[CERPEN] Reinkarnasi Keyakinan

Kau memang petualang maut!

Bocah itu diam, melihat kaki kanannya hancur, tergeletak sambil menahan anyir darah, cairan merah itu merembes cepat. Sepertinya kapilaritas telah bekerja sama dengan gravitasi. Cepat sekali.

Kau tak akan percaya dengan penemuanku! Seorang bocah penganut altruisme yang tertempel pada dadanya lekat-lekat. Dia bocah sepuluh tahun yang cerdas, pemberani dan tak pernah berbuat ceracam. Pertama kali ku lihat dia tengah bersandar pada tiang penyangga tenda. 

Tepat di Kamp Al-Gaza, sebuah pengungsian di tanah konflik, yang letaknya hanya 500 meter dari titik perang. Dua buah bom telah mengganas, tepat dari jarak 500 meter dari kamp Al-Gaza. Tak bisa kubayangkan, bom bisa saja datang lebih cepat ke tempat ini sewaktu-waktu. Namun Tuhan masih melindungi kita, termasuk aku dan bocah itu. Kuperhatikan dia tak memperhatikan apa pun. Hanya memandang kosong ke arah bumi.

Masih ku ingat, ketika ku dekati dia dan ku usap rambut lurusnya yang kecoklatan, dia hanya tersenyum. Sedikit sekali. Hanya beberapa derajat tak jauh dari bibir mungilnya.

"Siapa namamu, Nak? Sudah makan?" Tanyaku

"Ali, belum.."

"Mari makan dulu."

Nyatanya, ajakanku kalah cepat ditepis oleh pertanyaannya.

"Apakah setelah makan kaki kananku akan kembali?"

Mata bocah yang bernama Ali itu berbinar, seperti mengharapkan aku untuk berkata 'tentu saja'.

Jika kau berpikir aku harus membohonginya dengan sedikit bumbu dongeng mungkin itu adalah keputusan terbodoh. Dia bocah cerdas. Jika aku berbohong bahwa kakinya akan kembali, tentu saja mungkin dia akan benar-benar merengek meminta kaki kananku dipasang di badannya. Boleh kusebut dia bocah ajaib berkaki satu.

Pada jeda makan siang, dia menatapku. Telunjuk mungilnya mengarah ke titik perang.

"Apakah orang jahat akan mati paman? Dari mana mereka datang? Apa mereka yang meminjam kakiku?"

Ah, sebentar Ali. Berikan aku hitungan detik. Maksudku kau benar-benar cerdas. Biarkan pertanyaanmu melewati koklea telingaku sekali lagi, dan otak ini akan bekerja, aku janji.

Sekarang kau bisa lihat kan? Perbedaan antara bocah sepuluh tahun dengan seorang profesor yang setiap harinya bergelut bersama rumus-rumus adalah, dia cerdas tanpa perhitungan. Dia boleh jadi filsuf berkaki satu.

Ali, kau bilang padaku tepat tiga menit lalu bahwa kau benci orang jahat bukan? Kau benci mereka karena mereka suka sekali bermain petasan berukuran raksasa. Kemudian satu menit berikutnya, kau bilang kau akan berbagi roti canai dengan mereka. Lalu, berselang sepuluh detik sehabis kau mengatakan itu, kau bilang lagi bahwa kau ingin bermain dengan anak-anak mereka. Mendengarnya saja aku makin bingung harus kasihan pada siapa?

Siang itu makin panas, begitu juga otak kisutku, masih tak dapat menjawab pertanyaanmu, dan kau malah bertanya lagi.

"Apa kau yakin orang jahat bisa mati paman?"

Setelah melihatku diam, kau mulai bercerita.

Saat itu kau sedang bermain dan membuat gundukan pasir bersama teman-temanmu. Kau menamainya "Gunung Unta", itu karena bentuknya menyerupai punuk unta yang sehari-hari kau lihat sampai bosan. Kau sempat beradu argumen dengan Zein, salah satu temanmu yang cerdas.

'Butiran zat padat akan semakin kuat jika terdapat partikel yang merekatkannya. Itu seperti sebuah relasi' begitu jelas Zein. Kau hanya manggut-manggut pertanda mengerti. Entah kau ini memang benar mengerti atau memang terlalu penurut?

Kemudian otakmu mencari cara, bagaimana bisa menyatukan butiran pasir itu. Pikiranmu langsung mengerucut pada air. Sebenarnya kau memang cerdas seperti Zein.

Persis sebelum kau menambahkan air pada gunung unta, suara ledakan begitu keras terdengar. Awalnya kau mengira itu petasan. Orang-orang berhamburan seperti biji kopi. Semua temanmu juga menjerit, berputar-putar, menjerit lagi lalu mencari keluarga mereka. Sedangkan kau? Kau malah diam berdiri di sebelah gunung unta. Aku paham, kau harus menjaganya bukan?

Semua orang makin menggila, membuang waktu, membabi buta pita suara.

Tepat sebelum lima detik ledakan kedua, kau menekuk badanmu, memeluk lututmu erat seperti trenggiling. Sampai yang kau ingat setelah itu badanmu terbanting, menghantam puing-puing dan mungkin menghantam gunung unta milikmu. 

Kau juga ingat betul, asap hitam menutup pandangan, memberikan sensasi sesak pada paru-parumu, namun kau masih bisa melihat remukan kaki, sungai darah segar dan tubuh orang-orang juga teman-temanmu. Termasuk Zein. Teman cerdasmu, kini dia tiada. Kaki dan tangannya terpencar sejauh sepuluh meter dari badannya. Kau bisa mengenalinya mengapa? Zein menuliskan sebuah rumus fisika kesukaannya pada lengan kirinya. Rumus itu kini hilang, terhapus oleh darahnya sendiri.

Semua terlihat seperti sampah pada truk pengangkut yang tercecer di jalanan. Buruk, bau, jijik dan menggelikan. Kemudian kau menjadi teringat akan sakit, nyeri dan perih pada sekujur badan juga remukan kaki kananmu yang hancur. Kau berguling tak tahu arah. Mencoba untuk pergi jauh dari pemandangan yang membuatmu ingin muntah. Siku dan lenganmu menjadi pengemudi yang cukup handal. 

Kau terus berguling, merasakan kau sudah pergi jauh, namun nyatanya kau hanya berputar-putar. Kau semakin tak tahan akan sakit itu, kau berhenti, menengadah dan kau lihat gunung unta tepat di atas kepalamu masih berdiri dengan gagah. Kemudian kau tak ingat lagi. Yang kau ingat ketika bangun adalah kakimu hanya tinggal sebelah. Kau sangat menyesali itu, kau kesal kenapa kau bisa tertidur? Kalau kau sadar mungkin saja kau bisa melarang orang jahat untuk meminjam kakimu bukan?

Begitulah ceritamu.

"Kaki kananmu sudah di surga," ucapku.

"Bisa kau jelaskan mengenai surga, paman?"

Kau tahu? Otakku bisa keram sewaktu-waktu karena pertanyaanmu.

"Surga tempat yang indah, tidak ada orang jahat di sana Ali."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Benarkah? Tidak ada petasan yang bunyinya sangat jelek?"

"Tentu saja tidak, dan jika memang ada, yang keluar setelah ledakan itu bukan asap dan api, tetapi permen dan gula-gula yang jika dimakan langsung meleleh di mulut."

Setelah itu, kau merasa tenang. Tatapanmu makin teduh. Kemudian aku ingat, kau berbisik "Aku ingin ke surga paman."

Aku hanya tersenyum, kau melanjutkan maksudmu.

"Apakah kau ingin bertemu dengan kaki kananmu?" Tanyaku

"Bukan hanya kakiku paman, keluargaku semua pasti sedang merayakan ulang tahun Naya di surga."

Oh, aku lupa. Sebelumnya kau telah menjelaskan mengenai keluarga dan tentu saja, Naya, adik perempuanmu yang berulang tahun tepat dihari ini. Umi dan Abi telah meninggalkanmu tepat sebelum kau berumur lima. Sekarang kau baru sadar kenapa mereka pergi sangat lama.

Kau tak pernah malu apalagi geli melihat kaki buntung milikmu. Kau pun tak perlu berjalan pincang seperti pecundang yang kehabisan akal. Kau bisa berdiri! Kau tak perlu dikasihani, karena kau yang harusnya kasihan pada orang-orang berkaki dua yang berjalan pincang demi mendapat koin belas kasihan. Kau dulu sering melihatnya pada area peziarahan dekat utara Gaza.

Wajah teduhmu makin lama makin lenyap. Kau mengubah tekad dan ekspresimu. Seorang bapak ber kopiah mendekatimu. Menanyakanmu sesuatu.

"Jangan bersedih, kita aman di sini."

Aku dapat mendengar suara Pak tua itu. Namun kau malah acuh. Kau bangkit mencoba berdiri berpegang pada tekad sendiri.

"Paman aku mau ke sana!"

"Jangan! Bahaya Ali!" Begitu ucapku kala kau merengek minta kembali ke titik perang.

Kau tetap batu, aku pun tak dapat membendung langkahmu. Kau berjalan menjauh ke arah gunung unta. Aku telah memberitahumu itu bahaya. Sekarang dapat aku simpulkan, kau memang petualang maut.

Langkahmu makin dekat dan dekat. Kau mencoba berdiri di atas kakimu sendiri tanpa tongkat penyangga. Yang kau lakukan selanjutnya adalah membangun gunung unta kedua. Kau kembali mengingat teman-temanmu, Zein si jenius, Hasan si tukang makan, Abu si pengacau, dan Bana si tukang kentut yang pantas ditabok bokongnya.

Kau terlampau sibuk membangun gunung unta kedua, hingga kau tak menyadari, dua orang berseragam semakin mendekat ke arahmu. Baiklah mungkin sekarang waktunya perang? Kulihat dua orang itu tengah membujukmu untuk kembali ke kamp. Bisa kutebak, tentu saja kau tak mau.

"Aku harus menjaga gunung unta, kenapa aku harus ke sana?"

Kau menjelaskan kenapa kau tidak mau, kau sungguh tak tahan dengan bau makanan instant, obat-obatan, pakaian kotor, antrean penunggu makan siang dan orang-orang yang tidur seperti ikan kaleng. Kau benci itu.

"Mari nak, kau aman di sana, kami akan menjagamu."

Memangnya kau yakin akan menjagaku? Begitu pikirmu. Aku hanya mengawasimu pada jarak 500 meter ini. Ku lihat kau tetap bersikeras melawan untuk tidak.

Ini bukan musim Ramadan, musim hajatan maupun musim-musim lain yang memakai jasa kebisingan. Nyatanya petasan berbunyi jelek tetap datang mendahului mereka (para musim).

Kau tak dapat lagi memikirkan dan berbuat banyak mengenai apa-apa dan nyawa siapa-siapa yang harusnya selamat? Atau harus kau sembunyikan dimana sisa kakimu itu?

Ah, ingin sekali kubantai si pembuat petasan yang jahanam, namun aku lebih ingin membantai si penyala petasan. Jika bisa, kuingin dia menelan semua petasan dan membiarkannya meledak-ledak di perut.

Kabarnya bocah itu menjadi santapan pertama dari petasan berbunyi jelek. Kabar baiknya bahwa sekarang aku yakin, sangat yakin. Kau (Ali) telah terbangun di surga, dan ku harap kau masih dapat mengikuti pesta ulang tahun Naya. Jika nyatanya tidak, akan kubuat kau tersenyum, akan ku belokkan tongkat penyangga milikmu ini agar kedua ujungnya mengarah ke atas. Itu senyum!

Hal lainnya yang sekarang kuyakini adalah "Kau pastinya senang kan mendapat kaki kananmu kembali?" dan satu lagi, sampaikan salamku si paman bertopi fedora untuk kaki yang dua jam lalu telah berada di surga (Ali). Tak peduli apakah kau takut atau bahkan geli melihat kaki kananku berjalan-jalan sendirian tanpa badan yang harus ia sangga, atau bahkan dia bisa jadi bermain petak umpet dengan penghuni surga yang lain. Kini paman yang beberapa hari lalu bercengkerama dengan orang buntung juga telah menjadi buntung.

Bagaimana di surga Ali? Bukankah yang ku katakan waktu itu benar?

Ceritaku memang menggelikan. Namun sepertinya kau tak akan geli dengan butir-butir keyakinan yang aku bangun. Konstruksinya memang sedikit kurang cerdik dibanding gunung unta, namun aku harap kau bisa memakluminya. Aku bukanlah bocah 10 tahun yang cerdas.

Aku sebagai tokoh yang katanya mengetahui jalan cerita ini tak benar-benar yakin apakah yang kukatakan ini benar?

Jujur aku pun tak benar-benar yakin untuk menjawabnya. Kau tahu sebuah ilusi optik yang menipu mata? Atau pada kapilaritas kain basah yang nyatanya kering? Bagaimana dengan api yang terus menyala di dalam air? Kau kurang pandai! Aku pun sama. Terlalu mudah untuk menyerah pada keadaan, seolah kita benar-benar terdoktrin oleh aturan yang kita buat sendiri. Terlalu mudah untuk tunduk, percaya, bahkan pada hal-hal yang baru terlihat. Banyak aksi ceracam, bobrok dan tidak tahu diri.

Jika kau benar mengenai sebuah keyakinan, maka aku benar mengenai sebuah ketidakpastian. Kau bilang keyakinanmu adalah reinkarnasi, keyakinanmu akan melewati hidupku sekali lagi, kemudian hilang dan tak akan bisa jumpa. 

Kecuali jika kau melemparkan secuil keyakinanmu kepadaku sekarang, aku dapat bercerita kepada kau yang dulu kemudian bersua dan berkata "Jahat tetaplah jahat, baik tetaplah baik. Kau boleh memilih diantara dua itu, atau jika tidak, kau masih bisa jadi pembatas."***


 

Baca Juga: [PUISI] Aku Berjuang

Nezz Photo Writer Nezz

Hello! I'm Inez!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya