[CERPEN] Sepatu Dekil

Andai tidak kubiarkan Bapak mencuci sepatunya.

Bau minyak kemenyan mulai tercium, tandanya Bapak sudah pulang dari kantornya. Sebenarnya kantor yang Bapak maksud bukan seperti yang kebanyakan orang pikir. Namun Bapak bangga memilikinya.

Dahulu, Bapak menjabat sebagai seorang kepala desa. Namun entah dengan alasan apa orang-orang tega melengserkan jabatan yang baru dua tahun Bapak pimpin. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain legowo. Padahal, Bapak sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan yang melanggar aturan, apalagi menyengsarakan masyarakat.

“Siam, Bapak pulang,” ucap Bapak dengan suara parau, sambil mengetuk pintu.

“Iya, Pak. Pintu tidak dikunci, kok,” jawabku sambil berlari-lari kecil untuk menyambut kedatangan Bapak.

“Sudah pulang, Pak?” tanyaku yang hanya dibalas dengan anggukan.

Aku balik mengangguk kemudian menyusul langkah Bapak yang mulai memasuki rumah. Di atas meja ruang tamu, segelas kopi hitam tanpa gula sudah terseduh dan siap untuk disentuh pemiliknya. Bapak penikmat kopi sejati. Sehari semalam, Bapak bisa menghabiskan tiga sampai empat gelas kopi pahit.

Sebagai anak, aku sempat mengkhawatirkan kondisinya, sebab usia Bapak sudah uzur. Dan, ada banyak kemungkinan beliau bisa sakit karena terlalu banyak mengonsumsi kafein yang terkandung dalam kopi. Sayangnya, Bapak selalu pandai berkilah jika kudebat soal kebiasaannya meminum kopi itu.

“Bagaimana keadaan kebunnya, Pak?” tanyaku sambil menyajikan pisang goreng.

“Kamu yang goreng?”

“Iya, Pak.”

“Bapak, kan, sudah bilang jangan sebut kantor bapak seperti itu, apa kamu sedang merendahkan Bapak?” jawabnya sambil mengusuk-ngusuk pergelangan kakinya menggunakan balsem. Di usianya yang sudah berkepala tujuh, seharusnya Bapak memang sudah tidak berkebun lagi.

“Maaf, Pak. Siam nggak ada maksud merendahkan Bapak,” jawabku membela diri.

“Kali ini Bapak akan memaafkanmu, tapi lain kali … jangan harap Bapak bisa mentolerir lagi,” jawabnya sambil berlalu meninggalkanku.

Aku mematung, menatap punggungnya yang berbalut pakaian lusuh bermotif kotak-kotak. Karena kecintaan pada pekerjaannya itulah beliau bisa menjadi seperti ini. Sudah satu tahun Bapak selalu tidak terima jika aku menanyakan soal kebun. Ya, sebenarnya Bapak memang bekerja di kebun. Kantor itu, hanya sebuah kenangan yang terekam dan melekat dengan kuat dalam pikirannya.

“Siam, jangan lupa kamu cuci sepatu dekil di depan pintu itu! Lagipula, siapa yang berani meletakkan sepatu dekil seperti itu di depan pintu rumah kita, hah?” Bapak membuka pintu kamarnya kemudian menatapku penuh intimidasi. Wajahnya terlihat kesal, beliau juga mengibaskan telapak tangannya di depan hidung untuk beberapa kali. “Bau kemenyan siapa ini?” sambungnya kemudian.

“Iya, Pak. Nanti Siam cuci,” jawabku singkat−meskipun aku tidak pernah berniat untuk mencucinya.

“Bapak itu tanya, siapa yang meletakkan sepatu dekil itu di sana, Siam?” Bapak menekan nada bicaranya. Sedangkan aku hanya bisa menunduk dari tempatku duduk. “Ah sudahlah, lain kali buang saja langsung sepatu itu!” tambahnya, kemudian kembali ke dalam kamarnya.

Suara pintu yang berdecit terdengar sedikit nyaring. Rumah ini sudah seumuranku. Ya, setidaknya begitulah yang aku dengar dari Ibu, sebelum beliau tutup usia. Tidak hanya soal rumah ini, Ibu juga banyak cerita soal Bapak. Bapak yang sudah sangat ingin menjadi kepala desa sejak masih bujangan.

Dan ternyata Tuhan mengabulkan keinginan Bapak tiga tahun yang lalu. Sayangnya, impiannya seolah hanya datang sebagai ujian. Bapak dituduh sebagai seorang koruptor yang memakan dana desa untuk keperluan rumah tangganya. Padahal aku tahu betul Bapak tidak mungkin melakukannya. Karena tuduhan tak berdasar itulah Bapak harus kehilangan jabatan sekaligus orang terkasihnya. Ibu meninggal setelah terkena serangan jantung.

***

“Siam! Kamu tuli atau bagaimana?” Bapak berteriak dari ambang pintu dengan napas tersengal-sengal.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ada apa, Pak?” tanyaku gugup.

“Lihat! Sepatu dekil ini, apa kamu lupa perkataan Bapak malam lalu?” tanyanya dengan berkacak pinggang.

Apa harus aku membuangnya di depan Bapak? Ingin sekali kulontarkan pertanyaan itu padanya, tapi mungkin saja hal tersebut malah akan memperkeruh suasana.

“Iya, Pak. Maafkan Siam. Besok pagi, Bapak tidak akan melihat sepatu ini lagi,” jawabku mencoba menenangkannya, meskipun aku sama sekali tidak berniat untuk membuangnya.

Pembicaraanku bersama Bapak ternyata menjadi pusat perhatian orang-orang yang melewati rumah kami, mungkin karena waktunya yang masih terlalu pagi untuk berdebat. Beberapa ada yang mengulas senyum untukku, ada pula yang mencibirkan mulutnya seolah mengikuti apa yang Bapak bicarakan.

Tidak sampai hati aku melihat Bapak diperlakukan seperti itu oleh mereka. Namun tak banyak yang bisa kulakukan. Menenangkan Bapak adalah hal yang lebih utama.

“Bapak mau Siam buatkan kopi?” tanyaku lirih, sambil menggandeng lengannya yang sudah dipenuhi keriput.

Bapak mengangguk kemudian mengikuti langkahku untuk masuk. Selagi aku membuat kopi di dapur, Bapak terlihat tenang di ruang tamu. Mungkin Bapak sudah lupa perihal sepatu dekil yang selalu jadi sumber petaka selepas salat magrib di rumah ini.

“Kopinya, Pak.” Aku meletakkan segelas kopi hitam seperti biasanya di hadapan Bapak.

Bapak hanya mengangguk kemudian menikmati sesapan kopinya selagi panas. Sesekali beliau nampak mengerucutkan bibirnya, meniup segelas kopi dalam genggamannya. Tidak banyak yang kami bicarakan malam itu, sampai malam benar-benar menjadi sunyi. Udara semakin dingin.

“Istirahatlah, biar Bapak saja yang mengurus sepatunya.” Hanya itu yang terdengar, sebelum akhirnya aku benar-benar meninggalkan Bapak di ruang tamu seorang diri.

Keesokan paginya rumah kami sudah dipenuhi dengan teriakan Bapak. Perkataan kotor dan umpatan-umpatan yang tak pantas diucapkan pun terlontar dari mulutnya.

“Di mana sepatuku, Siam?” tanya Bapak sambil memelototkan mata. “Ini sudah siang, Bapak bisa saja telat datang ke kantor, kamu tidak tahu itu?” lanjutnya kemudian.

“Siam tidak tahu, Pak,” jawabku sambil mengobrak-abrik laci lemari, mencari sepatu sialan itu.

Kepalaku sudah hampir meledak pagi ini. Aroma kemenyan dari pakaian Bapak sudah cukup membuatku pusing, ditambah lagi soal sepatu itu. Kenapa pula Bapak tidak pernah mau dibelikan sepatu baru? umpatku dalam hati.

“Tidak ada, Pak. Mungkin Bapak sudah membuang—”

“Siam …,” panggilnya pelan.

Aku dibuat ketar-ketir oleh Bapak yang tiba-tiba ambruk di depan pintu. tangan kanannya mencengkeram dadanya dengan kuat, sedang tangan kirinya menunjuk pada sebuah benda mengkilap yang terletak di dekat tempat jemuran baju.

“Bapak?”

Aku terus memanggil namanya berulang kali dan meletakkan kepalanya di pangkuanku. Mulanya Bapak masih mengedipkan mata sebagai isyarat bahwa beliau masih mendengar panggilanku, tetapi sepersekian detik setelahnya, Bapak tidak membuka matanya lagi.

Tidurlah dengan lelap, Pak. Siam tidak akan membiarkan sepatu itu kotor lagi, batinku penuh penyesalan. Jika saja aku tidak tidur malam tadi, dan andai saja aku tidak membiarkan Bapak mencuci sepatunya sendiri, mungkin Bapak masih ada bersamaku hari ini.***

Baca Juga: [CERPEN] Kakek Penjual Kembang dan Si Pemuda Kaya

Keza Felice Photo Verified Writer Keza Felice

Author | Content Writer | Ghost Writer | Ig: @Keza236_queen

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya