[Cerpen] Tuduhan

Ke mana mulut membawamu

Kalau begini, rasanya, aku ingin berhenti saja jadi seorang penulis. Bagaimana tidak? Jika setiap kali aku menawarkan naskah, mereka selalu mengatakan bahwa aku melakukan plagiat. Aku sudah mencoba membela diri, tapi semakin kujelaskan, semakin aku terpojok. Dan saat aku memilih diam, mereka bilang, aku telah benar-benar melakukan kesalahan. Coba saja kalian dengar apa yang terjadi. Biarkan aku menjelaskannya. Setelah itu, kalian bisa memutuskan apa aku benar-benar bersalah atau mungkin kalian bisa membelaku dari tuduhan ini.

Pertama kali aku membuat novelku itu sekitar tiga tahun yang lalu. Saat itu, tak ada yang mengenalku. Bahkan, hanya sekali dua kali, cerpenku atau puisi ada yang termuat di koran nasional atau media online.  Jadi tak ada yang tahu bahwa penulis sepertiku itu terhidang dengan penuh banyak karya. Ah, mereka tentu punya banyak kriteria untuk bisa memilih karya untuk diterbitkan. Oke lupakan ini. Kembali ke novelku.

Genre novelku itu roman fantasi. Sejenis Twilight. Ada vampire dan hewannya juga. Oh, baiklah. Aku tak terlalu tahu. Hanya pernah lihat filmnya. Seharusnya kubaca seluruh seri novel karangan Stephenie Mayer itu. Tapi aku keburu tak tahan ingin menulis novelku itu. Kata-kata di kepalaku meluap-luap ingin dikeluarkan. Selama beberapa bulan aku terus menulis, tanpa tahu kalau ada novel fantasi dengan tokoh yang bisa membaca pikiran, si Cullen itu.

Jadi setelah selesai, aku mengirim naskahku ke sebuah penerbit. Dan beruntungnya, naskah itu diterima. Akan diterbitkan, kata editor yang menangani langsung naskahku. Aku tak berhenti memikirkannya, dan tentunya sangat senang saat pihak penerbit mengirim contoh sampul untuk novelku, kulihat seorang yang sangat mirip Robert Pattinson di sana, aku tersenyum. Tapi sebelum itu, penerbit memintaku untuk merevisi. Katanya ada bagian yang terlalu mirip dengan ceritanya Twilight ini. Ah, jadilah aku buru-buru mencari novel itu dan segera membacanya. Dan setelah kutelusuri dengan saksama dan waktu yang sesingkat-singkatnya, aku menyadari bahwa tokoh karangan itu sama ganteng dan sama jagonya dengan Edward Cullen. Dan yang paling penting, kalau mereka berasal dari spesies yang berbeda.

Selama satu bulan, aku merombak kembali naskahku. Dengan bantuan editor yang sangat perhatian. Dan mungkin bisa membuatnya punya hati untukku. Hem. Lupakan. Ah, aku kembali mengirim naskah yang selesai. Akhirnya aku mendapat kabar baik lagi. Akan diterbitkan. Sampul berubah. Dan tiga bulan berlalu, novelku terpajang di toko buku. Aku tersenyum puas.

Tapi senyumku tak bertahan lama. Saat seorang wanita nyata di dunia maya, mengirimiku tweet. Ia berkoar bahwa novelku itu jiplakan. Aku telah menjiplak salah satu novel favoritnya. Ah, novel apa itu? Padahal aku tak punya vampire lagi. Ia bersikeras menuduhku sebagai plagiator. Aku tak tinggal diam. Aku langsung balas tweet-nya. Apa maksudmu? Aku hanya memberinya dua kata, tapi ia membalas dengan seribu kata.

“Dasar plagiator. Apa kau tak punya ide lain. Atau jangan-jangan kau tak membaca. Bagaimana mungkin seorang penulis tak membaca dan tak tahu kalau kau menulis karya yang sama. Kau harusnya didenda lima ratus juta…”

Aku tak sanggup lagi melanjutkan membacanya. Aku sama sekali tak tahu novel itu. Ceritaku tentang seorang gadis yang merupakan iblis yang mendapat kesempatan untuk menjadi lebih baik atau tetap menjadi seorang yang buruk. Ia lalu datang ke bumi, bersama pria yang akan membantunya. Dan ah, katanya itu sangat mirip. Aku tak tahu. Tapi, bagaimana mungkin. Kalau saja benar, itu berarti aku dan penulis itu punya imajinasi yang sama. Tentu saja aku tak tahu apa benar ada seorang iblis yang akan menjadi baik. Itu hanya khayalanku saja. Tapi kalau begini, aku jadi malas untuk menuliskan hasil imajinasiku. Karena sekarang aku tahu, tak hanya aku yang punya ide dari mengkhayal atau berimajinasi.

Meski begitu, aku tak berhenti jadi penulis. Berikutnya. Aku mulai menulis ulang sebuah novel yang kusukai. Katanya, ini namanya saduran, hal seperti itu. Semuanya akan jelas. Tak ada lagi yang akan menuduhku sebagai plagiator.

Tapi sayangnya semua hanya perkiraanku. Mereka kembali menyebutku sebagai plagiator karena telah menyadur karangan. Mereka bilang, “kau ini memang plagiator sejati. Bagaimana mungkin kau membuat novel dari drama korea favorit kami. Semua ide, jalan ceritnya sama. Kau hanya mengubah nama di novelmu itu. Dasar kau. Apa kau tak punya cerita lain?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku menghela nafas. Bukankah aku sedang membuat saduran. Apa aku tak boleh melakukannya. Bukankah sudah jelas, aku menulis sebuah tulisan dari penulis drama itu. Apa kali ini aku salah lagi? Apa sekarang harus berhenti menulis? Itu isi otakku, saat itu. Dan selanjutnya aku tetap menulis meski berkali-kali kukatakan ingin berhenti.

Karena aku suka menulis, meski ingin berhenti, aku masih tetap bertahan. Aku kembali menulis. Ingin menyakinkan pada orang-orang kalau aku ini bukan plagiator. Aku juga bisa menulis novel, cerita pendek, juga puisi.

Aku mengirim novelku yang kukerjakan hanya dalam waktu sebulan. Aku tak buru-buru mengerjakannya, tapi memang terlalu mudah jari-jariku mengetik di atas keyboard laptop. Jadi novel ini cepat selesainya. Semuanya sudah ada di kepalaku. Jadi tak ada halangan. Penerbit juga rupanya suka. Entah karena namaku yang terkenal plagiator dan membuat orang-orang mencari naskahku, atau karena editor memang menyukainya.

Setelah sebulan terbit, saat sebulan karyaku terpajang di toko buku, selama itu aku tersenyum. Ah, aku merasa lega. Tak ada yang menuduhku plagiator lagi. Aku memang tak pernah melakukannya.

Karena itu, aku bisa menelusuri salah satu toko buku. Ingin melihat bukuku itu. Dan saat itu seseorang mendatangiku. Seorang gadis dengan dandanan nyentrik.

“Eh, dasar plagiator.”

Aku menahan nafas. Menatapnya. Kenapa? Apa lagi?

“Kau mencuri ceritaku. Kau penulis kisah kasih SMA ini kan? Kau penulisnya. Kau telah mencontoh ceritaku,” katanya dengan suara yang tertelan, tak ingin membuat orang lain mendengar.

Aku menganga. Apa yang harus kukatakan? Ini bukan fiksi. Ini cerita nyata. Apa kisah hidupku ini plagiat? Apa aku tak boleh menuangkan kisahku ke dalam lembaran buku. Ah, aku bisa gila. Siapa yang harus disalahkan? Apakah aku? Ah, jangan-jangan tulisan ini pun sebenarnya plagiat.

Baca Juga: [CERPEN] Lelaki dengan Nyala Api di Dadanya

Jelsyah D. Photo Verified Writer Jelsyah D.

👉 @jelsyahd

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya