[Cerpen] Dokumen

Dan apa yang tidak ingin kau lihat

Karim menuruni anak tangga dari lantai tujuh apartemennya dengan cepat. Mimpinya pagi ini sangat nyata, seperti ia sudah mengalaminya. Ia bahkan tidak ingin lokasi yang ingin dicarinya menghilang dari kepalanya karena harus menunggu lift yang bergerak lama. Ini akhir pekan dan ia bersyukur tak perlu memikirkan urusan kantor. Juga istrinya yang sedang di rumah mertuanya tidak akan berteriak pada foto keluarga yang terjatuh karena disenggolnya tadi.

Dengan kaos putih dan celana piyama bergarisnya yang longgar, ia berlari kencang. Padahal biasanya ia selalu memperhatikan mode yang dipakainya, tidak akan dibiarkan kusut sedikit pun. Tapi di hari cerah, pada pagi menjelang siang ini, ia tak peduli. Langkahnya panjang-panjang di atas sandal jepit berwarna putihnya.

Tibalah ia di tempat yang ditujukkan oleh seorang wanita tua berperawakan besar di dalam mimpinya. Ia berdiri sebentar di depan pintu masuk taman yang dua blok dari apartemen. Kepala Karim bergerak, melihat sekeliling, dengan keringat yang bercucuran. Tak ada orang lain, selain dirinya. Ia berdehem, melegakan tenggorakan yang terasa sangat kering. Lalu mengamati satu persatu permainan yang terasa sangat cocok dengan mimpinya.

Kakinya lalu bergerak lambat. Menuju salah satu pohon di bagian belakang perosotan. Ia menelan ludah. Saat berdiri di bawah pohon besar dengan daun hijau lebat, bulu kuduknya berdiri. Membungkuklah ia. Menggunakan tangannya yang bahkan debu saja tak ingin disentuhnya, ia mulai mengais tanah cokelat lembab hasil hujan semalam. Tak lama sampai bokongnya menyentuh tanah. Tak peduli lagi ia dengan kebersihan yang selalu ditegakkannya.

Senyumnya lalu perlahan muncul, saat sesuatu dirasakan ujung jarinya. Benda padat dan lembut. Ia menggunakan seluruh kekuatannya, mengais lebih dalam, dan menganga saat matanya mendapati bungkus cokelat di sana, bungkusan yang sama dengan yang disukai putra kecilnya.

Karim berselonjor. Ia tak mungkin salah. Ia lalu berfikir telah salah pohon. Dengan sisa kekuatan, ia menyeret tubuhnya, berpindah ke pohon ketapang di sebelahnya. Ia menarik nafas dalam, sebelum menggunakan jari-jarinya yang selalu bersih, dan mulai mengais.

Matahari semakin terik. Ia harus segera menemukannya, sebelum istrinya pulang dan mendapati rumah yang berantakan, dan mengomelinya yang hanya membereskan barang-barang pribadinya. Atau sesuai kata temannya, istrinya mungkin akan lebih lama tinggal di rumah orangtuanya dan ia masih bisa mencari lembaran dokumen yang diancamkan istrinya pekan lalu sebelum pergi.

Perlahan darahnya mendidih, kesal tak bisa menemukan apa pun. Sepertinya ia harus menggali semua tanah di taman ini. Istrinya pasti menyembunyikan benda itu dengan sangat hati-hati, sungguh sangat misterius. Ia jadi ingat bagaimana susahnya ia mendapat perhatian wanita yang menarik hatinya itu sejak saat sekolah menengah atas dan bertahan sampai sekarang mereka hidup bersama. Dan ia bertekad istirnya tidak boleh melakukan hal bodoh.

Matahari semakin redup. Karim sudah merasakan angin meniup daun-daun pepohonan. Ia sudah setengah jalan. Tak ingin berhenti mencari. Dan saat itu ia merasakan tangan menepuk bahunya. Ia mengangkat kepala. Mendapati wajah istrinya yang melihatnya penuh tanda tanya.

“Kau di sini?” tanyanya. Rossie mengerutkan kening.

Ia tiba di apartemen siang tadi dan tidak mendapati suaminya di mana pun. Segera ia membereskan ruang makan dan ruang pakaian yang berantakan. Setelah selesai, ia segera menghubungi salah seorang teman suaminya karena telepon genggam Karim ditemukan di kamar. Tak ada yang tahu. Karena itu, setelah putranya tertidur, ia segera keluar dari apartemen. Bertanya pada penjaga dan mendapati jawaban tentang kejadian lari tadi pagi.

Rossie mempercepat langkahnya. Bergerak ke sana-ke mari dengan rasa khawatir, ia tahu suaminya bukan orang yang suka terburu-buru. Dan ia lalu berhenti pada kerumunan ibu-ibu yang meminta anaknya tidak mendekat pada suatu objek di dalam taman.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ia mendekat. Berhenti, melihati punggung yang sangat dikenalnya. Ditepuknya bahu suaminya. Rossie menunduk, memperhatikan bekas galian, dan menyentuh tangan suaminya.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku mencari dokumen yang kau sembunyikan,” kata Karim. Ia tahu wajahnya pasti sudah hilang kegagahannya yang selalu membuat pria lain iri.

“Aku tidak menyembunyikan apa pun,” kata Rossie, pelan.

“Tidak,” Karim mencoba berkata pada dirinya sendiri. “Seminggu yang lalu, kau pergi setelah berkata akan cerai.”

Seminggu yang lalu, Karim terbangun dengan mencari istirinya yang hari itu tidak menyediakan sarapan. Ia tersadar tentang kejadian ia memarahi putranya yang mengotori kemeja putihnya. Awalnya ia tidak peduli, tapi setiap malam kalimat istrinya terngiang.

“Kau selalu mengomel karena kotoran orang lain, tapi tidak pernah peduli dengan masalah yang kau perbuat untuk membuat dirimu bersinar.”

Karim memang tidak mengerti, tapi wanita berperawakan besar yang membentaknya di dalam mimpinya jelas telah mengingatkannya untuk berubah, “Rossie akan menceraikanmu. Kau akan kehilangan belahan jiwa dan putra yang sangat mirip denganmu itu. Kalau kau tidak berusaha menemukan dokumen yang sudah ditandatanganinya, dia pasti akan membawanya ke pengadilan.”

Rossie mendengar setiap kata yang diucapkan Karim. Ia tersenyum, pertama kalinya suaminya itu percaya pada mimpi. Ia tak banyak bicara saat menarik tangan suaminya, berjalan bersama kembali ke apartemen, tak pedulikan kalimat orang lain.

Setibanya di apartemen, Karim dan Rossie terkejut dengan kehadiran wanita berperawakan besar. “Ibu,” seru mereka berdua.

“Dari mana saja kalian? Pintu tidak terkunci, putramu sendirian di rumah,” kalimat ibu Karim berderet cepat. “Besanku menelpon, cerita tentangmu, Karim. Sudah kukatakan, setelah kau menikah, jangan bawa sifat burukmu itu di keluargamu. Kau mau, ibu carikan pria lain untuk Rossie. Atau mau kubawa ke pengadilan saja langsung. Aku sudah biasa mengurusi dokumen-dokumen macam itu.”

Karim melirik istrinya yang mencoba menenangkan ibunya. Ah, hanya Rossie yang bisa memahami ia dan keluarganya. 

Baca Juga: [Cerpen] Kegelisahan Sebatang Tongkat

Jelsyah D. Photo Verified Writer Jelsyah D.

👉 @jelsyahd

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya