[Cerpen] Keluarga Berencana

Dan sebuah mimpi

Tahun 80-an, sebuah kota yang masih berkembang kedatangan wanita dan pria yang suka pakai baju putih saat kerja. Tempatnya di puskesmas, di tengah kota. Sesekali, kalau sudah selesai tugas, mereka akan jalan-jalan di pelabuhan, lautnya cantik bisa jadi tempat melepas penat.

Mereka juga ada yang biasa jalan-jalan di pasar, wanita yang datang dari luar kota memang cukup popular bagi kalangan pria pencari rupiah. Mereka yang dewasa juga sepertinya siap cari pendamping hidup. Tapi sepertinya tak berjalan lancar bagi semuanya saat mereka punya program baru.

Rupanya para bidan ini mendapat tugas untuk membatasi kelahiran yang membuat salah satu kampung di pelosok ini terasa sangat padat. Bayangkan saja, satu keluarga bisa punya lima sampai sepuluh orang anak. Karena itu pihak pemerintah mengutus para bidan untuk mempromosikan program mereka.

Eka, bidan dengan wajah lebih muda dari usianya yang sudah kepala tiga itu mulai menerangkan pada seluruh bidan bawahaannya. Ia dengan leluasa bercerita, tentang pengalamannya, dan yang paling tidak disukainya saat seorang berkata untuk bertindak sesuai umurnya. Karena itu ia paling tidak suka jika diminta untuk memberi pengetahuan pada orang-orang yang tak mengenalnya, yang lalu akan menghakiminya.

“Bagaimana Bu, kita panggil mereka saja ke puskesmas ini?” tanya salah satu dari bidan, lulusan baru.  “Kalau ke rumah mereka satu-satu, bakalan repot kita.”

“Yah sudah, imunisasi pekan depan, kita sekalian sosialisi,” kata Eka, lalu mengakhiri. Dilihatinya teman-teman kerjanya lalu berhambur, mereka pasti akan bertemu dengan pemuda-pemuda di pelabuhan, menyaksikan matahari tenggelam, sambil mamak-mamak para pemuda mengejar meminta anak-anak mereka kembali ke rumah dan menjauhi wanita yang bukan milik mereka.

Berbeda dengannya yang tak bisa menikmati. Ia selalu menghindari pria yang lebih muda darinya, mungkin karena itu sampai sekarang ia belum nikah. Ia cari pria yang lebih dewasa dan akan mengertinya lagi ke depannya. Bukan pria yang hanya akan lihat wajah mudanya dan main-main saja. Tapi ia belum dapat-dapat juga yang sesuai kriterianya.

Matahari hampir tenggelam, setelah Eka selesai beres-beres dan pulang ke rumah, tempat tinggal yang dibagikan pemerintah untuk pekerja. Ia berjalan lambat-lambat saja, tidak ada yang akan menungguinya di rumah. Matanya lalu menangkap seorang ibu di seberang jalan, yang dikenalinya sebagai ibu Ros, istri dari pak Budi yang punya toko perabot di pasar. Diperhatikannya empat orang anak yang berjalan di sekelilingnya dan seorang anak yang ia gendong di pelukannya.

Ia tersenyum. Ia tak bisa membatasi dirinya dari menyukai hal-hal macam ini. Ia bahkan berencana punya anak yang banyak suatu hari nanti. Tak ingin digunakannya alat kontrasepsi untuk membatasi berapa anak yang dimiliki. Hanya saja, keadaan sekarang telah membatasinya. Ia tahu kondisi ekonomi sekarang semakin memperhatinkan. Dan karena itu, sekarang ia akan mendukung pemerintah. Ia mungkin akan menemui ibu dengan banyak anak itu dan memasang alat di lengannya.

Seminggu kemudian, puskemas ramai didatangi ibu-ibu yang membawa anak-anak mereka untuk diimunisasi. Para dokter dan bidan sibuk. Sedang Eka masih menyiapkan kata-kata untuk dijelaskannya dengan terang pada ibu-ibu itu nantinya.

Jadilah, setelah keramaian, Eka sudah berada di hadapan ibu-ibu. Menyebut kata kebodohan, kemelaratan, dan kemiskinan.

“Sudah saatnya kita menjadi keluarga berencana, untuk mencegah perkembangan laju peningkatan penduduk yang terlalu cepat di Indonesia kita ini.” Ia berhenti sebentar, saat mendapati ibu-ibu yang berbicara sesama mereka. Haruskah ia lanjutkan? Ia lalu memperlihatkan jenis-jenis kontrasepsi yang bisa mereka pilih.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Jadi hanya orang kaya yang bisa punya banyak anak?” teriak salah satu ibu berumur empat puluhan dengan putra kecil yang sepertinya masih berusia setahun.

Kening Eka bertautan, tidak tahukah mereka kalau orang-orang kota menyambut baik, dan bahkan senang dengan proyek ini? “Di beberapa kota, masyarakat sudah mulai membayar alat kontrasepsi, ibu-ibu,” katanya dan menelan ludah. Gratis pasti akan membuat mereka datang dengan sukarela. Eka melihati wajah ibu Ros, ia dan suaminya mungkin tidak perlu susah-susah bagaimana membatasi agar anak keenamnya tidak lahir.

Dan keesokan harinya, beberapa wanita, tanpa membawa buah hati mereka datang lagi ke puskesmas. Bertanya pada bidan, punya berapa anak mereka. Lalu mengisi selembar kertas yang diberikan. Eka dengan telaten menjawab setiap pertanyaan, memasang alat KB, dan kembali mendengar keluhan ibu-ibu yang mengatakan kesulitan ekonomi. Termasuk bu Ros yang datang hari ini dan bercerita tentang perabot yang semakin banyak saingannya.

Hari kembali berakhir, Eka bersama dua bidan lainnya akan pulang bersama. Dan mereka kebingungan saat mendapati seorang pria dan wanita berjalan ke arah puskesmas yang baru saja dikunci. Eka melihati bu Ros yang setengah terseret oleh pria bertubuh besar dan ahli kayu itu.

“Buka cepat,” teriak pak Budi pada Eka. “Kau pikir, kau yang menghidupi keluargaku. Kalian tidak ada urusan denganku.”

Eka menggigit bibir. Ingin ia berteriak bahwa ini tentang Negara kita tercinta, yang tak boleh semakin bertumbuh turun ekonominya. Tapi suaranya tenggelam. Ia menunduk, “Besok, Pak. Tidak bisa sekarang,” katanya melihat raut wajah marah pak Budi di bawah songkok putihnya.

“Menyeramkan sekali,” kata salah satu bidan yang berjalan di sebelah Eka. “Bapak-bapak di sini berfikir kalau wanita harus melahirkan anak yang banyak.”

Eka tersenyum. Ia pikir bu Ros beruntung dengan suami yang pasti memiliki rencana di kepalanya. Orang-orang sepertinya tidak akan menyerah menghidupi keluarganya. Ia berfikir itu termasuk keluarga berencana. Ah, ia harus mendukung pemerintah sebelum ia menikah.

Eka, dua puluh lima tahun kemudian. Usianya sudah lewat setengah abad. Ia menikah setahun setelah memasangi kontrasepsi ibu-ibu di desa. Kembali ke kampung halamannya, membina keluarga. Ia hanya punya satu anak yang sekarang sudah kuliah.

Karena harus selalu bepergian dengan suaminya yang seorang pengusaha, mereka menunda memiliki anak kedua dengan kontrasepsi pilihannya dan suami. Dan impiannya untuk memiliki banyak anak berakhir. Setidaknya ia harap bisa melahirkan seorang anak lagi, yang bisa diaajaknya bercerita seperti sore ini, di rumahnya yang besar.

Baca Juga: [Cerpen] Lemari Tua

Jelsyah D. Photo Verified Writer Jelsyah D.

👉 @jelsyahd

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya