[CERPEN] Takhayul Neksus di Langit

kejadian kecil penyebab peristiwa besar
Gedung-gedung pencakar langit hanya menyisakan lantai satu sampai tiga puluhan saja yang terlihat. Selama satu bulan terakhir langit Migantown dipenuhi awan putih pekat. Semakin ke bawah atmosfer semakin berkabut. Karena begitu gelap, Migantown selalu menghidupkan lampu-lampunya.
 
Awan yang mendadak muncul setelah kematian dukun klenik tersebut belum juga menghilang. Meski berminggu-minggu para ilmuwan dan cendekiawan sudah lelah mencari solusi. Kepercayaan takhayul masih menjadi prioritas warga kota karena kebetulan mengerikan yang sangat tepat waktunya.
 
“Kalian dengar! Begitu aku sudah tiada, kota ini bukan lagi apa-apa!!”
 
Orang-orang yang mendengar perkataan dukun gila itu tidak mengindahkannya. Tidak sebelum terjadi fenomena ini. Termasuk lelaki berkulit hitam dan bertubuh kecil yang kini berdiri di atap apartemen tiga lantai, memandang ke atas selama beberapa menit.
Bajunya lembap karena terlalu lama berada dekat dengan awan. Ponselnya juga memberi peringatan baterai segera habis karena senternya yang dihidupkan berjam-jam. Beruntung dia tidak sakit menghadapi suhu udara yang kian menurun. Sementara orang-orang di lingkungannya mulai mengungsi ke kota lain. Beberapa dari mereka yang bertahan akhirnya pergi ke rumah sakit satu demi satu karena terserang demam tinggi.
 
Peristiwa luar biasa yang terjadi di langit tak berhenti dia pikirkan. “Dukun gila! Bagaimana aku bisa menghentikan ini?!” Kakinya menendang udara kosong dengan amarah. Ia menutup wajahnya dengan tangan, sembari berlutut kemudian menatap ke angkasa.
“Ibu! Kau sungguh melakukan hal ini padaku??” dia berteriak putus asa.
 
Dukun yang dianggap gila oleh warga kota adalah seorang perempuan paruh baya yang hidup sendiri. Ia ditinggalkan puteranya yang bekerja di sebuah perusahaan elektronik. Puteranya yang tidak lain adalah lelaki itu, sangat tidak mempercayai adanya kekuatan magis. Dia benar-benar menganggap ibunya seorang penipu.
 
Namun, anggapan itu hancur begitu saja setelah kematian ibunya. Lelaki berperawakan kecil itu mendesah ketika menuruni tangga menuju kamar apartemennya. Ia bertekad untuk menyelidiki apapun yang ibunya tinggalkan.
 
Kalimat yang membuatnya bertanggung jawab atas kejadian ini, “Hanya kau yang bisa mengembalikan keadaan seperti semula.” Itu ucapan ibunya sambil melotot padanya di tengah lapangan, saat festival Migantown diadakan.
 
“Camkan!” Tepat setelah kata terakhir itu, ibunya tiba-tiba kesakitan lalu menghilang dari pandangan orang-orang. Tak lama setelah itu muncul kabut pertama yang memulai tragedi kota awan ini.
 
Lelaki itu buru-buru mengambil kunci mobilnya untuk pergi ke rumah ibunya, si cenayang. Perjalanan yang seharusnya cepat menjadi sangat lambat akibat jarak pandang hanya 3 sampai 4 meter saja. Hatinya menggeram tidak lagi tahu harus bagaimana. Ia merasa sudah terlanjur tidak mempercayai hal-hal gaib yang terjadi, meski situasi berjalan sangat kontradiktif.
 
Sejak bekerja di perusahaan elektronik lampu dan perangkatnya, dia memutuskan untuk pergi dari jangkauan ibunya. Keberadaan sihir, prediksi masa depan menggunakan pikiran belaka, bahkan membaca manusia dengan tarot tak secuil pun ia menaruh perhatian.
Sementara ibunya terus mengirimkan surat berisi kejadian-kejadian masa depan yang mungkin akan terjadi pada anaknya. Hingga suatu hari sekelompok orang melempari rumah cenayang itu dengan telur busuk, mengaku bahwa si dukun bisa saja membawa sial untuk kehidupan modern ini.
 
Pasalnya dia sempat mengabarkan Migantown akan segera mengalami bencana akibat kelalaian warga Migantown yang menggunakan alat-alat modern. Kabar berita nasional sampai meliput kesaksian dukun tersebut.
 
Siapa pun sulit menerima kabar buruk itu. Beberapa waktu bahkan orang-orang memberikan penolakan keras. Apa maksudnya kelalaian menggunakan alat modern? Lucu sekali! Pikir orang-orang.
 
Rumah kayu di depan lelaki kurus itu membuat siapa saja yang melihatnya bisa merinding. Jimat-jimat kertas warna putih tertempel di sela-sela bagian rumah, sejenis kalung dari tanaman tergantung di pintu, sisa-sisa cangkang telur berserakan di halaman dan sudut teras, serta tercium bau busuk di sekitarnya. Semua itu terasa seperti melihat rumah penyihir yang berhantu.
 
Kabut yang tidak pergi dari penglihatannya menambah suasana rumah itu mengerikan. Namun, bagi orang yang kini sedang memandanginya, adalah sebuah hal tragis. Tak terduga air matanya mulai terkumpul di pelupuk mata. Ia mengerjap dengan cepat, berusaha menghilangkan perasaan yang tidak diinginkannya.
 
Isi rumah yang dilihatnya masih sama seperti terakhir kali dia meninggalkannya. Patung-patung kecil yang entah mengandung arti apa diletakkan berkerumun di rak-rak dengan berantakan. Ibunya pernah mengatakan bahwa suatu saat benda-benda mati bisa menolong kita. Ucapannya yang aneh kini menggerayangi pikiran lelaki itu.
 
“Aku tidak tahu maksudmu, apa yang kau sembunyikan?!” Dia mengeledah laci-laci lemari ibunya, membaca jimat-jimat yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya. Mengeluh karena kesal tidak menemukan satupun petunjuk. “Jadi, apa yang harus kucari?” Patung tanah liat berbentuk wanita ia lempar ke dinding sampai pecah.
Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

 
Percayalah.
 
“Siapa itu?” lelaki itu menoleh dengan cepat, mengamati kegelapan dan kelembapan sekelilingnya.
 
Percayalah, Nak.
 
“Ibu? Kau di sana?” Dia mengarahkan lampu ponselnya ke pintu ruangan yang gelap. “Ah, benar-benar. Siapa di sana?” Pikirannya ingin mendekat tapi tubuhnya melarang.
 
Hihihihihihi... Kau ini bodoh ya?
 
Suara itu membuatnya tersungkur ke belakang seperti pengecut di lantai lembap. Seolah suara wanita itu melayang-layang mengitarinya. Mendadak barang-barang di ruangan itu berjatuhan mengenainya.
 
Jika kau abaikan, dia akan marah!
 
Suara itu melengking hingga telinganya berdenyut. Seorang wanita bergaun kelabu tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya, tersenyum menakutkan. Tapi wanita itu sama sekali tidak menatapnya.
 
“Ibumu akan marah jika kau tidak percaya padanya.” Wanita itu berbicara padanya dengan suara sangat pelan, tapi matanya seperti orang yang melamun.
“Apa maksudmu?” Lelaki itu bertanya takut-takut.
 
Bodoh!!
 
Suaranya kembali melengking tapi samar seolah tidak ada di dunia ini. Sosok wanita itu mendekat sampai lelaki kurus itu merasa nyawanya ingin kabur dari tubuhnya. Tubuhnya benar-benar lemas sampai tangannya yang menyangga tubuh tidak mampu bertahan, ia pun terjatuh lagi. Wanita yang menakutkan tadi kemudian menghilang begitu saja dari pandangannya.
 
“Aku— aku percaya! Aku percaya padamu, Ibu.” Suara lelaki itu bergetar. “Aku hanya tidak mau mengakuinya. Sulit mengakuinya. Maafkan aku, sungguh maafkan anakmu ini.”
 
Beberapa lama dia meringkuk di lantai rumah itu. Setelah hatinya merasa lega, di berdiri untuk pergi. Dia mengusap sisa air mata di pipinya sembari melangkah ke luar rumah. Tak disangka suasana yang dia lihat di luar membuatnya mengusap mata berulang kali. Kabut yang sejak tadi bersarang di bumi, seakan tertarik ke angkasa dan menghilang. Terik matahari menyilaukan matanya dan awan sudah kembali ke tingkatan atmosfer yang seharusnya.
 
“Kutukan Ibu berhasil dipatahkan. Terima kasih Ibu.”
 
Akhirnya kau percaya padaku.
 
Ia mendengar suara aneh lagi, kali ini bukan dari sosok wanita tadi melainkan ia yakin itu suara Ibunya.***

Baca Juga: [CERPEN] Malam-Malam Panjang

Jello sp. Photo Verified Writer Jello sp.

//The writer with flowers in mind (✿^‿^)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya