.

Deg!

“Jangan becanda, Git!” Tegur seseorang terdengar tak senang.

“Ini serius. Beneran ada Keyla. Pake baju merah.”

“Ba-baju merah?” Ulangku tercekat.

Seantero ruangan langsung diliputi ketegangan.

“Ngapain kalian ke depan-depan? Lagian gelap-gelap begini mana kelihatan? Mungkin itu bukan Keyla,” sahutku berusaha untuk tidak percaya, meski perasaan takut mulai menyelinap ke dalam diriku.

“Aku nemenin Syifa nyari sandalnya yang kehujanan di luar. Waktu nggak sengaja senter yang kupegang nyorot ke depan, aku lihat sepintas sesuatu berwarna merah. Setelah sandal Syifa ketemu, penasaran aku nyorot ke tempat itu lagi. Dan ternyata....”

“Ternyata Keyla,” sambung Syifa dengan suara masih bergetar. “Aku masih inget banget wajahnya, itu emang Keyla. Bukan itu aja, postur tubuh sama potongan rambutnya juga masih sama kayak dulu. Dia pasti... hantu.”

Semua orang menciut di tempatnya masing-masing. Suasana semakin mencekam. Gerimis di luar masih terdengar suara rintiknya, menjadi musik latar bagi nyanyian kodok yang sayup bersahutan dari arah telaga.

“Ada apa?” Tanya Imam yang muncul dari pintu penghubung ruang tengah bersama beberapa orang lainnya. Maria salah satunya.

“Ada hantu Keyla,” lapor Romi seolah memang sudah pasti bahwa yang dilihat Syifa dan Sigit adalah arwah gentayangan Keyla.

“Ap... apa? Hantu??” Sahut Maria tergagap, mimik wajahnya terlihat jauh lebih ketakutan daripada Syifa yang mengaku melihat sendiri.

“Belum tentu. Jangan terburu-buru memastikan!” Tukasku cepat. Sebagian diriku memang memercayainya, bahkan sebelumnya aku sudah membayangkan ini. Tapi sebagian lainnya menolak untuk percaya.

“Tapi mataku nggak mungkin salah. Dia emang Keyla. Terus apa kalau bukan hantu? Dia masih hidup, gitu?” bantah Syifa ngotot. “Lagian bukannya kamu sendiri Rein yang begitu yakin Keyla mati dibunuh?”

“Keyla dibunuh?” Ulang beberapa orang terkejut. “Kamu punya buktinya, Rein?”

Aku merasa tersudut. Tatapan di sekitarku menghujaniku dengan sorot menuntut jawaban. Aku jadi kelimpungan sendiri dibuatnya.

Saat itulah April dan sisa teman-teman yang belum berkumpul datang bergabung. Aku sempat berharap situasi menyelamatkanku. Tapi hanya sekejap. Romi segera menjelaskan duduk permasalahannya. Dan tatapan semua orang kembali menghujaniku.

“Ah, Reyna kan emang gitu. Khayalannya ngaco. Kebanyakan baca novel detektif. Kalian percaya sama maniak fiksi macem orang ini?” Sela Fatia tiba-tiba.

“Tapi mungkin Reyna ada benernya. Keyla dibunuh. Buktinya hantunya gentayangan,” ucap Sigit membelaku.

“Maksudnya..., dia gentayangan buat menuntut balas kematiannya?” Celetuk Tita polos.

“Ini lagi, makin ngaco aja!” omel Fatia memelototi Tita.

“Ya terus ngapain gentayangan kalau bukan buat balas dendam? Lagian kalian inget? Sekarang kan hari ulang tahun kelahirannya, sekaligus tanggal kepergiannya.”

Akhirnya Imam menengahi situasi dengan memimpin doa. Tapi itu tidak mampu menenangkanku. Bagiku ini lebih dari sekadar isu hantu. Ada dalang yang mengendalikan permainan di sini. Bisa jadi orang itu adalah oknum yang sama dengan yang telah menyebabkan Keyla menghilang. Itu artinya, keyakinanku bahwa Keyla dibunuh membuatnya mewaspadaiku. Atau bisa jadi malah mengincarku.

Sementara yang lain khusyuk mengaminkan doa, aku mengawasi sekelilingku diam-diam, mengamati ekspresi wajah dan gelagat mereka satu per satu, barangkali saja ada yang mencurigakan. Tapi baru sebagian kecil kuamati, tatap tajam seseorang membuatku tersentak.

April! April tengah mengawasiku. Bukankah...

Deg!

Aku baru ingat lagi sekarang, dia mengikutiku ke sisi timur telaga sore tadi. Sekujur tubuhku menegang. Kecurigaanku semakin kuat, sekuat rasa takutku. Kenapa aku baru sadar sekarang? Sejak tadi sore, gerak-gerikku telah secara khusus diawasi. Aku tidak dapat lagi bergerak bebas. Bagaimana bisa aku melupakan hal itu?

Tubuhku mulai gemetar, telapak tanganku berkeringat. Kulirik lilin di atas meja, sudah semakin memendek. Jika saat lilin itu habis listrik belum juga menyala, aku akan kesulitan mengantisipasi keadaan. Dan mungkin saja April tidak sendirian. Para pekerja vila itu membantunya. Jika aku lengah dan terpisah dari teman-teman, bisa jadi mereka nanti akan menyekap dan menyeretku ke suatu tempat...

Arrrghh...! Aku benar-benar stres dengan semua ini.

Ya, April menghilang tak ada kabar semenjak lulus. Dan tiba-tiba saja, selang beberapa bulan sejak dia kembali ke kota kami, reuni aneh ini diselenggarakan. Kalau begitu sudah mulai dapat disimpulkan sekarang, bahwa si pemilik vila yang tak mau disebut namanya itu, yang ternyata adalah seorang psikopat, adalah April.

Berat untuk mengetahui fakta itu, tapi aku harus mempersiapkan diri, bahwa orang yang kupuja setengah mati selama ini adalah orang yang telah membunuh Keyla dan kini kecanduan ingin mengulanginya pada kami. Dadaku kini berdebar keras. Dan dia masih mengawasiku. Mungkinkah tatap indah itu tengah mengirimiku isyarat bahwa tak lama lagi dia akan menyusulkanku ke alam Keyla? Aku bergidik pelan.

Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku. Kegelapan. Ya, kegelapan. Jika lilin itu habis dan ruangan ini menjadi total gelap, aku akan dapat membebaskan diri dari pengawasan April. Hanya itulah kesempatanku.

Kutunggu padamnya lilin itu dengan gelisah. Ah, masih akan lama. Lima senti pasti bisa bertahan lebih dari sepuluh menit. Aku harus segera pergi dari sini. Aku harus mencari tahu mengenai sesuatu di lubang pohon itu. Jika bukan sekarang, aku tak akan punya kesempatan lagi. Menunggu sampai pagi? April pasti sudah akan lebih dulu menggagalkanku.

Ayolah lilin, cepatlah padam, cepatlah...!

“Aaaaaaaaaaa... !!”

Doa panjang yang dipimpin Imam baru saja berakhir ketika kami kembali dikejutkan oleh jeritan histeris perempuan. Kali ini asal suaranya dari arah balkon.

Ya, Tuhan. Apa lagi sekarang?

 

***(bersambung)

 

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya