[CERPEN] Perempuan yang Datang dari Bulan

Dia masih di sana sampai sekarang

“Wajahnya pucat dan dingin, aku tak tahu berapa lama dia sudah ada di sana, Ma...,” kataku ingin segera menyudahi pertanyaan mama. Ia sangat antusias mendengar ceritaku tentang perempuan yang datang ke kamarku kemarin malam.

“Bagaimana dia bisa masuk?” Aku mengangkat bahu, menyendokkan bubur yang tersisa ke dalam mulut. Habis. Mama masih berjalan mondar-mandir, ia pasti memiliki banyak sekali pertanyaan. Namun sayang, aku tak bisa memberikan jawaban memuaskan.

Ia sampai gemas karena aku hanya memberikan jawaban “Iya” dan “Tidak” kecuali jawaban terakhir: “Jangan-jangan dia maling Pram!”

Aku sempat berpikir demikian. Sudah kuhabiskan waktu seharian untuk mengecek seluruh isi kamar, dan rupanya tak ada barang yang hilang sama sekali. Namun mata itu. Ah, rasanya dia tak mungkin berbohong meski memang tak masuk akal.

“Aku dari bulan,” jawaban perempuan itu masih aku ingat betul.

“Kita harus pasang CCTV Pram!” Tak lama kemudian mama berlalu menelepon seseorang yang entah siapa. Ketika telepon sudah ditutup, mama kembali menemuiku.

“Mama sudah menelepon toko elektronik. Mereka akan datang pasang CCTV di kamarmu hari ini."
**

Sejak kamera CCTV benar-benar dipasang di kamarku, perempuan itu tak pernah muncul lagi. Kali ini aku setuju dengan pendapat <ama, mungkin saja perempuan itu memang maling yang kebetulan tahu kamarku sudah terpasang CCTV sehingga takut aksinya nanti ketahuan.

Aku mulai melupakan kejadian itu, sekarang aku tengah sibuk mengerjakan skripsi agar cepat terbebas dari tugas-tugas revisi yang membuatku jengkel. Ah, seandainya aku menjadi dosen akan kubiarkan mahasiswaku lulus semua.

Aku pulang larut malam hampir jam dua belas. Beruntung mama sedang pergi mengunjungi kerabat di luar kota, ia tak bisa memberondongku dengan banyak pertanyaan malam ini.

Aku masuk kamar, menyalakan lampu sebagai penerangan. Namun, betapa terkejutnya aku. Badanku seketika langsung gemetar hebat melihat sosok perempuan yang sedang duduk di tepi jendela. Aku ingin segera berteriak dan lari sekencang-kencangnya.

Menyadari kedatanganku, dia berbalik. Tersenyum. Seakan tak peduli dengan ketakutanku yang hampir mati berdiri. Aku membayangkan ia akan mendekat dan mencekikku seperti hantu di film-film horor.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Namun, ia sama sekali tak melakukan apa pun, hanya diam lalu berbalik kembali menatap langit.

“Hei! Siapa kamu! Dari mana kamu masuk?!” Kuberanikan diri untuk menggertaknya. Jendela yang terbuka membuat rambutnya yang tipis sedikit terbang ke belakang.

“Dari bulan,” jawabnya datar. Aku makin keringat dingin, jangan-jangan ajalku sudah dekat, aku teringat mama. Bagaimana jika ia tahu bahwa perempuan yang aku ceritakan padanya sebenarnya adalah malaikat maut? Aku ingin lari saja, namun lagi-lagi kakiku tertahan.

Mungkin saja perempuan itu memang sengaja menahanku agar tidak bisa pergi ke mana-mana.

“Apa yang kamu inginkan?" Dia tersenyum, lagi. Kali ini ia berbalik menatapku cukup lama. Kuperhatikan wajahnya yang cantik namun pucat seperti salju. Tiba-tiba ada yang mendesir dingin masuk hingga ulu hati. “Bella…,” nama itu langsung keluar begitu saja dari mulutku.

Kepalaku sakit bagai terkena pukulan ribuan palu. Bayangan gadis itu memaksa masuk ke dalam ruang ingatanku. Aku seketika terbang jauh ke masa lalu. Berjumpa kembali dengan gadis periang yang bisa membuat siapa saja bahagia meski hanya sekadar mendengar ceritanya.

Bella. Gadis yang memiliki paras cantik dengan rambut sebahu yang selalu terurai dan mata yang seolah tertawa. Namun kala itu ia tampak lain. Wajahnya pasi akibat sakit yang tak kunjung sembuh. Rambutnya yang tebal sudah mulai menipis karena tak kuat menahan panas tubuhnya.

Hari itu terakhir kali aku menemuinya sebelum berangkat ke Bandung. “Aku janji akan menemuimu lagi Bella. Cepat sembuh ya,” gadis yang terbaring di ranjang rumah sakit itu tersenyum.

“Aku akan pergi ke bulan, Pram.”

“Kalau begitu aku ikut! Supaya kita bisa hidup bersama di sana," kami berdua tertawa, ia mengaitkan jari kelingkingnya padaku. “Janji ya?” Aku mengangguk.
**
Aku tersadar dari ingatanku, perempuan itu masih duduk di sana. Aku menangis tergugu di tempatku. Hingga entah sampai pukul berapa aku akhirnya tertidur dan rasanya cepat sekali mendengar suara mama yang datang membangunkanku.

“Kamu kok tidur di lantai Pram? Gak kuliah?” Aku melihat sekeliling, mencari Bella. Ia sudah pergi. Namun aku tahu dia akan selalu kembali. Menungguku siap pergi ke bulan bersamanya. Sejak itu ia selalu kemari setiap malam. Duduk termenung di tepi jendela, menatap bulan yang seolah tak sabar menungguku datang.***

Baca Juga: [CERPEN] Tentangmu yang Menguasai Ruang Sunyi di Hatiku

Ismi Mardiyah Mardiyah Photo Writer Ismi Mardiyah Mardiyah

Tidak suka minum es teh

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya