[Cerpen] Cara Memutuskan Gadismu

Kau yakin?

Apa kau punya pacar yang ingin kau putuskan? Apa kalian sudah menjalin hubungan sejak seratus tahun yang lalu atau masih sejak dalam kandungan? Jadinya mau putus susah. Mau cari alasan apa, kalau orang lain lihat kalian adalah pasangan yang seharusnya ditakdirkan bersama. Seperti aku dan dia.

Aku berteman dengan gadis ini sejak masih TK, melanjutkan di SD, SMP, SMA yang sama, dan entah kenapa hari itu, saat episode terakhir masa sekolah menengah atas, dia terlihat begitu cantik dan membuatku tak ingin melepasnya. Dan sejak saat itu, kami berpacaran.

Sekarang aku baru saja menyelasaikan ujian meja, tinggal tunggu wisuda saja. Setelah itu masa kuliahku akan terlepas. Sedang dia, dia sudah lulus lebih dulu dariku. Dia gadis pintar, tentu saja cantik dan baik hati, siapa pun akan senang menerima dirinya jika aku melepaskannya.

Hanya saja, aku masih cari cara bagaimana bisa melepaskannya. Kenapa harus kulepas? Karena kalau dihitung-hitung, dia berada di dalam kehidupanku selama lebih dari separuh masa hidupku. Hampir setiap hari aku melihatnya, kalau saja dia tidak kerja di sebuah perusahaan percetakan, mungkin akan setiap hari dia muncul di depan mataku.

Selain itu, apa kau tak pernah memikirkan gadis lain selain pacarmu? Maksudku, aku tak punya gadis selain dia dan karena hal ini, aku jadi ingin tahu bagaimana kehidupan gadis lain di luar sana. Dan saat pikiran ini muncul, dengan ajaib, Sarah gadis cantik, bak artis Korea muncul saat aku sedang menunggu di depan ruang dosen.

Mataku tak henti melirik Sarah yang telah mengambil tempat di sampingku. Dia menghela nafas, sepertinya sedang bingung. Apalagi di pangkuannya ada proposal. “Kenapa?” tanyaku yang sebenarnya sama sekali tak mengenalnya, tapi karena sudah tahu nama dan angkatannya—meski hanya melihat dari sampul proposal—aku memberanikan diri.

Sarah mengangkat kepalanya, “Eh,” dia menggaruk pelipisnya saat mendapati wajahku, sepertinya sedang berfikir, “Kak Ray,” katanya meneyebut namaku. Dia pasti mengenalku. Ah, tentu saja siapa yang tak mengenal pangeran kampus. Uhuk. “Aku Sarah kak, adik kelas kakak di SMP,” katanya seperti menyadari kalau aku tak mengenalnya. Entah bagaimana aku tak pernah tahu kalau ada gadis semacam dia dulu.

“Ah, iya,” aku mencoba untuk tidak membuatnya tak enak hati, tapi sepertinya gagal dengan dia memunculkan tawanya yang terlihat sangat manis.

“Pasti nggak kenal kan?” kata Sarah, tersenyum, matanya menyipit.  “Emang sih, soalnya udah lumayan lama, aku juga tinggal di luar kota,” katanya yang dengan santai bercerita. “Kak Lala mana?” tanyanya kemudian dan senyumnya yang semakin melebar.

Aku mengerutkan kening. Ah, dia mengenal Lala, ah sudah pasti, hampir setiap orang mengenal gadis yang sepertinya ahli dalam segala bidang itu.

“Udah jarang ketemu yah kak?” tanyanya lagi. “Padahal dulu kak Ray sama kak Lala kayak nggak bisa dipisahin gitu. Senang banget ngeliatnya. Tapi sekarang…” Sarah tak melanjutkan, seperti menunggu kalimatku.

Kataku? Aku tak tahu harus mengatakan apa. Kalau kukatakan kalau aku dan Lala masih saling menempel, kesempatanku dengan Sarah sudah pasti menghilang. “Lala yah…” kataku cengengesan, “masih sering kontek-kontekan, kok,” tambahku. Iyalah. Dan tentu saja setiap hari, tambahku lagi, tentu di dalam hati.

Sarah mengangguk kecil, rambut panjangnya bergerak-gerak, terlihat lembut.

“Aku nggak tahu kamu kuliah di sini,” kataku yang sepertinya baru melihatnya. Atau aku yang tidak pernah menyadarinya lagi.

“Aku juga nggak tahu, kakak di sini,” kata Sarah, tertawa kecil. “Padahal udah dua tahun, kak. Tadinya kuliah di Jakarta, tapi balik lagi ke sini, semenjak mama mutusin buka toko pastry gitu kak,” katanya dengan nada yang sangat ceria. “Sekarang aku banyakan kuliah paginya, kak Ray pasti udah mau selesai kan, jadi mungkin udah nggak ada kuliah lagi.”

“Udah selesai kok,” kataku cepat, takut jadi nilai minus, ini kan sudah setahun lebih dari waktu normal masa kuliahku.

“Sarjana yah kak?” Sarah mengulurukan tangannya dan membuatku dengan cepat menjabatnya. “Selamat kak,” tambahnya.

Kubalas dengan anggukan. Kulepas tangannya yang halus. Dan saat itu, telepon genggamku mengeluarkan suara. Segera kukeluarkan dan mendapati kata my future di layar. Aku dalam masalah. Gadis ini tidak sedang mematai-mataiku, kan? Aku mengabaikan panggila Lala. Kuangkat kepalaku dan melihat Sarah yang sepertinya masih menungguiku untuk mengobrol.

“Oh iya Sarah, aku mesti pergi sekarang. Nomormu…” dan kami menghakhiri pertemuan hari ini dengan bertukar nomor handphone ditambah janji untuk bertemu minggu ini. Selesai.

*

Kupikir akan selesai. Tapi sepertinya tidak. Kulihati gadis dengan rambut sebahu berjalan ke arah meja yang sudah kutempati sekitar lima belas menit yang lalu, senyumnya merekah. Ini café tempat kami—aku dan Lala sering bertemu. Dan tentu saja, aku sekarang bertemu dengannya.

Lala hanya meletakkan tas punggungnya yang entah apa isinya dan bergerak memesan makanan dan minuman. Tak lama dia kembali, duduk berhadapan denganku. Kuperhatikan dia yang diam. Ah, kami memang tak banyak bicara saat bertemu. Dia memang seperti malas berbicara, atau itu aku?

Ah sudahlah. Yang jelas sekarang otakku berfikir beberapa cara yang bisa kukatakan padanya. Ada apa denganku? Aku akan bertemu dengan Sarah—gadis cantik, baik, murah senyum, dan sangat cantik—minggu ini. Karena itu, ada kemungkinan orang akan mengataiku tukang selingkuh kalau Lala tidak tahu. Dan jika bertemu dengan Sarah nanti, aku tak ingin menyandang status pacar orang. Jadi kuputuskan untuk mengatakannya langsung pada Lala.

Kupikir ini saatnya aku meminta break darinya. Atau lebih tepatnya putus untuk sementara waktu. Lalu apa pilihan yang bisa dilakukan olehku. Bagaimana cara memutuskan gadis yang selalu wara-wiri tak tergantikan di kehidupanku.

“Kenapa?” tanyanya, tiba-tiba, saat minuman telah lebih dulu terhidang di depan kami. Segera kuraih cairan berwarna biru dengan dasar kuning itu. “Itu punyaku,” gumamnya yang ternyata memesan minuman strawberry untukku. Ia lalu membuka botol air dan meletakkannya di depanku.

“Sori,” kataku segera.

Ia mengabaikanku. Meraih minuman yang sudah kuminum lebih dulu, menukarnya dengan minuman yang diletakkan pelayan di depannya. Ah, lihat betapa keras kepalanya dia, apa tidak sebaiknya dia memberiku ini saja.

“Bilangnya mau datang jam tujuh,” kataku, membuka, dan melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku—sepasang dengan jamnya—jarum sudah menunjuk angka delapan, tapi sepertinya dia tak mengenakanna. Padahal aku sendiri baru datang seperempat jam yang lalu. Kucoba tak membuat suaraku terlalu excited, nanti kentara sekali kalau aku sedang mencari-cari masalah.

“Tadi mampir dulu,” katanya dan mengeluarkan telepon genggamnya, mengetik, dan tak lama teleponnya berbunyi. Dia bahkan tak memperhatikanku. Sekarang adalah waktu yang tepat sekali.

“La, aku lagi ngomong,” kataku, memajukan badanku. Kuperhatikan dia mengangkat tangannya, menyuruhku diam, ah, lihat dia sudah seperti meminta anjingnya saja untuk mengikuti setiap katanya. Aku mencibir. Dia lalu berdiri dari kursinya, menjauh untuk berbicara. Ada apa? dengan siapa? Ah, dia pasti sedang berbicara dengan pria lain. Akan kutanyakan saat dia kembali.

Lima menit berlalu, saat Lala kembali duduk di kursinya dengan senyumnya yang merekah. “Siapa?” tanyaku dengan kening berkerut.

Senyum di wajahnya perlahang menghilang. Dia juga mengerutkan kening. “Kenapa? Kamu lagi halangan yah,” cibirnya.

Aku menarik diri. Melipat tangan di depan dada. “Tadi itu cowok kan?”

Lala tertawa kecil, ingin sekali rasanya berteriak melihat ekspresi merendahkannya itu. “Emang kenapa? Ini anak lagi beneran lagi keganggu pikirannya kali yah,” katanya yang sekali lagi mengabaikanku.

Aku menghela nafas, keras-keras, memperlihatkan ketidaksukaanku. Ini saat yang tepat, gadis di hadapanku ini sudah sangat mencurigakan. Aku harus mencari kesalahannya. Membuatnya menjadi marah dan dia akan pergi setelah berteriak meminta putus dariku. “Kalau yang tadi itu cowok, yang jujur ajalah. Nggak usah ditutup-tutupin.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Emang tadi cowok,” jawabnya santai.

“Terus kenapa mesti ngomong jauh-jauh, takut ketahuan ngomongin sesuatu,” suaraku tambah tak enak didengar.

“Kekanakan banget sih,” desis Lala. “Kamu nggak dengar, lagu di sini udah kayak konser,” katanya menunjuk pengeras suara.

Kualihkan pandanganku saat mata kami bertemu. “Terus tadi ngomongin apa?”

“Kerja, Ray,” jawabnya singkat.

“Iya, yang sudah punya kerja,” gumamku.

“Emang udah. Kamu tuh yang masih nyusahin,” kata Lala kesal, dia melipat tangan di depan dada. Orang-orang yang melihat sudah pasti tahu dengan jelas, kalau kami sedang marahan. Tapi setelah itu, dia diam. Tak ada suara untuk beberapa saat.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Sepertinya dia tak akan memutuskanku saat ini. Aku lalu berdehem, setelah pelayan menyajikan makanan. “Tadi kenapa telat, sejam lagi,” kataku dengan suara yang kuakhiri dengan menggumam tak jelas.

Lala tak menjawab. Sudah jelas sekali kalau dia melakukan kesalahan. Dan sekarang yang harus kulakukan adalah memojokkannya. “Kamu ketemuan sama cowok itu kan?”

“Kamu ngomongin cowok yang mana sih?” Lala terlihat semakin kesal, wajahnya memerah. Kalau kami tidak sedang di tempat umum, dia pasti sudah berteriak. “Bisa nggak ngomonnya santai aja, kalau kamu ada masalah yah cerita. Kenapa jadi ngelampiasinnya ke aku,” katanya dengan nada yang kembali stabil.

Aku menghela nafas. “Emangnya cuman kamu yang boleh marah-marah. Ah, cewek tuh memang egois.” Kuangkat kepalaku, melihat ke arah lain. “Kalian para cewek, cuman mau dimengerti, tapi nggak bisa ngertiin cowok.”

“Terus mau kamu apa, Ray?” Lala memajukan badannya, melipat tangan di atas meja. “Kamu dari tadi marah-marah, mancing emosi, mau ngajakin aku berantem? Kita di awal udah janji kan, kalau ada masalah diomongin, bukan dijadiin bahan omongan nggak jelas kayak gini.”

“Nggak jelas?” aku menghela nafas. Sepertinya memang sekarang otakku sudah sangat tidak karuan. Tapi kenapa Lala tenang-tenang saja? Bukankah seharusnya dia sudah marah atau paling tidak dia sudah melemparku dengan spaghetti di hadapannya.

“Nah sekarang kamu diam?” kalimat Lala sekarang menjadi sinis.

Baiklah sekarang aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi? Aku sudah mencari kesalahannya, sudah memojokkannya, dan sekarang yang terlihat adalah aku yang punya masalah. Apa sekarang? Bagaimana aku mengakhiri semua ini? Kalau tak ada cara lain yang tertinggal, sepertinya jujur adalah pilihan terbaik. Nah, bagaimana aku memulainya.

“Bagaimana?” suara Lala menyadarkanku dari lamunan.

Aku mengerutkan kening. Tak mengerti.

“Kamu udah punya alasan kenapa jadi sewot kayak gini?” tanyanya dan aku masih diam. “Kamu…” dia menaikkan sebelah alisnya, “kamu nggak mau putus kan?”

“Apa?” aku histeris. Pikiranku terbaca olehnya? Baiklah, bukankah ini lebih bagus. Aku hanya perlu diam, untuk mengamini pertanyaannya itu.

“Jadi?” Lala kembali memancing.

Kunaikkan alisku sebelah, melihat wajahnya, yang harus kulakukan sekarang adalah balik bertanya, “apa sekarang kamu mau minta putus?” pertanyaan konyol, tapi kalau sampai Lala berkata iya. Ini benar-benar jackpot.

Lala diam. Bersandar. Melipat tangan di depan dada. Apa yang sedang dipikirikannya? Apa dia benar-benar ingin putus? Kenapa? Apa dia juga sudah bosan? Beberapa jenak kemudian, dia mengggerakkan kepalanya ke atas-ke bawah, seperti telah memecahkan teka-teki.

Lama, tak ada suara. Dan saat itu, seorang pria mendekat ke meja kami. Kuperhatikan pria itu tersenyum, menepuk bahu Lala dari belakang. Pria itu bergerak dan duduk di kursi kosong.

“Udah datang?” kutangkap Lala memaksakan sebuah senyum.

“Kenapa belum makan?” tanya pria bernama Riri itu. Apa? Tentu saja aku mengenal pria yang hampir diberi nama Lili itu. “Kak Lala tadi SMS, minta aku jemput kak,” kata Riri padaku, “katanya ada cowok lagi coba bohong di depan matanya,” tambahnya dan tertawa.

Entah pria mana lagi yang dimaksudnya.

“Untung lagi jalan sama temen, jadi bisa langsung ke sini. Tapi kenapa belum makan?” tanyanya lagi, melihat makanan kami yang memang belum tersentuh.

Kebanyakan ngobrol tak jelas. Dan ah, ternyata Lala mengirimi adiknya pesan. Bagaimana ini? Tapi bukankah tadi dia mengatakan urusan kerja? Dia berarti membohongiku.  

Tak lama, telepon genggam Lala kembali berbunyi. Lala melihatinya beberapa saat sebelum menerimanya. “Tunggu sebentar, aku tahu,” katanya setengah berteriak, di telepon dan mengakhirinya cepat.

“Dari kemarin pak Dimas itu selalu nelponin kak Lala,” gumam Riri untukku, menyebut salah seorang senior lulusan terbaik dari kampus Lala. “Minta kakak pindah ke perusahaannya. Tapi kak Lala nggak mau, entar kak Ray salah paham. Kan bisa gawat,” katanya tertawa kecil.

“Udah Ri,” kata Lala dengan suara yang hanya dikeluarkannya saat sedang kesal.

Apa dia sekarang sedang marah padaku? Kenapa aku jadi takut seperti ini.

“Ayo pulang,” Lala berdiri, membuat Riri kebingungan. Ia lalu meraih ranselnya, mengeluarkan sebuah kotak besar. Meletakkannya kasar di atas meja. “Selamat ulang tahun, rencananya mau ngasih tengah malam, tapi karena kamu udah minta putus, yah sudah. Bilang sama mama, maksudku tante Rita kalau sepertinya dia harus ambil kuenya sendiri, setidaknya tante Rita sudah tahu jalannya,” katanya dan meraih tangan Riri. “Ah, dan juga… kalau ketemu sama Sarah minggu ini, bilang aku nggak bisa datang. Aku udah nyangka sejak tadi,” gumamnya.

Aku terpaku. Diam, menatapi gelas berdampingan yang berisi cairan strawberry milikku dan minuman bersoda milik Lala yang selalu sukses membuatku sakit perut. Caraku berhasil? Kupandangi punggung Lala yang semakin menjauh. Apa aku benar-benar menginginkan seperti ini. Ah, aku menggeram dalam hati. Sepertinya, aku butuh cara untuk mendapatkan gadisku kembali.

*

Jelsyah D. Photo Verified Writer Jelsyah D.

👉 @jelsyahd

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya