[CERPEN] Apakah Bulan akan Menelanku?

Yang ditakutinya berasal dari ketidaktahuannya

           Apakah Esok Bulan Akan Menelanku? Gadis itu memang pandai dalam segala hal, dan dia gemar sekali membaca. Namun, ada satu hal yang sama sekali tidak diketahuinya, ialah tentang bulan.

       *****

Namanya adalah Luisa Larik. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Nama itu ia peroleh dari ayahnya yang seorang profesor—tepatnya bekas profesor, karena ia harus menjadi tahanan rumah sakit jiwa setelah penelitiannya gagal sebanyak 25 kali—saat usia Luisa baru beranjak awal dua puluhan.

     Luisa tumbuh diasuhan Karhen dengan baik. Sayangnya, lelaki yang ia sebut sebagai cinta pertama itu tidak dapat lagi hidup bersamanya, setelah kejiwaannya terganggu. Gadis lugu itu pun harus rela jika ayahnya bermalam di rumah sakit sampai beliau benar-benar dinyatakan sembuh. Sebab, kata dokter, Karhen masih bisa disembuhkan. Karena ia hanya depresi dan bukan gila akut.

     Luisa Larik, bukan tanpa sebab nama itu diberikan oleh Karhen. Dia berharap, putrinya akan seperti larikan kata yang tiada terputus dan terhapus. Sejak Luisa masih kecil, Karhen sudah menanamkan bibit kecerdasan kepadanya. Buku dan menulis sudah menjadi makanan sehari-harinya. Ya, Karhen memang menjadikan profesi ‘penulis’ sebagai impian sekaligus cita-cita Luisa—selagi gadis itu masih tidak tahu apa-apa, dan ia hanya menuruti ayahnya.

       Dan sekarang, gadis pemilik hidung mancung itu benar-benar telah menjadi apa yang ayahnya inginkan. Ia menulis, menulis, dan menulis. Sesekali ia selingi kegiatannya itu dengan membaca, katanya, agar pemikirannya tidak dangkal. Dan, supaya tulisannya tetap mengikuti updatean zaman.

     “Kamu sedang apa, Luisa?” Tanya Anggini—sahabat Luisa, ketika baru sampai di ambang pintu kamar sang penulis.

      Perlu diketahui, karya Luisa sudah membludak, bukunya terjual di mana-mana. Namanya pun sudah banyak dikenal oleh kalangan khalayak ramai. Tentu semua itu adalah pencapaian yang selama ini dibangga-banggakan olehnya. Hasil jeri payahnya sejak kecil, juga impian sang mantan Profesor.

      “Apa lagi kalau bukan menulis. Lihat nih, novelku beberapa bab lagi akan selesai,” jawabnya antusias, sambil mempersilakan Anggini untuk segera masuk.

      “Sudah makan? Atau mau kubuatkan mie instan lagi?” Anggini mulai khawatir terhadap kesehatan Luisa. Gadis itu memang cerdas, tetapi acap kali abai terhadap kesehatannya sendiri.

      “Aku udah makan, Nggin, hari ini aku harus menyelesaikan tiga bab, supaya besok malam kita bisa jalan-jalan. Bukannya ini yang kamu mau?”


      “Iya… kamu terlalu sibuk mengurus tulisan. Keluar rumah hanya kalau ada perlu soal print out surat pernyataan untuk penerbit, atau sekadar beli matrai. Sisanya, kamu habiskan waktu di rumah. Sesekali nikmati hiduplah, Luis.”

       Anggini mulai mengomel, ia adalah sahabat yang sangat cerewet. Namun, itulah nilai tambahan bagi Anggini di mata Luisa. Di saat ia terpuruk, sang empunya lesung pipi itulah yang selalu menyediakan pundak untuknya. Anggini, dengan segala kesempurnaan wajah dan tubuh eloknya tidak pernah sekali pun meninggalkan Luisa, yang notabene-nya adalah anak dari seorang Profesor yang sedang mengalami gangguan jiwa.

      “Maka dari itu aku lagi kerja keras. Jadi, jangan ganggu aku supaya pekerjaan ini cepat selesai.”

     “….”

     “Anggini? Kamu marah?” Luisa tampak cemas saat melihat raut wajah Anggini yang tiba-tiba menjadi masam.

     “Wow wow… seorang Luisa mengkhawatirkanku? Sungguh ini keajaiban, si gadis yang acuh terhadap orang lain bahkan sekarang bisa mencemaskan sahabatnya.” Tawa Anggini pun menggelegar, memekakkan telinga Luisa. Sedangkan yang diolok-oloknya hanya diam sambil mengerucutkan bibir.

       Anggini pun terdiam sesudahnya. Ia tidak berani lebih jauh, mengingat Luisa adalah sosok yang sangat dingin. Membiarkan si keriting ikal itu berkonsentrasi adalah satu-satunya cara agar besok malam mereka bisa pergi ke taman, melihat bulan purnama.

         *****

       “Kamu kenapa dari tadi kayak orang ketakutan?”

      “Aku… aku takut pada bulan, Nggin.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

      Tunggu dulu, Luisa memang cerdas, tetapi ada satu hal yang tidak pernah diketahuinya, ialah tentang bulan. Luisa selalu habiskan waktunya di rumah—untuk berjibaku dengan buku dan tulisan, setelah pulang kuliah. Ia memang gemar membaca, tetapi entah mengapa ia sama sekali tidak tertarik untuk membaca perihal bulan.

       “Kamu tidak lihat, huh? Sejak tadi bulan sudah mengikutiku.”

       Anggini hanya terbengong-bengong mendengar penuturan Luisa. Mana mungkin bulan mengikutinya dan membuatnya ketakutan. Bahkan, anak kecil pun tahu bulan tidak akan mengikuti satu persatu manusia yang berjalan. “Lalu, apa jadinya jika memang demikian? Yang ada bulan malah jadi banyak dan saling bertabrakan karena banyak manusia yang berjalan berlawanan,” Anggini membatin.

      “Hei Luisa, apa kamu benar-benar sebodoh dan setidaktahu itu? Kupikir kamu cerdas, tapi untuk hal yang satu ini bahkan kamu tidak mengerti.”

      “Anggini, aku sedang tidak bercanda. Lihatlah, aku akan buktikan jika bulan itu sedang mengikutiku.”

      Luisa pun berjalan menjauhi Anggini, sedangkan Anggini hanya diam mematung, menunggu kalimat apa yang akan Luisa katakan lagi.

      “Coba perhatikan bulan itu, dia berjalan juga, dia mengikutiku… berjalan di belakangku, dan dia… dia bergeser, Nggin.”

     “Luisa, kamu jangan gila. Mana ada bulan mengikutimu, dia tetap ada di sana, di atas. Apakah kamu tau, bulan ada di atasku juga sekarang, dia tidak membuntutimu.”

      Wajah Luisa semakin pucat, tubuhnya menggigil seperti ada satu ketakutan yang tertahan dalam batinnya. “Aku mau pulang,” tuturnya, memohon pada Anggini.

      “Kita bahkan baru keluar rumah, dan belum sampai di taman. Oh ayolah, Luisa.”

      Tidak ada perbincangan, Luisa menutup diskusi mereka begitu saja lalu berbalik arah, menuju rumah.

       “Aku akan menuntut bulan jika memang dia terus mengikutiku seperti ini,” gerutunya. “Besok, bulan masih ada, kan? Si bulat itu menakutkan!” Maki Luisa.

      “Bulan purnama hanya ada malam ini, besok sudah berganti.”

      “Tunggu! Kalau memang begitu, aku harus memberinya pelajaran malam ini.”

      “Dengan apa, Luisa?” Anggini sudah kehabisan kata-kata untuk membantah argument Luisa yang mungkin akan semakin menjadi-jadi.

     “Aku juga tidak tahu….” Tubuh Luisa melemah, ambruk begitu saja sebelum sampai pada ambang pintu rumahnya.

     “Dia akan segera mengecil. Setelah itu, lambat laun akan segera menghilang, kita tidak akan melihatnya lagi… sampai bulan berikutnya.”

Anggini kembali diam, ia tidak tahu lagi mesti bagaimana. Apa yang ditakutkan Luisa benar-benar tidak masuk akal. Bahkan, anak SD saja tahu, jika bulan hanya ‘tidak berpindah tempat’ sehingga arah pandang manusia akan selalu sama, dan itulah sebabnya bulan terlihat seperti sedang mengikuti manusia yang berjalan.

       “Oh sungguh kau, Luisa. Gadis yang pandai menulis dan membaca, tetapi tentang bulan yang ada di duniamu saja kau tidak mengerti. Seharusnya, kamu membaca banyak soal alam, bukan hanya membanggakan karyamu dan berpikir bahwa kamu sudah mengetahui semua hal yang ada di dunia ini, hanya karena kamu seorang penulis.” Anggini mulai lelah menceramahi Luisa yang sejak lima menit lalu terus menggumamkan kalimat yang sama.

      “Apakah esok bulan akan menelanku? Setelah malam ini membuntutiku tiada henti.”***

Baca Juga: [CERPEN] Kamar Sebelah

Keza Felice Photo Verified Writer Keza Felice

Author | Content Writer | Ghost Writer | Ig: @Keza236_queen

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya