[CERPEN] Kakek Penjual Kembang dan Si Pemuda Kaya

Barang siapa merasa cukup, maka Allah akan mencukupinya

Baju lelaki kurus lanjut usia itu kusam berlengan pendek, sehingga lengannya yang hanya berbalut daging terlihat sangat mencolok. Banyak kerutan yang terlihat mengelilingi sudut mata, dahi, juga pipi. Ia berada di trotoar jembatan, berdekatan dengan masjid. Duduk beralaskan kain yang jauh lebih kusam dari pakaiannya.

Kakek itu menjual kembang bekupak untuk orang-orang berziarah. Di bawah matahari yang terik. Dengan kepala berlindung kopiah yang lagi-lagi sama usangnya, beliau tertunduk tanpa menatap jalanan yang ramai, sedangkan motor serta kendaraan lainnya berlalu-lalang di hadapannya.

Di sampingnya duduk seorang pemuda. Di atas bangku panjang. Keadaannya sangat kontras dari si kakek. Ia berpenampilan mewah. Pemuda itu sibuk mengeser-geser jempol pada layar android yang tampaknya sangat cangkih. Tampak acuh pada sekitar.

Cukup lama, pemuda itu memasukkan handphone-nya ke dalam kantong kemejanya yang bergaris-garis. Ia berdiri. Setelah diperhatikan, pemuda itu bertubuh tinggi dan besar. Untuk pertama kalinya, ia mengarahkan perhatian pada si kakek secara terang-terangan. Setelah sebelumnya, tadi ia hanya melihat foto kakek lewat hape. Ada raut tidak suka dari wajah pria tinggi besar itu. Seolah-olah hari ini misi yang diberikan oleh sang atasan akan gagal ia jalankan.

Pemuda itu mendekati kakek. Langkahnya lebar dan panjang. Wajahnya yang tampak sangar berubah ramah dan manis. Matanya bercahaya, seolah ada bintang yang bersinar dari dalam sana.

“Kakek, saya mau kembangnya serenteng,” kata pemuda itu.

Mendengar orang mau membeli kembang, raut wajah kakek jadi cerah. Beliau segera menengok ke atas, demi melihat siapakah sang pembeli. Lalu tangan beliau segera memasukkan kembang ke dalam kantong plastik hitam.

“Berapa kek?”

Si kakek menyerahkan kantong plastik seraya berkata, “Lima ribu.”

Tangan pemuda itu menerima kantong plastik, kemudian memberikan selembar uang lima puluh ribuan. Melihat uang lima puluh ribuan tersebut, mata kakek bergetar.

“Ada uang pas aja, Mas. Saya belum ada uang kembalian,” ujar kakek bertanya.

Pemuda itu tersenyum lembut. “Tidak usah. Kembaliannya buat kakek saja.”

Kakek berdiri. Gerakannya lamban karena rentanya usia melemahkan setiap pergerakan beliau. Tapi sesuatu dalam cara menatap beliau membuat pemuda itu terenyuh. Sesuatu yang harusnya tidak boleh ia libatkan dalam pekerjaannya.

“Semoga Allah membalas kedermawanmu kelak, wahai Anak Muda. Namun tunggulah sebentar. Saya akan carikan kembalian uangmu.”

Kening pemuda itu berkerut. Bukan sikap itu yang ia harapkan akan kakek lakukan. Ia berpura-pura menengok sekeliling. “Tapi tidak ada pedagang lain buat menukar uang.”

Kakek itu terdiam seperti berpikir. Memang tidak ada pedagang lain selain dirinya yang berjualan. Sudah sejak pagi sebelum matahari terik ia menjemput rezeki di sini, namun satu pun tak ada pembeli yang membeli jualannya.

Dalam hati sejujurnya beliau ingin menerima selembar uang lima puluh ribuan dari pemuda itu. Pandangan Kakek jatuh pada selembar uang lima puluh ribuan tersebut, yang ada di tangannya. Apakah Allah telah mengirim rezeki untuknya melalui perantara pemuda ini? Ia pun terdiam merenungi selembar rezeki yang apakah itu memang pantas menjadi haknya.

“Sudah berapa orang yang beli dagangan Kakek?” Tanya pemuda itu dalam keraguan si kakek.

Kakek mengenang dengan mata bergetar. Beliau lalu menggeleng. “Belum ada,” jawab beliau. Namun sambil tersenyum beliau lalu melanjutkan, “Tapi tidak apa-apa. Rezeki saya sudah diatur oleh Allah.”

Pemuda tadi jadi gelisah. Tetapi ia bisa menutupi kegelisahannya. Selain itu, ia merasa tertarik mengakhiri kesulitan kakek. Bosnya benar. Kakek itu cocok menjadi pekerja mereka. Karena kalau bergabung dengan mereka, Kakek tak perlu lama-lama menunggu pembeli datang.

“Kakek. biasanya berapa penghasilannya dalam sehari?” Tanyanya memancing.

Kakek tanpa curiga menjawab pertanyaannya. “Dalam sehari paling banyak saya dapat lima puluh ribu, kalau sedang ramai. Kadang saya tidak dapat pembeli.”

Nah. Hati pemuda itu berkata inilah saatnya menawari kakek masuk dalam perangkap.

“Kakek mau nggak punya penghasilan dua ratus ribu sampai jutaan rupiah per hari?” tanyanya dengan nada yang sangat menggiurkan. “Kerjanya gampang. Nggak perlu tamatan sekolah tinggi. Nggak perlu capek-capek. Nanti sebelum praktik dikasih pelatihan dulu.”

“Pekerjaan apa itu, Anak Muda?”

“Ayo duduk dulu Kek, saya ceritakan.”

Kakek itu lalu duduk seperti semula. Sedangkan pemuda itu menyeka sambil meniup-niup lantai trotoar, kemudian duduk bersila tegak.

“Nah, saya punya bisnis. Banyak yang sudah sukses setelah bergabung dengan bisnis saya. Awalnya mereka nggak punya apa-apa. Tapi sekarang sudah punya rumah mewah. Mobil bagus...” Kemudian pemuda itu mengeluarkan handphone-nya yang terlihat masih baru. “... juga punya hape bagus seperti ini, Kek.”

Tiba-tiba seorang anak perempuan datang ke arah mereka. “Kakek, beli kembangnya dua.”

Kepala kakek segera menoleh. Lagi-lagi ekspresi cerah memancar dari wajah beliau.

“Dua?” Tanya kakek seolah memastikan bahwa beliau tidak salah dengar.

“Iya, Kek. Saya mau ke seberang. Mau menjenguk makam ayah dan ibu lagi.” Cerita gadis itu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kakek segera memasukkan dua renteng kembang ke dalam kantong plastik. Lalu menyerahkan pada gadis itu. kemudian ia menerima selembar uang sepuluh ribuan.

“Makasih, Kek.” Kata gadis itu tersenyum kemudian menyeberangi jembatan dengan hati-hati. Di seberang sana, ada pemakaman muslimin.

Pemuda bertubuh besar dan tinggi tadi ikut memperhatikan kepergian gadis itu, yang kedatangannya membawa secercah cahaya di mata kakek. Melihat Kakek senang ia pun ikut senang.

Perhatian kakek telah kembali padanya. “Nak, coba  ceritakan tentang pekerjaan tadi.”

Pemuda itu meneguk ludah. Berdehem sesaat menata pita suaranya. “Nanti kerjanya berkelompok. Setiap kelompok dikirim ke tempat yang berbeda, tapi tidak terlalu jauh agar tidak capek saat dijemput pulang.”

“Kalau harus bekerja sambil berjalan-jalan ke tempat yang jauh, tubuh saya sudah terlalu lemah, Nak. Bahkan untuk berdiri saja saya harus susah payah.”

Justru itulah kenapa kakek cocok bergabung dalam usahanya. Pikir pemuda itu.

“Tidak apa-apa Kek. Jalannya pelan-pelan saja. Kita tidak punya aturan yang harus membuat pekerjaan cepat terlaksana kok. Kalau perlu nanti bos akan minta orang membantu Kakek berjalan,” sahutnya memberi penawaran semenarik mungkin.

“Bos kalian orang yang sangat baik dan pengertian. Semoga Allah memberkahi kesehatan dan rezekinya.”

Pemuda itu mengangguk setengah hati. Mungkin jauh di dalam hati, ia tidak setuju doa itu tertuju untuk bosnya. “Aamiin Kek, makasih.”

“Tadi kamu bilang pekerjaan itu tidak butuh pendidikan yang tinggi. Dan juga tidak perlu capek-capek. Pekerjaan apakah itu? Apa yang harus saya lakukan nanti?”

“Nanti Kakek dibawa dengan mobil. Bukan Cuma kakek tapi juga yang lainnya. Terus diturunkan di suatu tempat. Bisa perumahan, pasar, atau tempat-tempat ramai dan tempat orang-orang banyak. Kakek akan dibekali keranjang. Kaleng atau kotak. Saat melihat kakek, akan ada orang baik akan yang memasukkan uangnya ke benda yang kakek bawa, tapi ada juga yang tidak.”

Kakek mendadak terdiam. Beliau hanyut dalam renungannya sendiri. pemuda itu meneruskan penjelasannya. “Di usia tua, seharusnya Kakek tidak perlu bekerja lagi. saya di sini untuk menawarkan pada Kakek masa depan yang lebih baik.”

Kakek menatap ke seberang dengan tatapan menerawang. Kemudian ia tertunduk. senyumnya tampak miris.

“Nak, saya sudah mengerti sekarang pekerjaan macam apa yang mau kamu tawarkan. Kalau kamu sungguh punya niat baik untuk saya, akan saya hargai niat baikmu. Tetapi saya lebih memilih berjualan kembang daripada harus meminta-minta.”

Kakek berdiri dengan lemah. “Tunggu sebentar di sini. Saya akan carikan uang untuk kembalianmu.”

“Tapi ke mana kakek akan mencari?” tTnya pemuda itu.

Kakek melihat-lihat sesuatu. Kemudian ia melangkah perlahan menuju masjid di bawah jembatan. Ada beberapa buah motor dan satu buah mobil memarkir di halaman masjid. Beliau masuk ke masjid itu.

Sementara di trotoar, si pemuda menunggu dengan kecewa. Firasatnya benar. Kakek itu akan menolak tawaran yang biasanya berhasil ia lancarkan.

Tidak lama kakek keluar dari masjid dan menghampirinya dengan langkah yang lemah. “Ini uang kembalianmu, Nak. Terimakasih sudah membeli dagangan saya. Lebih baik kamu pergi sekarang kalau sudah tidak ada keperluan lagi.”

Mendengar ucapan kakek membuat pemuda itu emosi. “Apa dengan uang sepuluh ribu dari gadis tadi dan lima ribu dari saya sudah cukup? Apa Kakek mau terus hidup dengan penghasilan yang tidak menentu setiap hari.”

Kakek itu lalu menjawab, “Nak. Walau hanya sepuluh dan lima ribu rupiah, saya bersyukur mendapatkan rezeki dari hasil jerih payah sendiri. Uang itu bisa saya gunakan membeli satu liter beras dan dua butir telur untuk saya dan cucu saya.”

Mendadak pernyataan Kakek hati pemuda itu pilu. Awalnya ia tersinggung lantaran kakek bukan hanya menolak tapi juga mengusirnya. Ia tersentuh dengan keteguhan hati Kakek, yang tidak ia miliki.

“Saya sudah tua. Yang saya inginkan hanyalah sebisa mungkin hidup menjadi hamba Allah yang sebaik-baiknya. Lihatlah pemakaman di seberang sana!” Sambung Kakek dengan mata berkaca-kaca.

“Kalau saya meminta-minta, apa yang akan saya katakan pada Allah saat Dia bertanya, apa yang saya lakukan di masa-masa terakhir menghadap-Nya. Haruskah saya katakan bahwa saya menghabiskan usia dengan mengemis belas kasihan orang lain. Meminta-minta karena tidak ingin bersusah payah sementara Allah masih memberi saya kekuatan juga akal pikiran.

“Nak. Saya seorang Kakek, dan punya cucu laki-laki di rumah. Kalau ia sudah dewasa, saya ingin ia menjadi orang yang jujur dan pekerja keras dalam menjemput pemberian Allah. Sudahlah Nak, Kakek maafkan karena kamu sudah mengajak Kakek ke jalan itu. Semoga Allah memberimu hidayah yang membawamu ke gerbang jalan yang lebih diridai.”

Kakek kembali duduk dengan tenang. Sementara si pemuda berjalan ke tempat asal ia duduk. Melaporkan pada bos bahwa ia gagal menjerat mangsa mereka. Lalu ia berjalan turun dari jembatan. Tidak jauh dari jembatan itu, ada plaza di depannya. Ia memarkirkan mobil di plaza itu.

Pertemuannya dengan Kakek membuatnya merenung. Kakek lebih memilih hidup susah, dibanding bergelimang kemewahan sepertinya. Padahal tidak perlu susah-susah untuk mendapatkan kemewahan seperti yang ia miliki.

Mobil, rumah, handphone, pakaian yang ia kenakan. Semua ia dapat dari hasil yang kakek anggap rendah. Dulu sempat ia bekerja dengan jujur seperti kakek. Pemuda itu berdecih. Mana bisa ia mendapatkan banyak uang hanya dengan berjualan seperti Kakek, kecuali ada banyak uang yang tiba-tiba jatuh dari langit untuknya.

Tapi kenapa ia merasa kalah. Jika dibandingkan dengan Kakek yang tua dan kurus, ia merasa benci dan marah meski ia memiliki jauh lebih banyak harta benda.

Mendadak ia merindukan uang lima belas ribu yang kakek peroleh.***

Baca Juga: [CERPEN] Rahim Sungai dan Malaikat yang Tersesat

Ale Namiski Photo Writer Ale Namiski

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya