[Cerpen] Tentang Cinta

Jika kau mengerti

Pure love, love at the first sight, true love, atau apa pun istilah untuk menyatakan sebuah kisah cinta—aku sama sekali tidak peduli. Asal saja, jangan mengungkit kalimat yang kubenci. Kalimat? Ah, aku sering sekali mendengarnya, mendengar mereka mengatakan bahwa ‘cinta tak harus memiliki’. Itu membuatku muak. Membuatku merasa kasihan pada mereka yang rela melepas orang yang dicintainya asalkan mereka merasa bahagia. Bullsh*t. Tentu saja.

Satu hal yang kutahu tentang arti cinta, jika kau melepasnya, jika kau tak memilikinya, sama saja dengan semuanya berakhir. Apa pun itu, kau harus mampu mempertahankan seseorang yang kau cintai, apa pun resikonya, apa pun yang akan menghalangimu, kalau kau mencintainya—kau harus selalu menggenggam tangannya. Bukankah itu arti cinta yang sebenarnya?

Malam itu, Reno yang berada di luar kota meneleponku. Well, dia memang selalu berada di luar kota. Aku dan dia telah menjalin hubungan sejak tujuh tahun yang lalu, setelah dia menyatakan cintanya padaku saat di sekolah menengah atas. Dia lalu melanjutkan kuliahnya di luar kota dan aku tetap berada di kota kelahiranku. Tak ada masalah, hampir tiga kali sebulan, dia selalu datang ke rumahku, sekalian mengunjungi calon mertua, katanya.

Reno memberi kabar mengenai ujian akhir masternya yang akan diadakan esok hari. Aku hanya berkata akan mendoakannya semoga diberi kelancaran. Berikutnya dia menggodaku untuk cepat menyelesaikan menyusun tugas akhirku, agar bisa lulus.

“Bukankah seharusnya memang begitu, kau yang lebih dulu selesai, cari pekerjaan, dan kita menikah,” kataku menolak untuk terburu-buru melakukan penelitian.

Aku menutup telepon setelah merasa pembicaraan kami tak akan berhenti. Kupandangi telepon genggam yang telah kuletakkan di atas meja di hadapanku. Kunaikkan kakiku ke kursi dan memeluk erat lututku.

Wajah Reno melintas di otakku dan berikutnya suara-suara teman baikku terdengar. Mengutuk diriku yang terlalu mempercayai Reno. Mereka berpikir aku harus ke kota, memata-matai dirinya. Mungkin saja dia punya kekasih yang lain selain diriku. Tapi, sayangnya, aku terlalu mempercayainya. Reno orang yang sangat sangat bisa kupercaya. Memang apa salahnya mempunyai rasa kepercayaan yang besar? Bukankah itu lebih baik?

*

“Kenapa kau akhir-akhir ini sering sekali menelpon?” tanyaku seminggu setelah ujian akhir Reno yang berjalan lancar. “Apa kau melakukan kesalahan?” aku bertanya seenaknya. Aku dan dia memang telah sepakat untuk tidak terlalu mengikuti gaya pacaran orang lain yang selalu ingin bertemu atau pun berbicara hal tidak penting, jadi kalau dia menelpon setiap harinya, kupikir ada yang bermasalah dengannya.

Reno mengomel tidak jelas di seberang telepon dan berkata kalau dia sangat menyayangiku. “Kau harus tahu, apa pun yang terjadi aku akan selalu bersamamu, selalu menyayangimu.”

Aku tak meresponnya, beberapa saat. Memikirkan perkatannya, memikirkan tentang jodoh yang telah ditetapkan oleh Tuhan. “Kenapa kau berkata seperti itu? Apa ibumu menjodohkanmu dengan seorang dokter yang cantik atau dengan ahli hukum yang sangat pintar?”

Reno terdiam beberapa saat.

“Ah, jadi benar yah?” aku segera tersadar. “Lalu yang mana di antaranya? Oi, bukankah kita sepakat untuk saling bercerita apa pun yang penting?” tanyaku saat tak mendengar suaranya.

“Seorang dokter gigi. Tapi kau lebih darinya,” katanya segera memujiku.

“Aku tahu. Tahu.” Aku tertawa, mencoba menenangkan Reno dan juga tentu diriku.

“Oh iya, kau harus menyiapkan dirimu.”

“Menyiapkan diri untuk apa?” tanyaku sambil memeluk lutut memandang langit malam yang tetap indah meski tanpa bintang di balkon kamarku.

“Ibu menyuruhku untuk mengambil keputusan sendiri. Aku…” dia berdehem beberapa kali, “aku mungkin akan datang secepatnya untukmu. Tunggu sebentar lagi yah.”

Aku tersenyum sendiri mendengarnya. “Aku… aku akan menunggu sampai kapan pun untukmu,” kata-kata yang mengalir begitu saja dari mulutku. Aku mungkin terlalu menyayanginya sampai-sampai bisa membiarkan diriku menunggunya untuk seribu tahun lagi.

Aku mengakhiri pembicaraan setelah dia berkata akan datang berkunjung minggu depan. Aku baru saja akan beranjak masuk ke kamar saat adikku yang masih bersekolah di sekolah menengah atas mengambil tempat duduk di sampingku. Kupandangi dia yang melihat dengan tatapan kosong.

“Aku putus dengan pacarku,” jawabnya saat kutanya apa yang terjadi.

“Siapa yang menyuruhmu pacaran? Di umurmu saat ini, kau harusnya belajar. Menentukan apa yang bisa kau lakukan di masa depan,” ocehku yang membuat bibirnya maju beberapa senti.

“Kau sendiri juga punya pacar,” gumamnya.

“Kami tidak pacaran. Dia hanya sahabatku,” kataku tersenyum lebar.

“Beruntung sekali, kau punya seseorang yang bisa melakukan apa pun untukmu. Kau tidak boleh mengecewakan kak Reno.”

“Tentu saja,” kataku mencubit pipinya. “Lalu apa yang terjadi dengan pria itu? Dia memintamu melakukan sesuatu?” Aku sedikit terkejut melihat anggukan kepalanya. Kutepuk bahunya, “kau sudah melakukan hal yang benar.”

“Benarkah?”

Aku mengangguk pasti. “Pria yang baik akan melindungimu, bukan menghancurkanmu.”

“Eh?” dia memandangiku tak mengerti.

“Jangan baru berusaha mengerti setelah semuanya terjadi.” Aku berdiri, melangkah masuk ke dalam kamar. “Maksudku, jangan melakukan sesuatu yang orang lain lakukan, karena kau hanya ingin mengikuti trend,” kataku dan menghempaskan tubuhku ke ranjang. “Maksudku,” aku menambahkan saat dia mengikutiku berbaring, “hatimu akan menentukan mana yang benar atau salah, mana yang harus kau pertahankan atau kau lepaskan.”

“Jadi, kalau kak Reno melakukan kesalahan, apa kau akan memutuskannya?”

“Kenapa aku harus melepaskannya?” tanyaku.

“Ah tidak yah? Karena dia yang akan dulu memutuskanmu kalau dia menemukan gadis lain,” katanya dan tertawa besar.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku menyentil dahinya, “jangan ribut, kau bisa membangunkan Ayah dan Ibu.”

Dia terdiam sebentar. “Oh iya kak, meski aku mencintainya, aku harus melepaskannya?”

“Sebenarnya aku tak terlalu menyukai kalimat itu. Menurutku, bagaimana mungkin kau melepaskan orang yang kau cintai? Atau seharusnya kau mengerti dulu kenapa kau mencintainya.”

“Ah? Tentu aku menyukainya karena dia tampan dan dia juga menyukaiku,” dia tertawa, “tapi, karena kau mengatakan orang yang menyangimu tak akan menghancurkanmu, kupikir dia tak benar-benar menyukaiku. Iya kan?”

“Entahlah. Kau harus bertanya padanya, kurasa.”

“Sudahlah, dia mungkin akan menjelaskan semuanya. Lagi pula, pacaran tidak penting. Yang penting itu, seperti Ibu dan Ayah, menikah dan hidup bersama—meski kadang ada masalah, mereka tetap berusaha menyelesaikan itu semua. Bukankah hidup yang sebenarnya itu harus punya masalah untuk membuktikannya?”

“Wah, kurasa kau mengatakan hal yang benar.”

“Mungkin cinta juga seperti itu yah? Tapi, kalau hanya ada masalah terus, kurasa itu tak akan bertahan lama, iya kan?”

“Entahlah. Kalau pasangan bisa sama-sama mengerti.” Aku menutup mataku, tak ingin berpikir lagi.

*

Siang ini, aku dan ibu sedang di pasar. Membeli bahan makanan untuk keluarga dan juga untuk Reno yang katanya mungkin akan tiba sore hari. Setelah mengangkat dua kantong besar di tangan kanan dan kiriku, aku dan ibu keluar dari pasar tradisional.
Di pinggir jalan, aku meletakkan kantong di samping kaki kananku, saat handphoneku berbunyi.

“Ada apa?” tanya ibu yang melihat keningku berkerut.

Aku mengetik beberapa kata dan memasukkan telepon genggamku kembali ke dalam saku. Kuangkat kembali kantongan dan mengikuti ibu yang telah berjalan melintasi zebra cross. “Reno tak bisa datang,” kataku dan ibu berbalik saat tiba di ujung jalan.

Kulihat bibirnya bergerak, dia seperti meneriakkan sesuatu, dan aku tak bisa mendengarkan apa pun. Kantongan dari tanganku terlepas. Aku menoleh ke kiri, menyaksikan sendiri sebuah mobil telah menyentuh tubuhku. Aku tak sadarkan diri.

*

Aku membuka mataku dan menyaksikan diriku telah berada di dalam sebuah ruangan yang biasanya hanya kulihat di layar TV atau saat menjenguk seorang teman. Kurasakan sebuah benda menutup mulutku. Tak ada orang lain saat ini. Aku sendiri. Dan merasakan perubahan yang aneh di tubuhku. Berikutnya aku kembali tertidur.

*

Aku membuka pelan mataku dan mendapati diriku telah berada di ruang yang berbeda. Orang tua dan adikku segera mendekat saat melihatku telah sadarkan diri. Kuperhatikan mereka menggerakkan bibir mereka, mendengar mereka bertanya keadaanku, dan aku… aku terdiam. Sekadar ingin berkata iya, tapi tak ada suara yang keluar dari bibirku. Berikutnya, aku mengangkat tanganku saat mendengar adikku akan menelpon Reno. Dia bertanya kenapa, aku menggeleng, hanya saja aku tak punya alasan kenapa tak ingin memberitahunya.

Seminggu kemudian, aku telah berada di rumah, duduk di balkon kamarku. Adikku duduk di sampingku, sesekali ikut bernyanyi dengan lagu yang mengalun dari telepon genggamnya.

“Langit sedang indah malam ini,” gumamnya sambil bersandar di bahu kursi memandangi langit. Dia lalu mengambil handphoneku yang berbunyi sekali, pertanda sebuah pesan masuk. “Aku akan membalasnya seperti kemarin?” dia mengetik beberapa kata setelah melihat anggukan kecil dariku. Aku baik-baik saja. Tak perlu datang. Aku sedang beristirahat.

Kenapa mengirim kalimat itu? Karena, aku benar-benar tak ingin bertemu dengannya, saat ini. Mungkin setelah aku pulih. Tentu, aku sudah tak sabar bertemu dengannya, tapi tidak saat ini.

*

Hari berikutnya. Aku masih belum bisa bertemu dengannya. Aku harus bertemu dengan dokter hari ini. Membicarakan—tidak, mendengarkan dokter mengatakan sesuatu tentang diriku. Setelahnya aku kembali dan duduk lagi di balkon di mana aku bisa menghirup udara dan memandangi langit.

Aku mengangkat kepalaku, pelan. Melihat layar handphone yang ditunjukkan adikku di depan wajahku. Sebuah pesan dari Reno. “Ibuku di luar kendali, aku harus menemui. Aku akan datang.”

Kugelengkan kepalaku, pelan. Adikku mengerti. Dia telah mengerti bagaimana cara berkomunikasi denganku. Semuanya akan berakhir, kalau kau datang saat ini. Adikku menujukkan pesan yang diketiknya sebelum mengirimnya. Kusetujui.

Tapi, esok harinya, Reno datang saat aku kembali bersantai di balkon. Kulihat dia turun dari taksi di depan pagar rumahku. Aku melihat adikku dan dia segera mengerti dan membawaku masuk.

“Apa aku harus mengatakan seperti yang kau inginkan?” tanya adikku yang telah mendorong kursi roda masuk ke dalam kamar.

Aku mengangguk, pelan. Seperti seseorang yang tak punya kekuatan untuk bergerak. Aku memang tidak memilikinya, setelah otakku berhenti untuk membantuku berbicara, bergerak, atau pun berjalan. Lalu apa yang terjadi? Aku tak ingin terlihat menyedihkan di depannya, tentunya.

Aku mencintainya. Aku mungkin terlalu mencintainya dan tak ingin dia melihatku setelah pemulihanku yang mungkin atau tidak bisa berjalan lancar. Aku bisa apa? Aku tak ingin dia memandangku dengan tatapan sedih, atau mendengarnya berkata, aku akan menunggu sampai kapan pun. Atau aku mungkin sangat mencintainya sampai-sampai aku tidak ingin dia bersama dengan orang sepertiku.

Maafkan aku yang tak pernah percaya dengan kalimat itu. Kurasa itu benar-benar ada, saat kau mencintai seseorang, tapi kau harus melepaskannya karena ingin dia berbahagia. Atau mungkin kau harus melepaskannya karena tak ingin kau menjadi beban untuknya.

Mungkin-mungkin-dan mungkin. Aku pasti telah benar-benar bingung dan hanya bisa berkata mungkin. Tapi saat pintu kamarku terbuka, air mataku tak tertahan, kudapati senyum di sana, sepertinya pengertian cintanya berbeda dariku.

*

Baca Juga: [CERPEN] Karena Aku Perempuan

Jelsyah D. Photo Verified Writer Jelsyah D.

👉 @jelsyahd

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya