[Cerpen] Sudut Pandang Orang Ketiga

Di mana ia berdiri?

Wanita itu lahir dan dibesarkan di keluarga yang serba bercukupan. Orangtua yang sangat
menyayanginya, babysitter yang selalu menjaganya, dan orang-orang yang selalu berada di
sekitarnya. Setelah lulus dari universitas terkenal, ia menikah, meski awalnya berdasar pernikahan bisnis keluarga, ia akhirnya saling cinta dengan suaminya. Hidupnya lengkap.

Wanita itu mungkin sangat bahagia. Hampir tiap hari ia berkunjung ke mall, mampir di
antara butik satu dengan yang satunya, dengan tangan terisi dua dompet. Di sebelahnya, meski bukan suaminya yang berada di sana, ia tetap bahagia berjalan dan berbelanja bersama.

Oh, suaminya sedang berada di luar kota, maka teman baiknya yang dijadikan teman antar dan angkat barang. Tak ada masalah, si pria yang sudah bersama sejak kecil juga sudah punya istri, jadi hubungan mereka tidak akan terganggu.

Wanita itu suka dengan kebebasan, ia tidak ingin terkekang. Ingin bebas bergerak, berpindah tempat ke mana saja. Ingin bebas berbicara, bertukar pendapat dengan siapa saja. Ingin bebas berteman, bertemu dengan orang banyak. Karena itu, ia juga tak pernah membatasi pergerakan suami atau orang-orang yang berada di dekatnya.

Meski begitu, ia tak pernah curiga pada kehidupan yang dilakoni suaminya saat ia tak bersama. Suaminya juga tak pernah melarang ia berjalan-jalan bersama teman kecilnya, karena ia tahu suaminya mempercayainya. Dan ia tahu suaminya sangat menyayanginya, maka seperti dirinya ia tak mungkin punya niat untuk mendua.

Wanita yang punya wajah cantik bersinar itu sedang duduk di sebuah restoran makanan Prancis. Bersama teman baiknya, keduanya terlihat seperti pasangan serasi. Ia bergerak dengan anggun, sesekali senyum terlihat di wajah menyenangkannya, selalu menanggapi kalimat lawan bicaranya, siapa pun tak akan bosan bersama wanita itu. Bahkan suaminya pun tak akan tahu apa yang harus dikeluhkan tentang wanita itu.

Dan entah wanita itu tahu atau tidak, kalau sebenarnya suaminya sejak setahun yang lalu telah mengunjungi beberapa psikolog. Dan barulah sekitar enam bulan yang lalu suaminya bertemu dengan psikolog yang dirasa cocok untuk mendengar isi hatinya. Padahal kalau suaminya ingin jujur, wanita itu bisa jadi pendengar yang sangat baik. Tapi wanita itu mungkin tak ambil pusing, meski tahu kalau si psikolog adalah wanita juga.

Padahal sedikit salah jalan saja, posisinya sebagai istri bisa saja tergantikan. Jika saja suaminya sudah merasa cocok dengan berbicara lebih lagi dengan urusan lain. Apalagi, akhir-akhir ini pertemuan dengan psikolog terlalu sering, bahkan dengan laporan rasa lelah tentang perjalanan bisnis keluar kotanya.

Entah bagaimana pendapat wanita itu jika ia tahu kalau si psikolog adalah wanita berumur 27 tahun, lajang, berpenamipilan menarik, dan hidup mandiri. Mungkin wanita itu akan mengajak berteman karena dari cara bicaranya ia wanita yang baik dan juga pemaaf seperti bagaimana ia hanya tersenyum saat pelayan tak sengaja mencipratkan wine di kemeja putih bergarisnya yang mewah. Ah, tidak ada alasan untuk mengkhianati wanita itu.

“Istrimu hamil?” suara wanita itu bisa terdengar dari meja sebelah. “Kau akan punya dua anak,” senyumnya mengembang. Lalu perlahan bentuk itu menghilang dan terganti sendu. Tangan teman baiknya lalu bergerak meraih sebelah tangan wanita itu, mengetukkan jarinya di punggung tangannya. Seperti mengatakan, aku selalu di sini, tenanglah.

Siapa pun akan mengira kalau keduanya punya hubungan spesial. Mungkin saja, kalau ada rasa cinta di antara mereka. Ah, cinta? Bukankah tidak ada yang tahu kapan dan pada siapa ia tumbuh. Harusnya mereka punya cinta satu sama lain.

“Suamiku masih terlalu sibuk sekarang ini,” wanita itu menjawab keresahan teman baiknya. “Aku juga masih sibuk dengan urusan galeri, meski aku tidak menolak jika saja kami memulai program. Tapi kalau tak ada kesepakatan dari kami, aku takut hidupnya bayiku nanti akan sepertiku,” ia tertawa kecil.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Eh? Bukankah wanita itu mencintai kebebasan? Waktunya akan terbatasi jika ia punya anak. Tidak. Wanita itu juga seorang wanita, yang pastinya akan punya rasa keibuan. Suaminya mungkin telah salah menilai, atau suaminya telah salah melihat kesempurnaan yang disajikan wanita itu.

“Psikolog?” gumam wanita itu saat mendengar kalimat berita dari teman baiknya.

“Mungkin istriku akan menemui psikolog itu lagi, soalnya setahun kemarin setelah melahirkan dia baru bisa tenang setelah berbicara dengan dia,” jelas si teman baik. “Kalau kau mau, kau bisa berkonsultasi dengannya juga. Kau selalu merasa cemas belakangan ini kan? Aku sudah mencari tahu, rupanya psikolog ini sangat berbakat,” ia lalu mengeluarkan kartu nama dan diletakkan di hadapan si wanita.

Wanita itu sedang cemas? “Tidak juga,” wanita itu tersenyum singkat dan tersenyum. “Aku hanya khawatir dengan keadaan suamiku. Kupikir dia menemui seorang psikolog.”

Wanita itu rupanya tahu. Ia juga mungkin tahu kalau suaminya itu sudah menjalin pertemanan yang erat.

“Oh, ini kartu nama yang sama dengan yang kudapat di meja suamiku,” seru wanita itu, nampak bahagia.

“Ehm, dia seorang wanita loh,” si teman baik nampak menggoda. “Kau bilang psikolog itu orang yang berbakat kan? Kupikir dia tidak akan menyatukan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan.”

Wanita itu mungkin tidak tahu kalau cinta bisa datang kapan saja. Ia juga mungkin tidak tahu kalau suaminya berhati lembut dan meninggikan wanita. Dan suaminya juga merasa memulai pertemanan dengan psikolog tak akan jadi masalah. Dan jika wanita itu terus saja acuh dan mencoba bersikap pengertian, maka suaminya…

“Istriku orang yang sempurna. Tak ada cacat sedikit pun, aku mencintainya,” suaminya berkata dengan mata menerawang. “Aku merasa tak pantas. Dan dia juga mungkin tak ingin punya anak dariku. Padahal aku ingin putra-putri yang manis sepertinya.”

Ah, suaminya hanya perlu mendengar kalimat wanita itu tadi. Keduanya ternyata sama-sama menginginkan buah hati. Dan masalah kekosongan di antara mereka akan terpecahkan. Suara decikan pisau dan piring terdengar sekali, batal memotong. Steak yang harganya fantastis masih utuh di atas meja. Wine merah di gelas tinggi belum tersentuh sedikit pun. Sebuah kartu emas di sisi piring lebar.

Kalau wanita itu tahu siapa pemilik kartu emas yang ada di meja sebelahnya itu, entah apa yang akan dikatakannya. Mungkin cinta ini akan jadi cinta sejati, cinta yang sulit dibuang, tak ada yang berhak menyalahkan cinta dan ini pertama kalinya untukku, maka aku hanya perlu melupakan pengamatanku seharian ini. ***

Baca Juga: [Cerpen] Kegelisahan Sebatang Tongkat

Jelsyah D. Photo Verified Writer Jelsyah D.

👉 @jelsyahd

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya