[CERPEN] Halusinasi

Jangan hiraukan bayangan yang menakutimu!

Malam ini aku kembali terjaga. Menatap langit-langit kamar yang sama sekali tidak ada perubahannya. Aku sudah berada di dalam ruangan ini sejak sode tadi. Memandangi cermin yang memperlihatkan betapa buruknya wajahku tanpa polesan.

Denting jarum jam sesekali menyadarkanku dari sebuah lamunan yang tidak berarti ini. Membuatku tersadar akan kebodohan yang membuatku melakukan hal yang tidak berguna—memandangi cermin dengan tatapan kosong. Kedua mataku terlihat sayu, bibirku mengering, tubuhku pun seperti tak bertulang. Begitulah keadaanku yang terlihat dari cermin itu.

Jendela kamarku terlihat berdebu. Lampu yang biasanya menyala terang di atas meja rias kini telah berubah menjadi redup entah apa sebabnya. Aku bahkan nyaris tidak dapat melihat sarang laba-laba yang berada di pojok langit-langit kamarku seperti biasanya.

Aku menoleh, melihat jam dinding yang terpasang sejajar dengan foto ibu yang sudah berdebu. Foto itu sudah menggantung pada dinding kamarku sejak aku kecil, dan hanya foto itulah yang menunjukkan bahwa aku memiliki ibu. Karena ibu meninggal setelah melahirkanku ke dunia ini. Yah, setidaknya itulah yang kuketahui tentang ibuku.

Nasya.......

Ini adalah yang kesekian kalinya kuabaikan suara lirih yang berulang kali memanggilku. Suara yang datang beriringan dengan aroma bunga melati yang entah dari mana asalnya. Dan aku sangat yakin, ayah tidak pernah menanam bunga melati ataupun membelinya.

Malam ini tak seperti biasanya, jendela-jendela kamarku bergesekan dengan dinding kamar, menghasilkan suara decitan yang semakin keras. 

Segera kulirik jendela kamarku yang terletak di sebelah kanan. Aku melihat bayangan seorang wanita. Ini pertama kalinya kulihat bayangan itu. Seorang wanita berambut panjang yang sedang berdiri membelakangiku di tengah taman. 

Aku dapat melihatnya dengan jelas. Wanita itu mengenakan baju putih cantung. Rambutnya tergerai dan ia berjalan mundur, mendekat ke arah dinding kamarku.

Aku lekas berdiri, berjalan mendekati jendela kamar untuk memastikan siapakah wanita itu. Namun saat wajahku telah mencapai bibir jendela, tidak kutemukan siapapun diluar sana. 

Aku masih penasaran, karenanya segera kutinggalkan jendela kamar dan berjalan menuju pintu. Namun tiba-tiba aku dikejutkan dengan embusan angin kencang . Kepalaku terhantam ranting pohon, padahal di taman tidak ada satupun pepohonan yang tumbuh.

Aku segera meraih ranting pohon yang jatuh di lantai setelah mengenai kepalaku. Tubuhku bergetar ketika menyentuh ranting pohon itu. Bentuknya sedikit aneh, dan ini baru pertama kalinya kulihat ranting pohon yang bertekstur lentur, berlendir, berwarna merah kecoklatan dan sedikit keriput. 

"Kembalikan jariku, Nasya!" Suara parau itu terdengar dari arah belakang.

Aku segera menoleh dan melemparkan ranting kayu yang sedang kugenggam. Ternyata yang baru saja kulempar adalah jemari seorang wanita, bukan ranting kayu.

Aku segera berlari meninggalkan kamar. Udara pun tiba-tiba menjadi sangat dingin, membuat nafasku menjadi sesak. Dan keadaan menjadi semakin mengerikan, lampu-lampu di dalam rumah mati secara bersamaan. 

Aku berjalan merayap, menelusuri satu persatu ruangan untuk mencari lilin. Seingatku, lilin terletak di gudang. Entah kebodohan macam apa yang membuatku harus menyimpan barang sekecil itu di dalam gudang.

Semua ruangan benar-benar gelap. Namun aku harus terus berjalan untuk mengambil lilin. Tanganku meraba setiap dinding yang kulewati, mencoba mencari pintu yang menghubungkanku ke ruang gudang, di belakang rumah.

Menit selanjutnya, aku telah berada di dalam gudang. Aku harus segera mengambil lilin yang terletak di dalam kardus— yang diletakkan di dalam lemari kecil di pojok ruangan.

Aku meraba, berusaha meraih kardus di dalam lemari dan mencoba untuk membukanya. Namun ada keanehan yang kembali terjadi. Aku menyentuh sesuatu yang kenyal, terasa dingin, dan tidak luput dari lendir dari dalam kardus.

Jemariku basah, entah cairan apa yang baru saja kupegang. Dengan cepat kutarik kardus itu dan kuletakkan di lantai. Aku bahkan sampai melupakan lilin yang seharusnya terlebih dulu kucari.

Namun sepertinya, memeriksa kardus ini merupakan hal yang lebih penting dibandingkan mencari lilin. Karena kardus ini mengeluarkan cahaya kemerahan dari dalamnya. 

"Tidaak!" 

Aku tiba-tiba menjerit karena terkejut. Aku melihat wajah yang sangat menyeramkan di dalam kardus. Wajah yang terkoyak milik seseorang yang berambut panjang, rambut itu melilit, menyangga kepalanya—menggantikan leher.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kedua matanya berwarna merah menyala. Dari cahaya matanyalah warna merah terang itu muncul. Giginya berwarna hitam dan berlumur darah. Mulutnya dikerumuni belatung dan telah membusuk. Dari hidungnya keluar kalajengking yang siap menyengat siapapun yang menyentuhnya.

Aku segera lari meninggalkan kardus berisi kepala itu. Beberapa kali tubuhku menabrak benda-benda di dalam ruangan, akan tetapi aku tidak lagi peduli. Aku tidak ingin mati sia-sia hanya karena setan itu.

Sial! Aku memaki. Kakiku terhenti seperti ada genggaman yang menariknya. Rasa dingin mulai menjalar di seluruh tubuhku. Bulu kudukku berdiri, keringat dingin mulai menetes dari balik bajuku. 

Aku segera melirik kakiku untukku memastikannya. Tuhan memang sedang mengujiku. Aku melihat seorang wanita yang mengenakan daster putih cantung lusuh sedang tiarap dan memegang erat kedua kakiku.

Matanya berwarna putih dan mengeluarkan darah. Jemarinya berwarna hitam. Wajahnya juga terkoyak. Aku tidak tahu apa kemauan dari setan itu.

Aroma bunga melati lagi-lagi kembali menyeruak. Tiba-tiba lampu di dalam ruangan menyala. Memperlihatkan dengan begitu jelas keberadaan kepala buntung yang sebelumnya kulihat di dalam kardus itu sedang memperhatikanku dari ketinggian. 

Dia terbang mengitariku. Darah, lendir dan juga belatung yang memenuhi wajahnya berjatuhan, mengenai wajahku. Aku sangat jijik, akan tetapi lari dari keadaan ini tidak akan mungkin terjadi. Karena kedua kakiku masih berada dalam cengkeraman wanita berdaster itu.

Dia terus menggerayangi kakiku sembari berusaha berdiri. Wajahnya hitam legam, rambutnya putih, dan lidahnya sangat panjang. Dia menjilati ujung kakiku, menghadirkan rasa dingin yang berbeda. Jilatannya terus naik ke arah pusar, melilit punggungku dan mencekik leherku.

Aku hampir kehilangan kesadaran saat itu. Namun, tiba-tiba tubuhku terangkat beberapa centi dari lantai. Wajahku sepertinya mulai membiru, dan tubuhku telah basah sepenuhnya oleh keringat dingin juga lendir dari mulutnya. Sedangkan kepala buntung itu tertawa cekikikan sembari memelototiku.

Kepulan asap putih tiba-tiba datang memenuhi ruangan. Nafasku menjadi semakin sesak. Aku berusaha memperhatikan sekelilingku dan berusaha untuk tetap sadar. Berharap ada satu benda yang dapat kugunakan untuk mengusir setan ini.

Dengan susah payah aku berusaha melepas lilitan lidah yang mencekik leherku hingga akhirnya tubuhku terlepas darinya, dan tersungkur ke lantai.

Aku berjalan terseok-seok. Mataku tertuju pada sebilah pisau yang terletak di atas piring bersama buah-buah segar yang ayah siapkan untukku. 

Sedangkan kepala buntung dan wanita itu masih gigih mengikutiku dengan mulut menganga. Menampakkan giginya yang siap menancap pada leherku. Namun aku tidak putus asa. Kupercepat langkah kakiku untuk mengambil pisau itu. 

Beberapa menit kemudian, langkah kakiku terhenti, tapi tanganku telah mendapatkan pisau dapur yang terletak bersama buah-buahan itu. Dengan cepat, aku mengangkat tinggi sebilah pisau yang sedang kugenggam. Kedua mataku menatap tajam ke arah wanita yang mencengkeram kakiku. 

Matilah kau setan!!

Aku menjerit sembari menghunuskan pisauku pada punggung wanita itu. Kuperkirakan pisau itu berhasil menembus jantungnya.

"Sakit, Nak."

Tiba-tiba aku mendengar suara parau yang diiringi dengan isak tangis. Aku segera melepaskan pisau itu dari tanganku dan membiarkannya tertancap pada punggung wanita itu.

Tidak! Aku menjerit.

Bukan punggung setan wanita yang berda dalam penglihatanku itu yang tertancap pisau dariku, melainkan ayah.

Ayah! Aku menjerit, menangis dan berusaha menggoyang-goyangkan tubuh ayah dan segera memangkunya.

"Hentikan halusinasimu!"

Perkataan ayah terdengar di sela-sela isak tangisku. Ayah menyadarkanku bahwa aku telah kembali merenggut nyawa manusia tak bersalah, dan kali ini adalah ayah kandungku.***

Baca Juga: [PUISI] Menghapus Luka Lupa

Keza Felice Photo Verified Writer Keza Felice

Author | Content Writer | Ghost Writer | Ig: @Keza236_queen

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya