[Cerpen] Si Penggali Kubur

Di sudut matanya, ia mulai melihat banyak pergerakan di kiri kanan. Sudah mulai, keluhnya dalam hati. Satu per satu sosok-sosok bermunculan.

Lelaki itu menggigil. Kedua lengannya terasa panas, kesemutan. Rasa itu kemudian menjalar ke punggung, ke kepala. Kepalanya berdenyut-denyut. Ia  mengambil cangkul di belakang pintu dapur. Setelah berpamitan pada istrinya, ia bergegas menyusuri jalan di belakang rumahnya, menuju suatu tempat. Tempat yang jarang didatangi orang.

Tiba di tempat tujuan, ia mendatangi sebidak tanah kosong, dan mulai mencangkul. Setiap cangkulan berarti berkurang satu rasa sakit di kepalanya. Kesemutannya hampir hilang. Ia tekun menggali, cangkul lagi, cangkul terus.

Sekian menit berlalu. Matahari sudah sangat condong ke Barat. Di hadapannya kini menganga sebuah lubang seukuran satu kali dua meter. Ia menarik nafas. Mengusap peluh di keningnya dengan lengan baju. Ia kemudian duduk di pinggir lubang yang baru saja ia gali. Sekarang hanya tinggal menunggu.

Di sudut matanya, ia mulai melihat banyak pergerakan di kiri kanan. Sudah mulai, keluhnya dalam hati. Satu per satu sosok-sosok bermunculan. Besar, kecil, utuh, tidak utuh. Ia tak peduli. Mereka mendekat, ia acuh.

Di kejauhan nampak dua sosok berjalan ke arahnya. Semakin dekat, ia mengenali mereka sebagai Pak Karma dan Pak Tarjo, tetangganya. Ia menarik nafas panjang. Terjadi lagi.

Begitu tiba di hadapannya, Pak Karma langsung berkata,

"Di! Saya tadi ke rumah sampeyan kok, ituu ... mau minta tolong ..."

Acuh tak acuh ia mengedikkan bahunya ke arah lubang galian.

"Sudah siap, Pak." jawabnya.

Kedua tetangganya terdiam.

 

"Lah kok sampeyan selalu tahu duluan toh? Yang meninggal warga RT 05, Bapak Ngadimin ... "

Ia hanya mengangguk. Ia tak butuh nama.

 

**************

 

Mardi, itu namanya. Usianya 37 tahun, berbadan tegap namun wajahnya terlihat sepuluh tahun lebih tua, bukti dari hidup serba kekurangan sejak kecil. Ia buruh tani, jam ngantornya sejak matahari terbit hingga terbenam, sampai kulitnya menghitam. Ia salah satu dari sekian banyak buruh tani di desa ini. Desanya orang miskin.

Di luar itu, ia punya profesi lain. Profesi yang bagi sebagian orang menyeramkan. Ia seorang penggali kuburan. Satu-satunya di desa itu. Dulu ada penggali kuburan lain, namun laki-laki itu sudah meninggal, mengisi salah satu kuburan yang dulu ia gali. Sepeninggal koleganya, Mardi bertahan sendiri. Bukan karena tidak ada yang tertarik lagi untuk menjadi penggali kuburan, tapi karena ia punya keistimewaan.

Setiap ada yang meninggal, sebelum kabar sampai di telinganya, ia sudah tahu. Ia sudah merasa, karena biasanya tiba-tiba ia akan diserang penyakit aneh berupa kesemutan, badan panas dingin hingga nyeri di kepala. Penyakit aneh yang hanya bisa sembuh setelah ia menggali lubang. Lubang kuburan. Maka, posisi penggali kuburan yang kosong, tak pernah terisi. Bagaimana mau bekerja, jika Mardi selalu sudah siap, bahkan sebelum jenazah datang.

Warga desa bukan tak heran dengan keanehan Mardi, lelaki beranak tiga itu. Mereka bingung dan takjub. Namun setiap kali warga bertanya, Mardi tak pernah menjawab. Dia sendiri tidak mengerti mengapa bisa begitu. Ia menerima takdirnya seperti itu, sama seperti ia menerima kenyataan bahwa sejak kecil, ia sudah mampu melihat makhluk-makhluk lain, yang bukan manusia.

Makhluk-makhluk ini, ia temui di mana saja. Di sudut rumah, di ujung jalan, di rumah tetangga, di jalan raya depan desa. Hanya di rumah ibadah saja yang belum pernah ia saksikan. Makhluk-makhluk ini sepertinya sadar bahwa Mardi mampu melihat mereka. Akibatnya, Mardi sering didatangi. Namun sama seperti tanggapan dinginnya ke warga, Mardi juga menanggapi mereka dengan acuh tak acuh.

Sering Mardi 'dihadang' oleh para makhluk tak diundang ini. Suatu malam sepulang dari rumah Pak Kepala desa yang memintanya untuk membetulkan atap rumah, Mardi didatangi sesosok makhluk. Ia berwujud perempuan berbaju gaun putih dengan wajah pucat pasi. Ia berdiri di jalan yang akan dilalui Mardi. Mardi berhenti sejenak, lalu berjalan memutari perempuan itu, tanpa berkata apapun.

Mardi merasakan lengannya seperti ditusuk batangan es, dingin. Ia sulit melangkah. Kakinya berat untuk digerakkan. Menoleh ke belakang, ia melihat si perempuan sudah membelalak. Gaun putih bersihnya sekarang berlumuran darah. Namun Mardi tak peduli. Ia sudah dapat melihat mereka sejak kecil. Mardi menyentakkan lengannya, dan terbebas. Ia berjalan pulang, tanpa pernah menoleh ke belakang.

Mereka tak pernah bersuara, makhluk-makhluk itu. Atau mungkin pernah, tapi Mardi memilih untuk tidak mendengar. Seumur hidupnya dua kali ia pernah menghardik mereka. Pertamakali, sewaktu ia menjenguk Bik Sumi, tetangga ujung desa yang sedang sakit parah. Di sisi kepala Bi Sumi, ia melihat sesosok besar makhluk bertaring dan bertanduk. Kepalanya plontos, tatapannya lapar, ke arah Bi Sumi. Mardi membentaknya, "Pergi kamu!". Makhluk itu tersentak, lalu menghilang.

Kedua, sewaktu Bagus, anak pertamanya masih bayi. Bagus sedang menetek ke Ibunya di kamar, saat Mardi melihat kepala tanpa badan yang menyeramkan melayang di pintu memandang ke arah bayinya. Kepala itu kepala perempuan. Lidahnya panjang terjulur, matanya merah. Mardi merasa amat marah, "Jangan ganggu anakku!" lagi-lagi makhluk itu menghilang.

 

Orang mungkin menyebutnya setan, atau hantu, atau dedemit. Mardi tak tahu. Pak Ustadz desa sebelah bilang, itu jin yang senangnya menakut-nakuti manusia. Hanya berlindung pada Tuhan sajalah caranya supaya selamat. Mardi juga tak tahu pasti. Ia tak pernah benar-benar mengenal Tuhan. Hidupnya sejak kecil penuh perjuangan, yang membuatnya terlalu sibuk mencari makan, meski hanya dengan lauk sederhana, membuatnya tak sempat memikirkan Tuhan.

 

***********************

 

Mardi berselonjor di bale-bale di depan rumah biliknya. Tinah, istrinya memijiti kakinya. Mardi melenguh, nikmat. Setelah seharian terpanggang terpapar sinar matahari di sawah, dengan pinggang sesekali menekuk untuk mencangkul, pijatan ini semacam hadiah yang selalu ia nantikan setiap malam.

"Ti ..." ia memanggil istrinya.

Tinah, perempuan sederhana itu, sedikit terlonjak dari lamunannya. Mata mereka bertemu.

"Fatmah masih demam?"

Tinah tersenyum. "Ndak, Mas ... sudah kubaluri minyak bawang tadi, panasnya sudah turun. Sudah tidur lelap."

Mardi ikut tersenyum. Fatmah, si bungsu dengan nama pemberian dari Bu Bidan itu, permata di keluarganya. Dua anaknya yang lain, laki-laki, Bagus dan Jaka. Fatmah, yang sedang tertatih-tatih belajar berjalan, adalah salah satu hiburannya di rumah.

"Jaka minta sepatu bola Mas, yang bekas juga ndak apa."

 

Mardi mengangguk.

"Ya Ti, besok Mas dipanggil Juragan Barli, katanya diminta mberesi pagar rumah. Kalau nanti Juragan kasih uang, bisa Mas belikan sepatu untuk Jaka. Nanti cari di pasar, yang bekas tapi masih bagus."

Angin berhembus lembut di malam yang sejuk itu. Mardi masih menikmati pijatan di kakinya.

Di pagar rumahnya, duduk mendemprok dua anak kecil gundul. Kulitnya legam. Keduanya seperti sedang bermain-main. Di dahan pohon Mangga sudut sana,  perempuan tak berwajah sedang duduk bergoyang-goyang, layaknya duduk di atas ayunan. Sesekali beberapa makhluk lain hilir mudik. Anak kecil, perempuan, laki-laki, kakek-kakek, hingga yang berwujud manusia namun berkepala binatang.

Mardi tetap tak acuh. Hidupnya memang seperti ini.

 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

****************

 

Mardi merasakan tangannya memanas. Panas itu menjalar, ke lengannya, ke bahu, ke punggung, semuanya. Kepalanya mulai berdenyut, nyeri. Ia mengutuk dalam hati. Hari masih siang, belum saatnya berhenti bekerja. Namun kepalanya seperti dihantam oleh benda tumpul berulang-ulang. Sakit sekali.

Ia meraih cangkulnya. Ia berteriak kepada Parjo, buruh lain yang paling dekat jarak lahannya. "Aku pulang Jo!" Tanpa menunggu jawaban, Mardi bergegas menuju jalan. Berjalan menyusuri petakan sawah. Menuju tempat itu. Tempat yang jarang dikunjungi orang.

 

Ia mencangkul, dan mencangkul lagi. Peluh bercucuran.

Ia menatap lubang kubur di hadapannya. Semestinya sebentar lagi akan ada orang datang mengabarkan.

Tiba-tiba ia merasakan nyeri lagi. Kepalanya berdenyut lagi. Ada apa ini? Mardi mengerenyitkan kening. Ia memijat-mijat pelipisnya. Sakit itu tak mau hilang. Ia harus menggali lagi.

Dua lubang sekarang di hadapannya.

Sakitnya tak mau hilang. Semakin ia menggali, semakin panas menjalari sekujur tubuhnya. Ia melepaskan kaus lusuh yang menempel di tubuhnya. Lengket semua.

Ia menggali, dan menggali. Ia menggali seperti kerasukan, karena ia ingin sakit itu segera pergi. Peluh bercucuran. Ia tak peduli.

Empat lubang kuburan berdampingan di hadapannya.

Ia jatuh terduduk. Tenaganya habis. Kepalanya mulai terasa normal. Susah payah ia mengatur nafas.

Semestinya sekarang waktunya. Ia menunggu. Semestinya ada yang datang mengabarkan.

 Sekian menit berlalu. Tak jua ada yang datang.

Ah, kali ini pasti salah. Keanehannya sudah hilang. Mardi hampir tersenyum. Betapa selama bertahun-tahun, ia memendam rasa menyesal karena merasa seolah-olah 'mendoakan' orang supaya meninggal.

Ia berdiri. Waktunya pulang. Sebentar lagi gelap. Ia sudah dapat melihat 'mereka' di beberapa sudut.

 

Dengan cangkul disandang di bahu, ia berjalan gontai. Diingatnya kembali rencananya esok hari. Ia akan mengajak Jaka ke pasar, untuk mencari sepatu bola. Ah, Bagus juga bisa diajak. Mungkin, jika ada sisa uang, mereka bisa membeli es campur yang terkenal enak itu di pasar. Ah, mungkin dibungkus saja, supaya bisa dinikmati bersama di rumah.

Di kejauhan ia mendengar suara-suara. Semacam riuh rendah.

Ada orang hajatankah?

Ia terus berjalan.

Nampak asap membungbung tinggi di langit.

Ya Tuhan, rumah siapa yang kebakaran itu?

Mardi mempercepat langkahnya.

Tiba di gapura desanya, sepasang tangan menariknya.

"Di, jangan ke situ ..."

Ia menoleh. Tarjo, temannya sesama buruh, memandanginya aneh.

"Jo, rumah siapa itu?"

Tarjo menggeleng.

"Di, sudah di sini saja."

Mardi tak mengerti. Tapi kemudian datang Pak kepala desa, Pak Samad, bahkan Juragan Barli. Semua menahannya.

"Di, sudah jangan ke sana ... sabar yaaa"

 

Mardi menepis tangan-tangan yang mencoba menariknya. Ia meronta. Di sudut matanya, makhluk-makhluk itu memandanginya. Seperti mencemoohnya. Mardi menggila. Ia harus tahu. Ia perlu tahu.

Mardi setengah berlari menuju kepulan asap. Orang-orang tadi mengejarnya, memanggil-manggil namanya.

Mardi tertegun. Nafasnya terengah-engah.

Rumahnya tak terkenali lagi. Hanya tinggal reruntuhan dan kepulan asap. Di sudut jalan, ada empat tubuh tertutupi kain putih.

Mardi terduduk di tanah. Kedua tangannya mengepal. Napasnya sesak. Kedua matanya memanas.

Makhluk-makhluk itu memandanginya. Mencemoohnya.

 

 

 

 

 

Irma Susanti Irsyadi Photo Writer Irma Susanti Irsyadi

hanya seorang pecinta kata-kata, yang menghabiskan waktunya untuk menonton film dan membaca buku

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya