[Cerpen] Lemari Tua

kau berani melihat apa yang ada di dalamnya?

Aku, mahasiswa psikologi, baru masuk tahun ini. Aktif dalam setiap kegiatan. Selain itu aku pria yang rajin beribadah. Meski begitu, aku ini masih dikhawatirkan oleh satu hal. Setiap saat teman-teman bercerita horror, aku tak akan mendekat. Bukannya semua orang juga merasa yang kurasakan. Atau hanya aku saja? Aku sudah menggunakan otakku untuk tidak percaya hal-hal seperti itu. Tapi, mau diapakan lagi. Apa lagi sejak kedatangan kakekku, aku jadi menderita batin. Wah, kakek, maafkan aku.

Ini tahun 2019, berarti sudah delapan belas tahun aku dan keluarga tinggal di kota besar. Ya sejak aku lahir, aku tak pernah meninggalkan kota ini. Hanya sesekali kami berlibur ke desa, tapi sekarang sejak kakek dan nenek memutuskan untuk pindah ke kota dan tinggal bersama, kami hampir tak pernah ke desa. Rumah kakek sekarang ditempati oleh pamanku. Aku senang, karena kami bisa hidup bersama. Juga, ibu tak akan sendiri jika berada di rumah, kan ada nenek.

Hidupku sepertinya—atau kupastikan, berubah drastis saat Kakek datang. Selain senang keluar menikmati taman, ia senang sekali bercerita tentang masa lalunya, masa perjuangannya, dan tentang barang-barang antik yang sudah dikoleksinya sejak lama. Karena harus pindah ke kota, ia tak bisa memindahkan semua barang-barangnya, jadilah ia hanya membawa sebuah benda yang berukuran besar, itu lemari dengan ukiran megah berwarna hitam pekat. Aku mengagumi benda itu, tapi sayang sekali kakek memasukkan benda itu ke dalam kamarnya. Jadilah aku jarang melihatnya.

Suatu hari, saat aku mengintip ke kamarnya, dan bermaksud memotretnya untuk dipamerkan ke teman-teman yang tiap hari bercerita misteri dan menyeramkan, aku tertangkap oleh kakek. Ia bertanya apa yang kulakukan. Saat aku menjawabnya, ia tertawa aneh. Kupikir ada apa dengannya, suaranya seperti ia kesetanan atau apalah istilahnya. Sudah kukatakan aku sangat tak suka dengan hal seperti itu, tapi kakek menangkap ekspresi tak enak dari wajahku.

Kakek menarik tanganku, membuatku duduk di kursi bergoyang. Ia mencengkeram bahuku. “Kau mau tahu suatu hal?” bisiknya.

Aku menelan ludah. Sebenarnya sejak tadi, aku sudah ingin berlari keluar. Tapi, kakek tak membiarkanku. “Apa kek?”

“Kusarankan padamu, jangan sampai membuka lemari itu. Nenekmu saja tak sanggup melihat apa yang ada di dalamnya.”

“Eh?” mataku membulat. Nafasku lambat-lambat. Tapi aku berusaha tertawa dan jadinya pasti terdengar memaksa. “Apa yang kakek bicarakan?” aku takut-takut mendengar kelanjutan cerita, sambil melirik lemari yang berada di sudut kamar kakek. Jangan-jangan kakek akan bercerita horror.

Tapi, kakek tak melanjutkan ceritanya. Ia menegakkan punggungnya yang sering ditepuk-tepuk nenek, dan berjalan menuju depan lemari tua cantik. Ia mengelus pintu lemari, menelusuri tiap ukiran. “Kau mau lihat?”

“Ah?” aku menggeleng keras. “Tidak, kakek. Aku paling tidak suka mendengar cerita hantu.”

“Eh?” bibir Kakek melengkung. “Kau penakut sekali,” gumamnya. “Kakek belum cerita, kau mau memotretnya kan?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku berdiri, menggeleng. Melirik sekali lagi lemari itu. Dan keluar dari kamar Kakek. Sepertinya, aku tak akan masuk ke kamar itu. Aku tak peduli dengan benda-benda antik yang diperlihatkan teman-temanku, meski sudah kubangga-banggakan aku tak akan menunjukkan benda angker itu.

Meski seminggu berlalu, aku masih bisa mendengar kalimat kakek, “jangan sampai membuka lemari itu…” berulang-ulang di kepalaku. Tapi, semakin banyak kali kalimat itu terdengar, semakin penasaran aku untuk melihat apa yang terjadi dan apa yang akan kulihat di dalam lemari tua itu. Apalagi setelah Suzzanna kembali ke bioskop, teman-temanku jadi semakin sering bercerita tentang hantu dan berbagai jenisnya itu.

Jadilah Tio, temanku sejak taman kanak-kanak yang selalu punya banyak cerita horror, kupanggil ke rumah. Ia begitu bersemangat, sejak kuceritakan tentang koleksi apa yang kakek miliki. Ia berteriak keras, mengatakan, kalau semua benda itu punya tuan, pemilik, atau apalah namanya itu. Dan saat kukatakan padanya, ada lemari tua di rumah yang nenekku saja tak berani membukanya, ia senang sekali.

Tio sudah di kamarku. Kami belum bergerak. Menunggu sampai kakek pergi ke taman, seperti kebiasannya setiap hari. Berolahraga ringan, atau sekadar menggenggam tangan nenek untuk berjalan santai.

Dan tepat pukul empat, aku membuka pintuku setelah mendengar kakek keluar dari kamarnya. Kupanggil Tio. Kami berdua melihati pintu kamar kakek. Setiap lewat di depan kamar ini, bulu kudukku selalu merinding. “Bukankah lebih baik melihatnya saat malam jumat?”

“Aissh, kakek dan nenekmu akan berfikir, kita ingin mengintip mereka,” kata Tio tersenyum jahil. Aku mencibir mendengarnya. Kudorong Tio, masuk lebih dulu. Saat melihat lemari milik kakek, ia berseru, memuji bentuk dan ukirannya. “Ini pasti sudah lama sekali,” katanya.

Aku lalu menyuruhnya, membuka, sementara aku merekam dengan kamera handphoneku. Tio menoleh, melihatku, menelan ludah. Ia terlihat gemetaran, tak pernah kulihat wajah pucatnya. “Kata kakek, itu lebih menyeramkan dari hantu,” kataku, mengingatkan.

Tio memegang gagang pintu lemari. Ia menutup mata. Menariknya. Berteriak kencang. Aku ikut berteriak, menutup mata. Dan setelah berteriak hampir satu menit, kubuka sebelah mataku. Kulihat Tio yang berdiri mematung. “Tio… Tio,” aku memanggilnya, jangan-jangan ia kesurupan setan. Gawat kalau begitu. Aku harus memanggil kakek. Dan saat itu kakek muncul dari pintu yang terbuka dengan mulut yang bersenandung. Apa ia tahu kalau kami membuka lemari tua itu. “Kakek…” kataku, terpatah-patah.

“Ei, Rama,” Tio memanggil namaku. Aku berbalik, melihat wajah Tio yang memerah. Ia pasti ingin aku merekamnya. Aku mendekat. Melihat isi lemari. Melongo. Melihati benda persegi tipis yang tersusun banyak. Aku menoleh melihat kakek, sekali lagi mendengar senandung kakek yang tersenyum. “Sowoneul malhaebwa… oog gee gee bebe..”

Aku mengernyitkan dahi. Mendengus.

Jelsyah D. Photo Verified Writer Jelsyah D.

👉 @jelsyahd

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya