[Cerpen] Pulang

"Lastri??" Ia menoleh. Mulutnya membulat diikuti ekspresi wajahnya. Panik. Aku memandang si pria. "Siapa kamu?"

 

 Langkahku mantap menyusuri jalan.

Pemandangan kiri kananku tidak banyak berubah. Toko-toko orang Cina berjejer sepanjang jalan. Semua sama, dengan cat yang sudah terkelupas dan interior kuno. Pada jam lima sore mereka akan kompakan tutup, tidak seperti toko-toko di kota besar. Begitulah tradisi mereka. Mau seramai apapun, tetap tutup toko jam lima sore.

Para mamang becak bersantai di becak mereka masing-masing sambil saling bersenda gurau. Jika kau main ke kota kecilku, kau akan temukan banyak becak dan andong. Mereka hidup berdampingan bersama angkutan kota. Entahlah nanti jika ojek online dan taksi online sudah masuk ke sini, sebab yang kutahu banyak terjadi gesekan antar armada angkutan sejak transportasi berbasis online mulai marak.

Jalan yang kupijak sudah berubah. Dulu aspal, yang setiap beberapa tahun sekali selalu diaspal ulang karena sudah bolong sana sini. Sekarang semua sudah dibeton. Pohon-pohon besar tempat bernaung para pedagang kaki lima sekarang berganti pot-pot besar dengan tanaman entah-apa-namanya. Hatiku kecewa. Aku lebih suka pohon besar.

Kelokan jalan menuju gang rumahku sudah terlihat. Hatiku melonjak kesenangan. Sudah sekian tahun tak kulihat tembok gang rumahku itu. Tembok yang selalu dipenuhi tulisan-tulisan jahil anak-anak remaja di kampungku. Pemilik rumah yang temboknya selalu jadi sasaran itu rajin mengecat temboknya supaya bersih lagi. Tak berapa lama, si tangan-tangan jahil kembali menorehkan cat pylox berwarna-warni. Paginya dicat, esoknya tulisan dan gambar (yang kadang tak senonoh) kembali muncul. Begitu terus.

Di ujung gang dekat tembok itu ada warung Mak Londo, begitu kami menyebut namanya. Ibuku bercerita, pada jaman Belanda, ia sempat dijadikan selir oleh orang Belanda. Indonesia merdeka, 'suami' Mak Londo kembali ke tanah airnya, meninggalkan Mak Londo beserta anak-anaknya yang setengah bule dan bermata biru. Tak pernah kembali. Maka, pemandangan yang lucu di kampungku, melihat seorang nenek renta dengan anak cucu berwajah blasteran. Ngomong-ngomong, Mak Londo sendiri sudah wafat sewaktu aku masih kecil, warungnya diambil alih salah satu anaknya. Namun nama "Mak Londo" sudah kadung melekat.

Seorang pria duduk di depan warung ML (begitu kadang remaja-remaja kurang ajar di kampungku menyebutnya) sambil merokok. Di sampingnya, tersedia sebuah cangkir. Mungkin kopi.

"Mas Jo ..!" panggilku.

Ia menoleh.

Tak kulihat roman mengenali di wajahnya. Wajar saja, mungkin dia sudah lupa. Tampangku jauh lebih tua dibanding terakhir kali kami bertemu. Tubuhku yang dulu cukup tegap sekarang jauh lebih kurus.

Tak lama, mulutnya terganga.

"Din?"

Aku tersenyum.

"Iya, Mas." langkahku terhenti pas di hadapannya.

Ia membalas senyumku ragu-ragu.

"Kamu kok ..."

"Kenapa Mas? pangling ya," senyumku semringah.

Ia mengangguk-angguk.

"Pada kemana Mas? kok sepi?" Aku ingat dulu gang rumahku ramai sekali. Anak-anak hilir mudik berlarian. Ibu-ibu biasanya ngerumpi di warung ini.

Mas Karjo tak menjawab. Ia hanya mengangkat bahunya.

Aku meneruskan langkahku. Tak sabar ingin cepat tiba di rumah. Aku pamiti Mas Karjo yang kemudian mengangguk.

Rumahku kedua dari ujung gang. Rumah berkamar dua sederhana yang kubangun dengan keringatku sendiri. Di halaman depannya, Lastri istriku rajin menanam pelbagai rempah dalam pot. Sehingga, ia tak perlu berjalan kaki ke warung untuk sekedar membeli jahe atau lengkuas untuk bumbu masakannya. Semua ada di pot-pot itu.

Ah, hari ini benar-benar sepi. Mungkin juga karena baru pukul 10 pagi. Aku sengaja tidak memberi kabar pada Lastri bahwa aku pulang hari ini. Biar jadi kejutan. Sayang sekali aku tak sanggup membawa oleh-oleh untuk keluargaku. Tempat yang kudiami selama beberapa tahun terakhir ini tidak memberiku kesempatan untuk bekerja dan menghasilkan uang.

Di depan pintu pagar rumah sederhanaku, langkah ini berhenti. Bunga Mawar merah yang tumbuh di antara pot-pot rempah Lastri mengangguk-angguk ditiup angin. Dadaku sesak. Dulu, Runi suka sekali bunga itu. Seruni. Anak perempuanku yang berambut panjang dan senang berdendang. Seruni yang baru berusia 10 tahun. Waktu itu.

Aku tertegun.

Mengapa aku lupa menengok Seruni? Padahal aku bisa melakukannya sebelum ke sini.

Tiba-tiba pintu rumahku terbuka. Seorang pria berpakaian rapi keluar. Siapa dia? Aku tak mengenalinya. Seorang perempuan mengikutinya keluar. Ia memakai rok terusan selutut. Rambutnya agak acak-acakan. Ia merangkul lengan si pria.

"Lastri??"

Ia menoleh. Mulutnya membulat diikuti ekspresi wajahnya. Panik.

Aku memandang si pria. "Siapa kamu?"

Dagunya terangkat,

"Kamu lagi ..."

Tinjuku mengepal. Siapapun ia, pastilah bukan lelaki baik-baik, sebab mana mungkin ia bisa bertamu ke rumah perempuan yang sudah bersuami. Lastri sudah bersuami. Aku suaminya.

Lastri berlari ke arahku. Ia memeluk dan membenamkan wajahnya di dadaku.

Sesaat kuhirup harum tubuhnya. Harum yang dulu selalu membuatku rindu.

Siapa wanita ini? Aku tak mengenalinya.

Lastri mengangkat wajahnya dari dadaku.

"Pergilah dulu, aku harus mengurusnya" katanya ke si pria kurang ajar itu.

Si pria mengangguk, acuh tak acuh. Kemudian melangkah menuju pagar.

"Eh, tunggu dulu! Mau kemana kamu!" aku mendorong Lastri ke pinggir.

Lastri meraih tanganku,

"Mas, udah! nanti aku jelaskan!"

Si lelaki menatapku tanpa jeri. Ia membuka pintu pagar dan melangkah keluar.

Aku menatap istriku tak percaya.

"Lastri??"

Lastriku. Maksudku, wanita yang menyerupai istriku itu membimbing tanganku dan mengajakku melangkah ke dalam rumah.

Aku memasuki rumah. Hei, rumah siapa ini?

"Lastri, kamu ganti perabotan kita?"

Aku menatap sofa kulit berwarna cokelat yang mengisi ruang tamu. Tatapanku menelusuri dinding. Dulu, ada foto kami bertiga, aku, Lastri dan Seruni, waktu kami berlibur ke Yogyakarta. Menyusuri Malioboro dan makan gudeg lesehan.

Lastri menarikku duduk.

"Mas Udin sudah makan?"

Aku menggeleng, "Ga laper,"

Mataku masih menjejahi seisi ruang tamu. Kemana kaligrafi besar yang kugantung dekat pintu ke ruang dalam? Aku mendapatkannya dari sepupu Ibu yang pulang berhaji ke Mekkah.

"Mas Udin naik apa ke sini?" Lastri menatapku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku tertegun.

Naik apa aku tadi ya?

Tanganku menggaruk-garuk kepala.

"Jalan kaki?" Lastri bertanya lagi.

Aku diam.

Oh, mungkin memang jalan kaki. Pantas kakiku sakit sekali rasanya.

"Lastri, Runi mana? masih sekolah ya?" tanyaku.

Lastri menatapku prihatin.

"Mas Udin mau minum dulu? atau mau rebahan dulu?" ia malah balik bertanya.

Aku menggeleng,

"Aku mau ketemu Runi. Kenapa Runi tak pernah menjenguk aku?"

Lastri menghela napas.

"Bentar ya Mas."

Ia berdiri dan melangkah ke dalam kamar. Tak lama ia kembali dengan telepon genggam di tangannya.

"Kamu mau telepon gurunya Runi ya? Biar Runi pulang cepat?" aku kegirangan.

Lastri memencet beberapa tombol. Kemudian ia menempelkan telepon itu ke telinganya.

"Halo .. bisa bicara dengan dr. Tommy? Iya ... baik .... "

Siapa itu dr. Tommy?

"Dok, mohon maaf menganggu terus. Mas Udin ... iya dok, betul. Ada di sini, dengan saya, dok."

Lastri mendengarkan sebentar sambil mengangguk-angguk. Tak lama ia berterima kasih kemudian menutup telepon.

"Siapa itu Lastri?"

Lastri diam saja.

"Lastri?"

Ia melangkah kembali ke arahku. Lastri duduk di hadapanku.

"Mas Udin, itu tadi dokter Tommy, dokternya Mas."

"Aku ga kenal, Lastri."

"Mas Udin lupa. Dan namaku bukan Lastri, Mas. Mas juga selalu lupa."

Hah? apa katanya?

"Lastri, kamu jangan bercanda. Tadi kamu merangkul laki-laki lain dan aku tak boleh marah. Sekarang kamu bilang kamu bukan Lastri. Jangan main-main denganku,"

Lastri menarik napas panjang.

"Mas Udin, untuk kesekian kalinya aku akan kasih tau Mas. Mungkin besok Mas lupa lagi. Tapi aku tetap akan kasih tau. Aku bukan Lastri, namaku Dewi. Yang tadi itu Mas Panji, suamiku. Lastri itu istrimu, kakak iparku. Dulu memang kalian tinggal di sini. Sekarang aku dan suamiku yang tinggal di sini."

Ngomong apa sih dia?

"Lastri, aku ga ngerti."

"Mas, Mas sekarang masih sakit. Masih butuh perawatan. Nanti kalau sudah sembuh, pasti Mas bisa ingat lagi semuanya. Mas jangan keluar-keluar seperti ini terus. Kasian dr Tommy dan stafnya harus jemput Mas terus ke sini."

Aku melongo menatap Lastri.

"Mas harus sabar. dr. Tommy bilang cepat atau lambat nanti ingatan Mas kembali. Yang penting Mas harus disiplin minum obat dan banyak istirahat. Ga boleh stres."

Kepalaku mendadak pening.

"Aku pusing, Lastri."

"Ya itu mungkin karena Mas ga disiplin sama obat. Baringan dulu ya," Lastri membantuku berbaring di sofa.

"Aku kenapa, Lastri?"

"Mas lagi sakit, Mas. Dan namaku Dewi, bukan Lastri."

Kepalaku terganjal bantal sekarang, tapi peningku belum hilang.

"Dewi itu siapa?"

Lastri tergugu. Kulihat airmata di pipinya. Mengapa ia bersedih?

"Mas ... mungkin ini bukan waktu yang tepat dan aku bukan orang yang tepat pula ... tapi Mas harus lihat ini ..."

Tangannya menyodorkan selembar koran lusuh yang entah kenapa sudah ada dalam genggamannya.

Aku memaksakan diri duduk dan membacanya.

Kepalaku tambah pening.

*SUAMI DIDAKWA, KARENA BALAS DENDAM ATAS KEMATIAN ANAK DAN ISTRI

Ud (31) resmi menjadi terdakwa setelah terbukti melakukan pembunuhan terhadap AN (45) dan HL (27), tetangganya sendiri. AN dan HL sebelumnya sudah dicokok polisi karena terbukti memerkosa dan membunuh seorang wanita muda dan anaknya yang masih berusia 10 tahun. Ud, yang merupakan suami dan ayah dari korban, kemudian menyerang dan membunuh kedua orang tersebut saat persidangan keduanya sedang digelar. Saat ditahan polisi, Ud sulit dimintai keterangan dan selalu memberikan jawaban yang berbeda-beda. Saat ini polisi melibatkan bantuan psikiater untuk memeriksa kejiwaan Ud, sebab ditenggarai terdakwa mengalami stres berat setelah kematian anak dan istrinya.* 

 

 

 

 

 

Irma Susanti Irsyadi Photo Writer Irma Susanti Irsyadi

hanya seorang pecinta kata-kata, yang menghabiskan waktunya untuk menonton film dan membaca buku

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya