[CERPEN] Daging Babi Halal

Sesusah itukah? Ya, memang susah

"Sudah terlalu banyak yang kau teguk dalam sekali putaran jarum jam."

Pria ini tak memberi sikap, tetap terlelap dalam genangan air botol bening itu. Kusingkirkan menjauh 1 hasta. Benar-benar tak bisa diajak berbicara. Meski tujuan awal ia menggeretku ke tempat biadab ini karena sepatah dua patah kata yang dilayangkannya kasar pada hati istrinya, sejak 15 menit ia hanya berkata aaa uuu iii ooo. Sedangkan melihat kondisinya sekarang seperti harus kuseret masuk istrinya itu, sebelum ia menciptakan kegaduhan dan membuatku harus membayar semua kerugian pada pemilik tempat ini. Dan membuatku dipandang buruk di tempat yang buruk.

"Aku tidak sedang ingin membayar apa pun, kau tahu!" tegasku.

"Tenang sajaaa..."

Aku tarik paksa tubuhnya keluar dari tempat ini. Syukurlah ia sudah membayar sebelum mulai terkubur dalam kebahagiaan anehnya itu. Atau lagi-lagi dompet yang baru saja terisi gaji bulananku akan lenyap bahkan sebelum air liur ini menandainya.

"Kau ini ... sudah kubilang ... jangan ... pernah menikah ...," ucapku terengah-engah setelah berusaha mengangkat 60 kilo lebih daging segar di pundakku.

"Hmm ..."

Kuletakkan tubuhnya dalam bangunan seperti pos ronda yang telah menjadi tempat arisan ibu-ibu kunti. Semua sarang laba-laba, lampu redup yang tak sanggup bertahan lebih lama, suasana sepi yang entah kenapa terasa mencekam, seakan baru saja kaki ini memasuki dimensi perfilman yang penuh drama di setiap adegannya. Melihat manusia tak berguna ini membuatku lesu. Haruskah kutinggalkan saja ia di sini? Berpesta dengan ibu kunti?

"Seharusnya tak perlu aku datang menemuinya, entah kenapa jebakan ini selalu berhasil, apa benar aku ini keledai?"

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di ujung jalan. Reflek kepalaku berputar melihat ke arahnya. Apa tidak bisa bulan bersinar lebih terang malam ini? Bahkan lampu di ujung jalan tak terlihat baik-baik saja.

"Siapa wanita itu?"

Bunyi sepatu hak tingginya membuatku tahu jenis kelamin pemiliknya. Meski baju yang digunakannya bukanlah baju yang bisa memperlihatkan lekuk tubuh seorang wanita.

"Apa itu istrinya? Tapi baru 5 menit lalu sejak kututup telponnya," tuturku bingung dalam kesendirian.

"Hai, Rubi!" Panggilku dengan lantang bersamaan dengan tangan yang melambai antusias. Tapi wanita itu langsung melepas sepatu hak tingginya dan berlari kembali ke arah ia datang. Padahal aku berharap ia bisa membantuku menganggat daging segar ini setidaknya hingga ke tepi jalan raya.

**

Seperti biasa, pagi itu sebelum jarum kecil bertemu angka 7 aku harus sudah berangkat kerja.

"Di dunia ini tidak ada yang suci dan jangan pernah mencoba berlagak sok suci, atau kau hanya akan terlihat seperti daging babi halal," tutur pria yang membuatku harus tidur di lantai semalaman.

Aku menatapnya tajam yang sedang berusaha terbangun namun kedua matanya seakan tak ingin dibuka. Tubuh gempalnya tak mampu bangkit dari tumpukan kapuk yang mulai menipis. Tangannya berusaha meraih dinding namun tak sanggup berpegangan. Aku berdecik melihatnya.

"Bagaimana bisa istrimu bertahan hampir 4 tahun lamanya?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Melihatnya seperti itu membuatku melirik ke arah cermin di hadapanku dan memperhatikan sekujur tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki. Tentu semua terlihat lebih baik darinya. Tapi entah takdir mana yang membenciku hingga cewek secantik Sofi lebih rela ditindih kerbau gempal seperti dia. Aku kembali berdecik.

"Percuma memiliki wajah bak Leonardo De Caprio kalau jati diri bak kucing betina," ucapnya yang kini telah berhasil menduduk tubuhnya itu.

"Ah sudah pulang saja kau sana, membuat sesak kontrakanku saja."

"Baiklah baik, terima kasih karena sudah membuatku tertidur sangat pulas di kasur tipismu itu, jangan lupa menjemurnya biar menjadi tebal kembali."

Pria itu pergi dan meninggalkan beberapa lembar kertas berwarna merah di atas meja. Rasanya ingin sekali keluar dari lingkar pertemanan ini, tapi kehidupan seperti tak mengizinkan semua itu terjadi. Bahkan langkah kaki pun harus dibayar dengan tetesan keringat.

Hari itu pekerjaanku selesai lebih cepat dari biasanya. Jadi jatah mengunci kantor bukan ada ditanganku lagi. Kulambaikan tangan sombong pada semua karyawan dengan muka masam penuh emosi itu. Lalu melengos pergi dari hadapan mereka. Belum sampai 5 menit berjalan, perut ini sudah bernyanyi tak karuan. Kulirik beberapa warung yang berjejer rapi di pinggir jalan. Kira-kira warung mana yang akan kunimati kali ini. Dan langkah kaki tiba di pedagang kaki lima dengan menu utama pecel lele.

"Pecel lele satu, es teh tawar satu." Segera kulayangkan pesananku setibanya aku di bangku kayu panjang.

Tak lama pesananku datang dan segera kusantap habis semuanya. Kutarik tisu gulung itu keluar dan kubersihkan bibir ini dari bumbu yang tak sengaja terselip. Saat akan pergi, seorang pria dengan jenggot sangat tipis masuk dan duduk di sebelahku.

"Pecel lele satu, es teh manis satu," ucapnya pada si penjual sedang aku terus memandanginya. Seperti pernah bertemu di suatu tempat.

Mataku terbelalak dan segera kutinggalkan tempat ini dengan satu tangan berusaha menutup wajahku. Hampir saja, hampir saja ketahuan. Aku berjalan sedikit berlari berusaha menenangkan hati yang seperti akan meledak. Kutarik napas dalam-dalam dan kubuang mereka serentak. Kulakukan itu beberapa kali hingga seluruh detakan rumit itu ikut keluar. Kurentangkan tangan seakan berusaha melepas segala beban. Dan kupelankan langkah kakiku.

"Hampir saja, atau semua akan berakhir," ujarku dalam riuh angin.

Matahari yang lebih dulu tiba di sangkarnya seakan tak membiarkanku beristirahat walau sejenak. Panggilan lainnya harus segera kupenuhi. Atau keberlangsungan hidupku akan mulai terguncang. Kuharap malam ini banyak yang akan datang. Setidaknya membuatku bisa tidur lebih tenang dua hari ke depan. Kugunakan semua yang diperlukan dan pergi mengambil pekerjaan malamku.

Pergi sendirian di tengah gelapnya malam selalu membuatku merasa sedikit aneh. Kesunyian ini membuatku merasa tenang, tapi kegelapan ini membuatku sedikit takut. Butuh sekitar 10 menit berjalan kaki untuk tiba di tempatku bekerja. Dua pekerjaan memang melelahkan, tapi semua itu sangat kubutuhkan.

"Selamat datang, Ren!" Seorang teman selalu menyambutku dengan sangat meriah entah kenapa. Aku melambai ke arahnya dan memberi senyuman kecilku.

Beberapa pengunjung mulai berdatangan, dan tangan-tangan ini siap menunjukkan sedikit atraksi kecil. Beberapa dari kami menjadi sangat tertarik dengan sorakan-sorakan tak jelas para pengunjung saat melihat atraksi kami. Aku tak bisa merasa bangga untuk sorakan itu, karena jelas sekali mereka tak sadar mengatakannya. Beberapa wanita kini hadir menampilkan beberapa pertunjukan dan wanita bernama Rubi semalam juga hadir di sana. Ingin sekali kudatangi dan bertanya kenapa semalam kabur setelah mendengar namanya dipanggil. 

"Hai, Ren! Sudah kuduga kau bekerja di tempat seperti ini," ucap pria yang sama dengan yang mengajakku bertemu kemarin malam. Sialan.

"Wow, lihat betapa lihainya tangamu itu." Ucapannya benar-benar membuatku geram. "Sudah kubilang, jangan bertingkah sok suci, bertingkahlah sesuai tempatmu maka kau akan terlihat seperti yang lainnya, biasa saja," bisiknya di telingaku.

"Malam ini semua kutraktir untuk kawanku Rendi ini!" Semua orang riuh seketika. Aku harap hanya pria ini, tidak ada yang lainnya.***

Baca Juga: [CERPEN] Menanti Tanpa Arti

Khusnul Hotimah Photo Writer Khusnul Hotimah

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya