[CERBUNG] Reuni Merah Bag. 7  

Rahasia di lubang pohon

 

Jerit melolong yang panjang itu membuat bulu kuduk semakin meremang. Ketegangan hebat ditambah udara dingin, membuat tubuh serasa benar-benar kaku.

Jeritan siapakah itu? Apa yang sebenarnya terjadi?

“Kalian tetap di sini. Yang cowok-cowok ayo ikut aku ngecek ke sana! Tedy, pinjem senternya sini!” ucap Imam dengan intonasi yang ditenang-tenangkan, padahal aku bisa menangkap nada paniknya.

Beberapa orang termasuk Tedy mengikuti Imam menuju balkon, lewat ruang tengah.

Sepeninggal mereka, bisik-bisik cemas di antara kami semakin mencekam suasana. Tapi walaupun mereka ketakutan, aku yakin tak ada yang setakut aku. Mereka tak tahu di sini ada seorang pembunuh, sedangkan aku tahu. Dan celakanya lagi, pembunuhnya tahu bahwa aku mencurigainya. Itu artinya aku harus berlomba dengannya; aku yang meringkusnya lebih dulu atau dia yang menghabisiku lebih dulu.

Dalam beberapa menit, Imam dan tiga orang tadi kembali lagi dengan menggotong sesosok tubuh. Kepanikan kedua merebak. Pusing rasanya kepalaku harus terus mencerna keanehan demi keanehan yang terjadi. Kuharap gadis dalam gotongan, yang ternyata adalah Dita itu, hanya jatuh terpeleset.

”Dia pingsan di balkon,” jelas Tedy sambil membaringkan tubuh Dita di atas sofa. Maria dan Ayu segera merubungnya.

Pada saat beberapa bagian tubuhnya tengah diolesi minyak angin, tiba-tiba Dita menjerit lagi. Aku sempat kaget karenanya. Barusan masih pingsan, tahu-tahu jejeritan. Aneh.

Tubuh Dita kemudian didudukkan. Dia terlihat sangat ketakutan, mengawasi sekeliling dengan nanar seolah sedang berada di tengah kerumunan para alien. Lalu terbata-bata dia bercerita, “Ada... hantu. Ada hantu di balkon. Dia... dia...”

“Hantu? Hantu apa lagi?” Tanyaku tak habis pikir.

“Hantu Keyla?” Tebak Tita serius.

Dita menggeleng. “Dia... cewek pake baju putih. Rambutnya panjang banget. Wajahnya... wajahnya...”

“Wajahnya kenapa?”

“Ancur. Berdarah. Matanya rusak satu. Serem banget. Aku takut... Kita harus pergi dari tempat ini besok, sepagi mungkin. Vila ini angker,” jawab Dita nyaris menangis.

“Gimana kamu bisa tau detil mukanya? ‘Kan gelap. Ngelihatnya pakai senter juga?” Selidikku meragukan ceritanya.

“Oh, itu... Nggak tau. Aku juga nggak tau kenapa wajahnya bisa kelihatan. Tapi, emang beneran begitu.”

“Terus, sampai ke balkon-balkon tuh kamu sebenernya ngapain? Bukannya pintu ke balkon udah dikunci?”

“Oh, belum. Tadi pintunya kebuka dikit makanya aku bermaksud nutup pintu dulu sebelum turun. Tapi di luar ada suara kayak orang ngobrol. Kukira beberapa orang di antara kalian ada yang di sana. Tapi ternyata...,” jawab Dita tak sampai selesai. Ditutupkannya kedua telapak tangannya ke wajah, seolah ingin menghapus ingatannya tentang rupa hantu itu.

“Tadi hantu Keyla, habis itu hantu muka hancur, terus apa lagi nanti? Pocong? Kuntilanak? Suster ngesot? Tubuh tanpa kepala? Jangan-jangan di sini sarangnya dedemit. Ugh, kenapa kita bisa sampai terjebak di sini?” Keluh Santi frustrasi.

Kenapa? Tentu saja karena kesalahan mereka sendiri. Tapi bukan soal hantu yang mengganggu pikiranku. Skenario besar. Pasti ada skenario di balik semua ini. Bukankah pemilik vila mengundang kami kemari memang untuk bermain-main seperti ini? Mungkinkah dia punya selera humor yang tak biasa?

Humor. Kupikir sejenak kata itu. Jika ini humor, berarti hantu-hantu itu hanyalah rekayasa. Sosok yang dilihat Dita mudah saja diatur, dengan sedikit riasan dan kostum warna putih serta wig. Tapi bagaimana caranya menampakkan wujud seperti Keyla? Itulah masalahnya. Kecuali jika Syifa dan Sigit hanya mengarang cerita bohong. Ah, semakin membingungkan.

Akhirnya tibalah momen yang kutunggu. Lilin itu terbakar habis hingga ke pangkal, meredup perlahan, kemudian padam. Para perempuan menjerit kalang kabut. Aku menyelinap ke ruang tengah diam-diam.

Di ruang tengah aku bimbang sejenak. Mau keluar lewat pintu mana? Setelah yakin tidak ada yang memerhatikanku, akhirnya kuputuskan untuk menaiki tangga menuju balkon. Aku akan keluar melalui tangga yang menghubungkan balkon dengan halaman.

Walau sangat yakin tidak ada orang yang menyadari kepergianku, kuusahakan untuk sejarang mungkin menyalakan ponsel agar tidak menarik perhatian. Bohong kalau aku tidak takut, bahkan sebelumnya aku belum pernah merasa setakut ini.

Tak dapat kubayangkan akan bagaimana jika hantu muka rusak itu mencegatku di balkon. Atau hantu berwujud Keyla menampakkan dirinya di taman. Bulu kudukku meremang semakin hebat. Aku benar-benar takut, tapi entah kenapa aku merasa harus melakukan ini dan mengambil semua resikonya.

**

Sungguh, aku menyesal melakukan ini. Aku memang berhasil sampai di tikungan tempat aku nyaris bertabrakan dengan April sore tadi, tanpa ada hantu apa pun mencegatku. Tapi aku ketakutan setengah mati. Siapa yang menjamin bahwa di luar sini aku aman dari bahaya?

Ya, aku melupakan satu hal, yaitu bahwa siapa pun yang ada di balik semua ini, tentunya tidak bekerja sendirian. Bebas dari April, mungkin saja aku akan jatuh ke tangan yang lainnya. Dan mereka yang bertugas di luar vila bisa jadi lebih banyak jumlahnya daripada yang di dalam.

Tak seharusnya aku memutuskan ini tanpa pikir panjang, melupakan bahwa ini nyata, bukan fiktif. Ini bukan cerita mainstream yang ending-nya dapat dipastikan memuaskan. Aku bisa saja celaka di sini, bahkan bisa saja tak punya lagi kesempatan untuk kapok.

Belum terlalu terlambat sekarang, aku masih bisa kembali ke vila dan memikirkan cara bertahan lain bersama teman-temanku. Benar kata Maya, kalaupun memang Keyla dibunuh, segala susah payahku ini tak akan bisa membuatnya hidup kembali. Sebaiknya aku membuat keputusan yang pintar sekarang juga sebelum semuanya kusesali.

Tapi aku bingung dengan gerak tubuhku sendiri. Pikiranku menyuruhku berbalik arah, tapi tubuhku tidak mematuhinya. Kakiku terus melangkah ke sana, ke tempat di mana pohon meranggas itu berada.

Kresek!

Suara apa itu? Setengah mati kutahan detak jantungku yang bertalu. Tuhan, tolong aku! Mungkin ada seseorang atau entah apa di dekatku. Tapi sungguh, kalaupun memang ada aku tak akan berani melihatnya, aku tak siap bertemu dengan apa pun di tempat ini. 

Kuteruskan dengan susah payah langkahku yang tertatih dan gemetar ini. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah... Rasanya sudah ratusan langkah kuayunkan, sudah sangat jauh jarak kutempuh, sudah sangat lama waktu kuhabiskan, kenapa belum sampai juga? Masih berapa mil lagikah?

Bodoh, kenapa tidak kembali ke vila saja tadi sebelum sejauh ini? Sekarang aku sudah masuk hutan, sangat terlambat untuk memutuskan mundur, kendati untuk terus maju pun sama beratnya. Aku terus menahan napas setiap kali melewati gerumbul semak atau pohon besar. Pikiran negatifku tak bisa berhenti membayangkan kalau-kalau dari balik semak belukar atau pepohonan itu tiba-tiba muncul makhluk menyeramkan, atau ular besar, atau harimau, atau...

Ahh!

Setelah seperti berabad-abad rasanya, akhirnya pohon itu nampak juga, berdiri angkuh beberapa meter di hadapanku. Syukurlah. Akan kuambil sesuatu yang terselip di lubang itu secepatnya, lalu sesegera mungkin kembali ke vila. Bila perlu dengan berlari.

Hati-hati kudekati pohon yang membuatku senewen ini, pohon yang sebelum kulihat langsung saja sudah mengusik ketentraman hidupku. Berpegangan pada apa saja yang bisa kupegang, kuulurkan tanganku untuk menjangkau lubang itu.

Ngeri sekali membayangkan terjalnya tebing dan kedalaman telaga yang siap menelan tubuhku jika kakiku terpeleset sedikit saja. Aduh, mana sih lipatan benda kecil sialan itu? Aku sudah hampir gila karena ketakutan, benda itu malah tak segera terasa oleh jari-jariku. Di sudut sebelah mana tadi? Kurogoh lebih dalam lagi, kuraba-raba lebih detil, dan... ini dia! Aku menemukannya. Tinggal menariknya saja sekarang.

Tiba-tiba aku mendengar suara ranting terinjak di belakangku. Belum sempat kutarik napas dari rasa kagetku yang luar biasa, aku sudah keburu dikagetkan untuk kedua kalinya. Jangankan menegakkan tubuh, menoleh pun aku tak sempat.

Tubuhku didorong dari belakang. Begitu cepat, begitu kuat dan begitu tiba-tiba. Bahkan tak cukup waktu bagiku untuk menyadari apa yang terjadi. Tubuhku meluncur; duri-duri semak belukar menggores beberapa bagian wajah, tangan dan kakiku; lalu pundakku membentur sesuatu yang keras, sebelum akhirnya air telaga yang luar biasa dingin menyambutku.

Yang pertama kali kurasakan adalah dingin di sekujur tubuhku, lalu denyut sakit di pundak kananku. Kemudian air telaga mulai menyeruak masuk melalui hidung dan mulutku. Megap-megap, sebisa mungkin aku berusaha terus menggapai permukaan.

Aku tak mahir berenang. Aku benci kolam, sungai, laut, danau dan semacamnya. Aku harus secepatnya menepi sebelum kehabisan napas dan tenaga. Tapi... di sebelah manakah tepiannya? Gelap. Aku tak bisa melihat apa pun.

Tolong...!!

Panik, takut dan frustasi berkecamuk memenuhi pikiranku. Terlalu penuh sampai tak ada ruang lagi untuk berpikir. Aku hanya bisa mengayunkan tangan dan kaki semampuku tanpa arah yang pasti. Menepi atau justru makin ke tengahkah ini?

Tak biasa berlama-lama di dalam air, tanganku cepat pegal. Semakin berat saja untuk bergerak. Kepalaku timbul tenggelam, air kembali masuk ke mulut dan hidungku. Pening. Mataku pedas. Saluran pernapasanku terasa terbakar. Saat cahaya kilat yang kutunggu akhirnya muncul, yang kudapati justru fakta yang semakin menciutkan nyaliku, bahwa ternyata aku cukup jauh dari tepian. Sepertinya mustahil bagiku untuk dapat berenang ke sana. Sudah tak mungkin... Aku mulai dihinggapi rasa putus asa.

Kedua lenganku tak bisa digerakkan lagi, terasa nyeri, kram dua-duanya. Kepalaku terbenam ke bawah permukaan. Sakit. Rasanya seperti dihantam martil besar. Air menyerbu masuk semakin banyak. Dadaku terasa seperti hendak meledak. Tenggorokan, hidung dan telingaku semakin terasa terbakar. Di sinikah riwayat hidupku akan berakhir?

Aku sudah tak dapat bernapas lagi sekarang. Sungguh sakit. Di antara kesadaran yang mulai melayang, aku bertanya-tanya tentang ajal, berusaha pasrah jika ini memang takdirku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan, telaga ini mulai menelanku. Sesaat terbayang tubuhku akan ditemukan mengapung di sini esok pagi. Lalu ibuku akan histeris saat menerima kabar. Dan Rian, mungkin dia akan mendadak menyesal telah menjadi adik yang usil di hidupku yang singkat ini.

Kegelapan menjadi semakin pekat. Dingin dan sakit menyelimutiku kian rapat. Dalam kesadaran yang nyaris menghilang; aku melihat seberkas cahaya samar, redup dan temaram. Itukah malaikat yang akan menjemputku?

Kalau memang begitu, maka terimalah kembaliku, Tuhan...

Samar kudengar suara debur berkecipak di dekatku. Perlahan ingatanku menghilang.

**

 

“Rey...”

Aku mendengar lamat-lamat suara itu, memanggil namaku. Lembut. Terasa dekat, tapi jauh.

“Reyna...”

Ah, suara yang kukenal. Suara yang akrab dengan pendengaranku.

Pening itu kembali datang. Dingin, sekujur tubuhku benar-benar menggigil. Kubuka dengan susah payah kedua mataku yang terasa perih. Kegelapan masih mendominasi di mana-mana. Tapi ada tangan yang memegang pipiku. Ada seseorang di dekatku.

Aku terbatuk saat kurasakan ada air keluar melewati tenggorokanku. Seseorang itu membantuku duduk. Kini mulai kusadari kalau baju dan rambutku seluruhnya basah.

Perlahan ingatanku kembali terkumpul. Astaga, aku baru saja tenggelam. Dan sekarang... aku masih hidup??

Seseorang di dekatku ini pasti telah menyelamatkanku. Tapi aneh sekali, bagaimana aku tak menyadari kalau di tempat ini aku tak sendirian? Ada orang lain yang... Oh tidak!

“Ada orang yang pengen bunuh aku!” laporku tercekat, teringat kembali bagaimana aku bisa tercebur tadi.

“Dia udah pergi,” jawab orang di dekatku ini tenang.

“Dari mana kamu tau?” tanyaku tidak serta-merta percaya. “Dia pasti nggak akan berhenti sebelum aku bener-bener mati,” lanjutku panik dan ketakutan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Tenang Rey, tenangin dulu diri kamu! Supaya kita bisa mikirin jalan keluarnya. Oke?”

“Tenang? Gimana caranya? Nyawaku terancam. Dia, pembunuh itu, pasti udah sejak sore tadi ngincer aku. Aku takut...,” keluhku nyaris tak dapat menahan tangis.

Aku tak mendengar tanggapan apa pun darinya, tapi beberapa detik berikutnya dia merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku terhenyak.

“Ada aku di sini, Rey. Aku bakal jagain kamu semampuku,” ucapnya lembut, menentramkan.

Darahku berdesir. ‘Rey’. Dia memanggilku ‘Rey’. Terdengar tak asing. Dan walau pun kegelapan tak memungkinkanku melihat wajahnya, aku mengenali suaranya.

Kenapa aku baru sadar? Dia adalah... ya Tuhan, April.

Detak jantungku langsung menggila. April? Yang tengah memeluk dan menenangkanku ini adalah April? Dan juga menyelamatkanku?

Hal seperti ini, aku belum pernah membayangkannya. Rasanya sungguh tak tergambarkan. Ada getar yang belum kukenali mengalir hangat di sekujur tubuhku, meresap khidmat ke sudut-sudut hatiku. Nyaman, walau pun tak menentu.

Kunikmati sesaat bersandar di pelukan orang yang sekian lama kupikirkan dan kurindukan ini, memejamkan mata, membiarkan diriku terlena ketika tangannya membelai kepalaku. Sebentar saja, janjiku dalam hati. Sebentar saja biarlah aku merasakan yang namanya bahagia, sebelum logikaku kembali kufungsikan dan aku berada di dalam keharusan untuk mengakhirinya. Bahkan melupakannya.

“Kok kamu bisa ada di sini sih?” Tanyaku ketus beberapa detik kemudian, sambil melepaskan diriku dari pelukannya dengan kasar. Sudah waktunya untuk mengaktifkan kembali akal sehatku.

“Kamu sendiri? Ngapain malem-malem keluyuran kemari? Aku nggak akan ke sini kalau kamu nggak ke sini.”

“Kamu ngikutin aku?”

Dia tak menjawab.

“Ngapain kamu ngikutin aku?” Tanyaku galak.

“Bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan,” jawabnya datar, tapi ada nada gelisah tak tersamarkan di dalam suaranya.

“Jawaban macem apa itu? Setiap tindakan memerlukan alasan, terlebih untuk sesuatu yang berbahaya seperti ini. Kamu ngumpetin rencana apa? Jangan-jangan aku bebas dari mulut singa jatuh ke mulut buaya lagi!” Cecarku penuh prasangka.

“Nggak seperti yang kamu pikir. Tapi udahlah, nggak penting.”

“Hal macem apa yang kamu sebut nggak penting itu? Sampai kamu susah-susah turun ke telaga dalam keadaan gelap begini. Kamu pikir aku bakal serta-merta percaya sama kamu? Udah deh, kita bicara blak-blakan aja. Aku udah di tanganmu dan bisa kamu habisin kapan aja. Bilang aja terus terang, kamu punya rencana apa?”

“Reyna...” tegurnya sabar.

Tapi aku malah semakin sengit. “Sesuatu di pohon itu, apa sebenernya? Kamu ngumpetin rahasia apa di sana?”

“Sesuatu di pohon?” Ulangnya terdengar bingung. “Justru itu yang pengen kutanyain. Ada apa di sana sampai kamu bolak-balik ke sana terus?”

Dia tidak tahu? Aku berpikir sejenak. “Kalau gitu ngapain kamu ngawasin aku terus? Ngikutin aku seolah-olah ada sesuatu di sana yang kamu nggak pengen aku temukan.”

“Udah kubilang kalau tempat ini berbahaya. Lebih-lebih pinggiran tebing itu. Sekarang kamu tau sendiri kan apa akibatnya nggak dengerin apa kataku?”

“Kenapa kamu sepeduli itu sama aku?”

“Buatmu itu nggak akan penting.”

“Kamu berahasia? Kenapa? Takut kedokmu kebuka?”

“Bukan begitu, Reyna.”

“Lantas apa?” kejarku sengit.

Sebelum menjawab, kudengar dia menghela napas berat. “Aku kuatir sama kamu. Bukan hal yang penting, kan?”

Deg!

“Khawatir? Kenapa harus khawatir?”

“Alasanku khawatir, nggak ada hubungannya sama semua ini. Udahlah, ayo kita pergi dari sini!”

“Gimana mungkin nggak ada hubungannya? Dari tadi sore kamu ngawasin aku. Bisa tahu aku ada di sini juga karena ngawasin aku, kan?” Kejarku tak puas.

“Kamu baru sadar sekarang kalau aku ngawasin kamu?” Sergahnya mulai terdengar jengkel.

“Bukan baru sekarang. Dari dulu aku emang ngawasin kamu. Selama masih ada di lingkungan sekolah; aku selalu tau kamu di mana, ngapain, sama siapa, bikin ulah apa, dalam masalah apa, bahkan aku tau angkot langganan yang kamu naikin buat pulang-pergi ke sekolah. Nyatanya sampai sekarang kamu masih hidup. Apa itu cukup untuk bikin kamu berhenti mencurigaiku?”

“Ap-apa?” Tanyaku terkejut. Mengawasiku sampai sedetil itu? April yang menyebalkan ini? “Tapi kenapa? Apa alesannya?”

“Menurutmu?”

“Karena Keyla? Keyla yang nyuruh kamu begitu? Gimana caranya dia maksa kamu? Memohon-mohon?”

“Tanyain itu lain kali, Rey! Situasi sekarang mengharuskanku secepetnya bawa kamu pergi dari sini. Bolehkah aku memohon satu hal sama kamu? Tolong biarin aku menjagamu, sampai besok pagi aja. Is it okay?

Aku tertegun. Untuk menjagaku saja, kenapa dia sampai memohon? Setelah susah payah menyelamatkanku? Dan aku, bukan berterima kasih malah mencurigainya. Jika memang dia berniat mencelakaiku, untuk apa dia membahayakan dirinya seperti ini?

“Maaf, aku udah berprasangka burukz” sesalku lirih.

April tak menjawab, tapi membimbingku berdiri.

Kepalaku berdenyut-denyut sakit. Sejenak aku terhuyung, nyaris jatuh kalau saja dia tak cepat merengkuhku. “Hati-hati, lewat sini!” Katanya sudah kembali dalam intonasi yang lembut.

Lagi, jantungku berdegup kencang. Pasti sebenarnya aku masih pingsan timbul tenggelam di permukaan telaga, dan ini hanya mimpiku saja. Hm, jika begini rasanya pingsan, lebih baik aku tidak usah siuman saja selamanya.

“Pakai sandalku nih!”

Ah iya, aku baru sadar kalau sepasang sandalku sudah tidak ada di kakiku, mungkin telah tersangkut di semak-semak atau mengapung di telaga.

Kebaikan sikap April ini membuatku sangat takjub. Dia telah jauh berubah. Aku merasa tersanjung sekaligus semakin khawatir. Jika sikapnya begini terus, aku justru akan semakin dalam terbawa arus pusaran pesonanya. Bagaimana mengatasi rasa sakitku, jika setelah semua ini usai dia menghilang lagi begitu saja tanpa dapat kumiliki?

“Ayo!” ajaknya meraih tanganku, menggandengku meninggalkan telaga melalui medan yang curam, licin dan nyaris rapat ditumbuhi semak-semak.

“Kamu kok paham tempat ini sih? Gimana caranya gelap-gelap gini kamu tau medan mana yang bisa dilewati?”

“Dulu aku pernah survey tempat ini sama Theo. Tadinya ekskul pecinta alam mau ngadain panjat tebing di sini, tapi batal setelah ada kejadian Keyla hilang.”

Theo??

Jangan-jangan... Mungkinkah dia ada hubungannya dengan sesuatu di lubang pohon? Mungkinkah dia terlibat dengan hilangnya Keyla? Mungkinkah dia termasuk salah satu dalang di balik semua ini? Ditambah lagi, perbuatannya pada Maya sudah terlalu jauh dan aku mengancam akan melaporkannya pada polisi. Karena itukah dia berusaha menyingkirkanku?

“Terus gimana kamu bisa yakin kalau orang yang nyelakain aku itu udah pergi?” Tanyaku pada April sambil mengawasi sekeliling dan berpikir. Theo... ya, Theo. Sejak dulu perangai cowok itu memang tidak baik. Masuk akal jika dia pelakunya.

“Karena dia butuh alibi. Begitu selesai nyeburin kamu, tentu dia berusaha secepatnya balik ke vila biar disangka nggak pergi kemana-mana semaleman.”

“Terus gimana kalau setelah ini...”

“Kita nggak akan balik ke vila.” potongnya seolah sudah paham benar arah pertanyaanku. “Sementara biarin dulu dia berpikir kalau kamu udah mati. Kita cari perlindungan di desa. Banyak yang perlu kita rundingkan di sana.”

Benar, untuk saat ini memang itulah tindakan paling tepat. Ah, April ini memang selalu benar, walau pun dulu kebenaran pendapatnya selalu menjengkelkanku.

“Tapi sebelumnya tolong temenin aku ambil sesuatu dulu!” pintaku setengah berbisik, takut ada telinga lain yang diam-diam ikut mendengar di sekitarku.

“Sesuatu apa?”

“Di dalam lubang pohon itu. Aku juga belum tau apa itu sebenernya.”

“Pohon pinggir tebing? Kamu mau ke sana lagi?” tanyanya dalam desah putus asa.

Aku juga sebenarnya tidak mau. Tapi mau bagaimana lagi?

 

***(bersambung)

 

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya