[CERPEN] Tetesan Tinta dalam Jurnal Mimpi

Aku bermimpi dan berimajinasi

Meringkuk, napasnya berat, telentang lagi, lalu mengerjap.

Aku terdampar. Dikelilingi oleh pohon-pohon berwarna hitam. Rantingnya kering dan tak berdaun terus menari diterpa angin kencang. Aku sedang terdampar di tempat yang bahkan aku sendiri tidak tahu di mana. Semakin lama semakin gelap. Benar-benar membuatku frustasi. Saat aku berjalan perlahan, sesuatu menggenggam tanganku!!

Alba terbangun penuh peluh membasahi dahinya. Mimpi buruknya berulang untuk ke sekian kali dengan rona yang semakin mengerikan. Kabut pekat juga belum tersibak, mengungkap kebenaran dari tempat kering tak bernama dan mimpi lainnya.

Usai menulis mimpinya dalam sebuah jurnal, ia bawa buku mimpi itu untuk diperlihatkan kepada psikiaternya. Ahli jiwa yang hampir berhenti dari profesinya, beruntungnya berhasil diyakinkan oleh pasien-pasien yang masih memerlukan bantuannya. Alba yang mengidap generalized anxiety disorder/GAD mampu bertahan atas perawatan psikiater tersebut.

Mr. Ali terdiam mendengarkan penjelasan Alba, kemudian dia membuka halaman per halaman jurnal mimpi di tangannya. Sebuah catatan ia torehkan di halaman terakhir jurnal seperti yang sering dilakukannya. Kemudian Alba bersiap duduk di kursi berlengan untuk memulai sesi hipnoterapi. Suara metronom mengisi ruangan yang sepi dengan debarannya.

Tenang, rileks, kemudian degupan jantungnya seirama dengan 78 bpm dan terus memelan.

Aku mencoba berjalan lurus meski kakiku berat. Pepohonan kering mulai ditumbuhi daun-daun lebat serta ketinggian batangnya memendek. Mereka merimbun dengan cepat seolah time-lapse pertumbuhannya. Angin ribut pun lenyap sejauh mata memandang. Aku mulai berlari di jalan setapak yang tidak ada habisnya. Penglihatanku kabur dalam jarak dua meter ke depan, aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang menungguku di sana. Siluet anak kecil memakai topi baret.

“Maafkan aku!” Alba terkesiap bangun dari mimpinya.

“Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja.” Mr. Ali menenangkan Alba dari kecemasannya.

Seseorang menunggu Alba di luar ruangan. Mr. Ali pun mempersilakan Alba pamit karena ibunya sudah menunggu dan ia mengingatkan agar Alba tidak lupa membaca catatan yang ia beri dalam jurnal.

Hari selanjutnya, Mr. Ali duduk santai di kursi malasnya sambil menekuni catatan diagnosa pasien-pasiennya. Hatinya merasa senang karena tetap memilih bertahan menjadi psikiater daripada menjadi pengangguran. Seperti tetangga sebelah yang menghabiskan masa tuanya hanya dengan bermain catur, merajut, atau bahkan duduk saja di beranda rumah tanpa melakukan suatu hal berarti.

Seminggu kemudian Mr. Ali melihat Alba di pekarangan rumah membawa skateboard, ia bersiap pergi bersama teman-temannya.

“Alba, kau sudah membaik?” tanya Mr. Ali menengok dari jendela rumahnya.
“Oh, kumohon namaku bukan Alba.” Kesahnya pelan seraya menundukkan kepala.

Mr. Ali mengerutkan keningnya, mencoba memahami maksud anak itu. Mendadak seseorang memegang pundaknya dari belakang.

“Ayah, sebaiknya kau istirahat. Aku akan membuatkan sup kesukaanmu.”

“Oh, Mia.” Mr. Ali mengikuti ajakan anaknya. Dia menuju kamarnya untuk istirahat. Seharusnya hari ini adalah jadwal temu dengan Alba, melihatnya tadi sepertinya ia sudah baik-baik saja.

Ketika rasa kantuk yang sangat menyerang, terdengar ketukan di pintu. Alba menyembulkan kepalanya ke ruangan. Dia terlihat memakai baret merah yang tadi tidak dipakainya.

“Topi baru?”
“...” Alba tersenyum saja menanggapi Mr. Ali. “Aku minta maaf untuk tadi.”

Mr. Ali mengangguk paham sembari mengantar Alba ke ruang konseling.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tik, tok, tik, tok, ...
Entah di seberang kabut itu hutan atau laut, apa pun itu aku tidak berani melangkah. Namun, sebuah suara menggerakkanku. ‘kemarilah, selamatkan aku.’ Aku mulai penasaran, kakiku maju satu langkah, dua langkah, aku pun mulai dibutakan oleh kabut.
‘tolong Alba, jangan pergi. Aku sudah tidak bisa menahannya. Alba!’ aku melihatnya, di tepi jurang. Seseorang menggapai-gapai retakan mana saja yang bisa dipijak kakinya, tapi nihil. Tangannya mencoba meraihku!

“Aku tidak melihatmu! Tidak! Tidak!” teriak Alba dengan kalut.
“Tak apa. Kau ada di tempat aman, Alba. Apa yang terjadi?” Alba masih memukul-mukul kepalanya, Mr. Ali tidak mampu menghentikannya. Dia hanya sanggup menenangkan dengan kata-katanya.

Beberapa menit berlalu, Alba akhirnya membaik. Dia lalu memutuskan untuk beristirahat di rumah. Mr. Ali baru saja akan memanggil Alba karena baret merahnya tertinggal, sayangnya Alba sudah berjalan jauh.

Sore itu, sebuah surat datang untuk Mr. Ali. Amplopnya terlihat sangat tua serta di bagian nama pengirimnya luntur seperti habis terkena air. Mungkin memang surat lama yang baru dikirim.

Dear Ali,
Bagaimana kabarmu? Kuharap baik-baik saja sepertiku. Aku akan menulis surat ini dengan cepat, karena hari ini aku sedang mengepak barang-barang. Benar sekali yang sedang kau pikirkan. Aku akan berkunjung ke Ladive, akhirnya kita akan berjumpa lagi.
Aku ingat permintaanmu terakhir kali sebelum aku pindah. Kau selalu ingin topi baret seperti milikku. Kalau kau memintanya mungkin akan langsung kuberi. Ah, dan satu hal lagi. Kau selalu ingin aku memanggilmu seperti teman, sayangnya aku lupa nama depanmu. Ingatkan aku saat kita bertemu, Ali.

Salam hangat, P

Setelah membaca surat itu, ia termenung. Lalu mengambil jurnal mimpi Alba untuk diperiksa.

‘boleh aku pinjam baretmu?’ tanpa menjawab dia memberikan baretnya untukku. Kita berpura-pura menjadi dua penjelajah yang sedang mencari harta karun. Kita berlarian di hutan tanpa rasa takut. Rimbunnya pohon menghalau pandangan di depan. ‘aaa...’ dia berteriak. Aku tidak bisa menolong karena dia terperosok jauh di jurang. Tanganku tidak bisa menggapainya.

Tanpa sepengetahuan Mr. Ali, Alba sudah masuk ke ruangannya dan duduk tenang di depannya.

Alba menatap Mr. Ali dengan tatapan menuduh. Tanpa jeda dia mulai membenturkan kepalanya ke kursi, memukul diri sendiri dan berteriak. Tiba-tiba Alba berhenti sambil perlahan mengangkat wajahnya. Di depannya berdiri seorang anak memakai topi baret merah.

“Dengar. Sekarang aku sudah baik-baik saja. Topi ini juga sudah menjadi milikmu. Saatnya kau melupakanku dan hidup dengan baik. Ali temanku.” Anak itu berubah seperti sulap menjadi Mr. Ali yang sedang tersenyum padanya.

“Terima kasih sudah menjagaku selama ini.” Alba meneteskan air matanya seraya memeluk Mr. Ali. Kemudian dia pamit pulang.

Sayup-sayup terdengar pembicaraan dua orang dari arah dapur.

“Ayah, apa semua orang di rumah akan selalu memanggilku Alba karena kakek? Bagaimana jika kalian melupakan namaku yang sebenarnya?” tanya suara itu.

“Rey, semua orang masih mengingat namamu. Kau hanya perlu menjadi Alba Ali muda untuk Kakek. Kita harus bekerja sama membantu kakekmu sembuh dari masa lalu yang mengganggu kesehatannya. Kau mengerti bukan, Rey?”

“Baiklah. Hanya saja aku kasian padanya, kadang dia berbicara sendiri.”
“Menganggap Alba adalah orang lain dan dirinya adalah seorang psikiater adalah cara dia menerima masa lalunya, Rey. Psikiaternya dulu memang mirip sekali dengannya, kau tahu.”

Mr. Ali mematung di balik pintu mendengar percakapan itu. Ia pun menangis dalam diam mengenali nama Alba adalah nama kecilnya, nama panggilannya saat masih muda. Alba dan Ali adalah dirinya sendiri. Ternyata kabut pekat yang selama ini sulit tersibak ialah ciptaannya sendiri. Metafora alter ego dari masa lalu yang kelam.


Catatan-catatan Mr. Ali dalam jurnal mimpi :
Kau baik-baik saja, Alba.
Jangan biarkan rasa bersalah menggerogoti hati besarmu.
Alba, dia tidak menyalahkanmu.
Orang-orang percaya padamu, Alba.
Kau akan baik-baik, tentu saja. ***

Baca Juga: [CERPEN] Akhir Tragis tanpa Tangis

Jello sp. Photo Verified Writer Jello sp.

//The writer with flowers in mind (✿^‿^)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya