[Cerpen] Air Mata

dan perasaan

Sebulan lebih, aku berada di sebuah ruangan dengan warna dominan krem. Hanya ada sebuah ranjang panjang. Sofa menempel di sudut. Di dinding menempel pembersih udara. Di samping kiri ada benda persegi dengan garis berbentuk sandi rumput, yang berbunyi setiap detiknya.

Sebulan lebih, aku terbaring di ranjang dengan cover yang berwarna senada dengan tembok. Sudah sebulan lebih, aku tak dapat bersosialisasi, berkomunikasi, atau menatap orang-orang yang datang mengunjungi. Tak ada gerakan dariku. Tentu, mereka tak tahu bahwa dalam balutan piyama rumah sakit, perban mengelilingi kepalaku, benda yang menutupi hidung dan mulutku, dan di bawah selimut yang mencoba menghangatkanku—aku mendengar mereka.

Aku mulai mengerti mereka yang sebenarnya. Aku belajar tentang ketulusan, keikhlasan, kedamaian, juga kebencian dari air mata yang menetes di jari-jariku—hangat atau dingin. Air mata yang menunjukkan perasaan mereka.

Kudengar suara langkah mendekat setelah pintu bergeser. Suara gesekan ujung heels yang runcing bersentuhan dengan lantai yang dingin. Seorang wanita, pasti. Dia menarik kursi dan duduk. Tangannya perlahan menyentuh jemariku, lembut dan penuh kasih.

“Ann,” suaranya pelan menyebut namaku, “Ini Risa.” Dia menyebut namanya, seorang sahabat yang telah kukenal sejak sekolah menengah. Aku menyayanginya, saat bangun dari istirahat yang melelahkanku ini, aku pasti akan langsung memeluknya, berterima kasih masih datang melihatku. “Aku…” dia berhenti, air matanya menetes di punggung tanganku. Dingin. “Aku minta maaf.”

Untuk apa minta maaf? Andai saja bisa kukatakan langsung padanya. Aku senang karena dia telah datang dan tidak melupakanku.. Tapi, semakin deras air mata yang menjatuhi punggung tanganku, semakin aku merasa kedinginan.

“Aku telah bersalah padamu. Maafkan aku karena mencintai pria yang juga kau cintai.” Genggaman tangannya semakin erat. “Saat kau bangun, mungkin kau tak menyukainya. Tapi, kuharap kau memberi kami kesempatan. Aku benar-benar berharap kau sadar secepatnya. Maafkan aku.”

Dia menarik tangannya. Pintu bergeser. Kembali sepi. Dia mengangis karena merasa bersalah padaku, bukan karena takut kehilanganku. Entah kenapa, saat berada di posisi ini, aku terlalu cepat mengerti, terlalu cepat memaafkan. Bukankah itu hal yang baik?
Berselang beberapa menit, pintu kembali bergeser.

“Ann…” kuhapal betul suara itu, beberapa hari yang lalu aku pun mendengarnya. Kali ini suaranya berbeda, atau aku yang mendengarnnya berbeda setelah mendengar pernyataan Risa. Dia tak mendekat dan tetap mengucapkan namaku.

“Aku tak mengerti apa yang harus kulakukan selanjutnya, aku bahkan bingung dengan yang kulakukan, tapi…” dia baru melangkah mendekat, menyentuh kelingkingku. Berikutnya, bertetes-tetes air mata menjatuhi tanganku. “Maafkan aku,” katanya dan berlalu pergi.

Berbeda dengan tangisan Risa yang mengalir sekali, disusut di ujung matanya, pria yang kukenal semasa kuliah dan pernah menjalin hubungan dengannya, dia menangis dengan nada kasihan, keningnya pasti berkerut saat mendapati dirinya menangis karena merasa kasihan padaku.

“Aku dengar Alan sudah pulang yah,” suara ibu kudengar lebih tenang dari biasanya. Dia menyebut teman masa kecilku yang sudah bertahun-tahun tinggal di luar negeri.

“Ehm,” ayahku menanggapi singkat, dia berdiri memandang keluar jendela, setelah kudengar dia menggeser daun jendela.

“Senang sekali mendengarnya akan segera menikah,” ibu memainkan jarinya di tanganku, “kukira dia akan menikahi gadis ini. Mereka terlalu lama bermain bersama, jadi sulit bagi mereka menaruh rasa, mungkin.”

“Aku pikir Alan menyatakan perasaannya padanya, tapi kurasa tidak.”

“Anak kita terlalu kaku, bagaimana mungkin dia mengerti hal-hal romantis yang dilakukan Alan. Kuharap kau bisa menemukan teman yang lebih baik darinya,” pipi ibu terasa sangat hangat menyentuh di tanganku. Perlahan kurasakan air mata menyentuh tanganku.

“Ann… ibu menyayangimu,” katanya diikuti dengan air matanya yang begitu hangat. Berbeda dengan awal-awal aku dirawat, air mata ibu terasa sangat dingin, penuh kebencian dan keegoisan.

Aku mungkin sudah tersenyum, atau hanya persaanku saja, saat kurasakan sebutir air mata di tangan kananku. Itu ayah—seseorang yang tak pernah memperlihatkan air mata di depan keluarganya, hanya sebutir tapi terasa seember air tertuang di tanganku.

“Cepatlah sadar, nak,” suara ibu sendu.

Ingin sekali aku bangun dan memeluknya. Hanya saja, otakku tak membiarkanku. Mataku yang bahkan berusaha membuka untuk melihat siapa yang baru saja datang, gagal melakukannya.

“Ya, anak manja, kau belum bangun-bangun juga yah.”

Suara itu… seorang gadis yang tak pernah meninggalkan pekerjaannya hanya karena hal yang tidak penting, tapi setiap hari di saat jam istirahat kerjanya, sepulang dari kantor, dia menyempatkan diri masuk ke kamar dan mengomeliku. Kakakku, Mita.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ayah baru saja berbicara dengan dokter,” kata ibu yang juga menarik perhatianku.

“Lalu apa yang dikatakannya?” tanya Mita yang telah mengganti posisi ayah berdiri. Kurasakan tubuh ibu bergerak, dia menggeleng. Mita menoleh melihat ayah yang telah kembali memandang ke luar jendela. “Ayah…”

“Apa pun yang terjadi, Ayah tak akan pernah berhenti berdoa dan menunggu dengan banyak harapan padanya,” suara ayah bergetar, entah itu termasuk kabar gembira atau tidak. “Ayah percaya adikmu, dia seorang gadis yang kuat.”

“Tentu,” tangan Mita menyentuhku, “Asal kita kuat, dia pasti akan menjadi lebih kuat. Benarkan gadis bawel?” dia mengangkat tanganku, menyentuhkannya di pipinya yang terasa hangat. Kudengar dia berdehem, dia melepas tangan kirinya, digunakan untuk menyusut air matanya yang mengintip. Orang sepertinya yang selalu berpura-pura kuat di hadapan orang lain, mencoba mennyembunyikan perasaanya, mencoba menjadi pendukung terbaik untuk orang yang disayanginya.

“Alan, kau datang?” suara ibu mengejutkanku. Dia datang, pria brengsek itu datang. Pria yang pernah menyatakan perasaannya, pria yang selalu membuatku menunggu, tanpa memberi kabar, bahkan tak pernah meminta jawaban dariku.

“Wah, sejak kapan kau di sini,” Mita melangkah dan menepuk kepala Alan, “Sejak kau mencampakkan Ann, kau baru kembali.”

“Husss,” suara Alan yang telah lama tidak kudengar, “Kakak ini. Dia akan marah, mendengarmu mengatakan itu.”

Tahu dari mana dia, aku mendengarnya. Kalau aku sadarkan diri, aku mungkin akan mengoceh tidak jelas. Tapi, aku tak bisa bergerak atau sekedar mengucapkan selamat datang padanya.

“Kudengar kau akan menikah?”

“Ah, mana mungkin aku menikah sebelum Kakak yang sudah semakin tua itu belum mendapat pasangan, iya kan Bu?” Alan bertanya pada ibu, “Lagi pula,” suaranya terdengar sangat dekat di telingaku, “aku akan menikahimu kalau kau bangun.”

Plak. Suara tangan Mita dan kepala Alan kembali terdengar. “Jangan selalu menggoda adikku. Dan jangan mencibir seperti itu, kau terlihat sangat jelek.”

“Tega sekali kau mengatakan seperti itu pada adik iparmu.”

Mita mendesis. “Ayah, bu, aku harus kembali ke kantor.”

“Kenapa ayah dan ibu tidak berjalan-jalan, aku bisa menemani Ann,” Alan mengusulkan.

“Kau mau berduan dengan gadisku,” suara ayah terdengar sedikit ceria setelah kedatangan Alan—pria yang telah dianggap anaknya sendiri. “Ayah di sini saja. Mita, kau bisa mengantar ibumu ke rumah nenek, ada barang yang harus diambilnya.”

“Tentu. Ayo bu,” suara kursi berdecik. “Aku akan segera kembali,” bisik Mita di samping telingaku.

Di dalam ruangan, hanya ada aku, Alan yang duduk di kursi di samping ranjang, dan ayah yang duduk di sofa. Lama, tak ada suara yang terdengar. Aku bisa merasakan tatapan yang tak teralih dariku. Telunjuk Alan menyentuh jempolku. Ingin sekali aku membuka benda di wajahku, membuka mataku, dan berbicara dengannya. Bertanya keadaannya, bertanya apa kata ibu benar, kalau dia akan menikah.

Well, kalau ada kabar buruk tentangku selama ini, itu semua salah. Jadi, kau jangan mempercayainya,” katanya seperti sedang membaca pikiranku. “Aku punya rahasia, tapi aku tak akan mengatakannya dengan keras, nanti Ayah mendengarnya,” dia mencoba berbisik, atau dia hanya bercanda karena Ayah berkata dia mendengarnya.

Dia tertawa kecil, “ini rahasiaku, kau tahu, semua yang kukatakan dulu semuanya benar. Aku memang tak pernah menunggu jawabanmu, karena memang itu hanya sekedar informasi dan agar membuatmu tetap memikirkanku. Haha, terdengar jahat yah, maaf yah. Aku… aku akan menunggumu.”

Aku pernah melihat beberapa drama saat seorang pria menyatakan perasaan pada seorang gadis yang tak punya kehidupan. Tapi tak pernah di dunia nyata, karena semuanya akan terdengar bullsh*t, mengada-ada, percuma, hanya sebuah kata motivasi untuk penyemangat. Terlebih dia baru saja muncul di saat aku tak berdaya seperti ini.
Sedetik berikutnya, tak terasa sebutir air mata terjatuh dari sudut mataku. Tangan Alan bergerak, menyentuh pelipisku. “Aku tahu kau mendengarku.”

Ayah melangkah mendekat, memandangi. Dia mungkin melihati air mataku dan segera berkata, “aku akan keluar sebentar.”
Tak ada suara. Alan diam sangat lama. Hanya menggenggam tanganku. Dia lalu berdehem. “Ann…” suaranya parau. Kepalanya berbaring di samping tubuhku. Tanpa kata darinya, aku bisa merasakan sebuah pengungkapan rasa dari air matanya—seperti milik ibu, ayah, dan kakak, dan juga seorang sahabat, hangatnya dan suara senggukannya.

Baca Juga: [CERPEN] Analogi Minum Kopi: Seperti Mencintaimu

Jelsyah D. Photo Verified Writer Jelsyah D.

👉 @jelsyahd

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya