[Cerpen] Hilang

Perasaan yang coba kau lepas

Apa kau pikir jatuh cinta itu penuh dengan penderitaan? Penuh dengan kebohongan? Penuh dengan pertanyaan? Jangan bercanda. Kau harus tahu bagaimana rasanya kehilangan, bukan tentang kehilangan kekasihmu, hanya saja tentang kehilangan rasa, perasaan, kehilangan cinta.

Aku menghabiskan waktuku untuk mencari. Sejak sekolah menengah pertama, setidaknya ada puluhan pria yang berada di dekatku. Well, bukannya aku playgirl, yang mempermainkan hati pria, tapi saat bersama mereka selalu ada yang kurang, dan membuatku berhenti. Berhenti bersama. Kupikir karena terlalu banyak, terlalu sering mencari, aku jadi lupa dan kehilangan.

*

“Anggie…”

Aku berbalik, mendapati teman sekelasku berlari dari gerbang ke arahku. Aku kembali berjalan saat dia menyusulku. Tersenyum saat dia telah berjalan di sampingku. Kami bersama ke kelas yang berada di pelataran atas. Aku meliriknya mengingat pesan singkat yang benar-benar singkat dengan hanya satu kata ‘GAWAT’ dan ditulis dengan huruf kapital, tentu ini benar-benar gawat. Kukira dia akan segera bercerita, curhat, atau apalah, tapi sekali lagi kulirik dia tak bersuara, hanya senyum yang terbentuk dan berikutnya ditarik, begitu seterusnya.

Aku membuka pintu kelas. Belum ada siswa, selain aku dan Rani. Kami berjalan ke meja di deretan paling depan di sebelah kiri, berhadapan langsung dengan meja guru.

“Kurasa kita terlalu cepat datang,” kataku menyadari, Rani semalam memaksa untuk datang lebih awal, tapi tak kukira akan datang seawal ini.

“Maaf,” gumamnya.

Aku menoleh. Melihatnya yang bertopang dagu. Aku tersenyum sebentar. “Ada apa denganmu? Apa kau sakit? Tak biasanya kau seperti ini.” Kuperhatikan sifatnya yang berubah dalam semalam.

“Nggie, begini, aku… sebenarnya…”

“Sebenarnya? Apa?” aku gemas melihatnya ragu-ragu.

“Aku…” Rani berhenti dan berbalik pada teman sekelas kami yang baru masuk.

Aku kembali melihat Rani. “Lalu…” kuperhatikan dia diam, tak ingin lagi bersuara. Aku menyentuh punggung tangannya, well, aku lebih tua darinya, meski hanya beberapa bulan, tapi aku selalu merasa harus melindunginya. “Aku akan mendengarmu nanti.”

“Anggie…” Suara seorang  pria menyebut namaku.

Aku berbalik dan mendapati Raka, ketua kelasku yang baru saja masuk. “Ada apa?”

Raka mendekat dan berdiri di depan mejaku. “Tugasmu sudah selesai?”

Aku mengangguk dan menoleh pada Rani yang menggenggam tanganku erat.

“Aku bisa lihat?” tanya Raka, tersenyum lebar.

“Lihat atau contek?” tanyaku dengan suara datar.

Raka menyengir. Dia menggaruk belakang kepalanya. “Contek yah, tadinya aku sudah SMS Lia, mau minta contekan, tapi berhubung kau datang cepat, tugasmu saja yah?”

Aku mengeluarkan buku dari tasku. “Ini… jangan dimakan.”

Raka tersenyum dan menepuk kepalaku dengan buku.

Aku mendesis dan kembali melihat Rani yang masih menggenggam tanganku. “Ada apa?”

Rani menggeleng cepat.

“Kau menyukainya?” tanyaku dengan sebelah alis terangkat, setelah lama diam.

“Apa? Tidak. Tentu tidak,” jawabnya dan berdiri, meninggalkan kelas.

Aku melihati punggungnya yang menghilang. Aku berbalik melihat Raka yang menulis dengan wajah serius. Rani menyukainya? Sedetik kemudian, aku menarik kepalaku saat Raka mengangkat wajahnya.

“Ada apa denganmu?” suaranya rendah.

Aku kembali berbalik dan melihatinya yang masih membungkuk di atas meja. “Tidak.” Aku berdiri dan keluar dari kelas, mencari Rani.

Kuhela nafas, keras. Bagaimana ini? Haruskah kukatakan pada Rani? Atau tak jadi masalah, selama dia tak tahu, tentu tak akan jadi masalah. Kudekati Rani yang berdiri di bawah pohon menghadap lapangan. Aku tak akan mengatakannya.

*

Seminggu berlalu, mendapati sikap Rani yang tak seperti biasanya saat berhadapan dengan orang yang disukainya. Aku hanya tersenyum melihat sikapnya yang malu-malu, terlihat seperti seseorang yang menyimpan rahasia.

“Nggie, sepertinya aku benar-benar menyukainya…” kata Rani saat tak ada orang lain selain kami berdua. Teman sekelasku yang lain langsung pulang setelah bel berbunyi. Rani sepertinya sengaja berama-lama dan aku menungguinya.

“Aku senang mendengarnya.”

“Lalu bagaimana sekarang?” Rani menatapku, penuh harap. Berharap aku bisa memberinya solusi.

Aku menggaruk dahiku. Aku juga bingung, tapi kukatakan padanya, “nyatakan padanya.”

“Tidak akan,” kalimatnya keluar cepat.

“Lalu, kau menungguinya?”

“Dia mungkin tidak menyukaiku.”

“Kau tak akan tahu, kalau tidak mencobanya. Katakan saja, dia sepertinya seseorang yang tak akan mengungkapkan perasaannya lebih dulu.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Apa? Benarkah? Tapi, aku perempuan, mana mungkin aku mengatakannya lebih dulu.”

“Aku pernah.”

“Ah?” Rani menganga, melihatiku.

Kuhela nafas dan beranjak dari kursiku. “Maksudku dulu, aku pernah mengatakan suka pada seseorang…”

“Lalu apa yang terjadi?” selanya penasaran.

Aku diam sebentar sebelum kembali berjalan. “Dia yang paling lama berada di sampingku.”

“Siapa dia? Apa aku mengenalnya?”

Aku tak menjawab.

“Kau mau merahasiakannya, padahal kau selalu menceritakan semua mantan-mantanmu. Kenapa dia tidak? Apa dia si pria terakhir? Aku benar kan?”

Aku hampir berteriak di depan wajah Rani, kalau saja dia tak berhenti berjalan di belakangku. Kulihat dia berdiri di jarak tiga meter dariku.

“Maaf,” katanya tiba-tiba. Tak bisa kulihat ekspresinya karena dia menunduk dan rambutnya menutupi wajah.

Kuhela nafas dan mendekat.

“Seharusnya aku tak mengatakannya, kau tahu… Raka…” dia berhenti sejenak.

Ada apa ini? Apa dia tahu?

“Aku sebenarnya merasa bersalah karena telah menyukainya, tapi maaf karena aku tidak bisa berhenti.”

“Sama sekali tak masalah denganku, Rani. Aku tidak punya hak untuk melarangmu menyukai siapapun yang kau suka.”

“Tapi… Raka itu kan? Pria yang membuatmu berhenti bermain. Kau bahkan tidak menceritakannya, meski tahu.”

Kuhela nafas. “Aku minta maaf tak mengatakannya.”

“Kau pasti tak ingin menyakiti perasaanku. Tapi, dia…”

“Aku…” kusela dia sebelum berbicara lagi, kutekan pelipisku tak tahu harus berkata apa.

“Kudengar dia masih menyukaimu dan kau…”

Kuangkat wajahku. Mataku terasa panas.

“Anggie… maafkan aku.”

“Tidak. Tidak. Kau menyukai…”

Lagi, Rani menyelaku. “Aku membuatmu kesal. Maafkan aku. Aku sebenarnya tak punya perasaan padanya, kami hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu.”

“Apa?” Apa lagi ini?

“Raka yang mengatakannya padaku,” katanya yang sepertinya tak bisa lagi berbohong, menyimpan rahasia. “Dia masih menyukaimu. Dia tidak bisa berhenti.”

Aku menoleh sebentar, merasa ada seseorang yang memperhatikan kami, tapi tak kutemukan siapa pun. “Begini, Rani, aku senang sekali bisa membantumu, tapi aku sama sekali tak suka saat seseorang mencoba membantuku dan bahkan tak tahu apa masalah sebenarnya.”

“Katakan,” teriak Rani, membuatku terkejut. Matanya berkaca-kaca. “Kenapa kau tak bisa mengatakannya pada sahabat, apa kau satu-satunya yang boleh mendengar keluh kesah. Aku… aku siap mendengar apa pun darimu.”

Kali ini pelipisku berdenyut lebih kencang, kepalaku terasa sangat berat.

“Anggie…” dia menatapku seperti seorang anak kecil kehilangan permennya.

“Apa yang kau lakukan, saat kau masih ingin bersama dengan seseorang, tapi rasamu,” aku menunjuk dadanya, “tiba-tiba ini menghilang.”

“Ah?” keningnya berkerut.

Aku menghela nafas keras, berjalan menuruni pelataran.

“Anggie…”

Suara seorang pria membuatku berhenti di ujung jalan. Aku tak menoleh tapi tahu itu suara Raka, seorang pria yang terlihat sangat baik dan mendekati sempurna.

“Aku masih mencintaimu.”

Aku mungkin satu-satunya yang tak menyukai kata-kata itu. Aku tetap melangkah, tapi telingaku tetap bisa menangkap kata-kata yang terlontar darinya. Mungkinkah dia mengatakan yang sebenarnya?

“Anggie, kau bukannya kehilangan rasa atau cinta. Yang hilang darimu adalah kepercayaan, bukankah seperti itu? Kau hanya perlu mengijinkan orang lain untuk membantumu dan aku pun bisa menunjukkan padamu tentang yang hilang darimu. Percayalah.”

*

Baca Juga: [CERPEN] Langit Senja yang Melukis Luka

Jelsyah D. Photo Verified Writer Jelsyah D.

👉 @jelsyahd

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya