[CERPEN] Putri Bangsawan Melawan Musuh Tak Dikenal

Tidak ada seorang pun di sini yang dapat kupercaya.

Kediaman Duke Winterslet.

Secangkir teh hangat itu mengeluarkan uap di permukaannya, diletakkan tepat di depanku. Warnanya yang jernih dan bentuk cangkir putih serta mungil menggugah seleraku agar segera mencicipinya. Orang yang menyuruh pelayan menyajikan teh ini sudah pasti ingin aku meminum teh ini. Dan orangnya adalah wanita anggun yang bergerak elegan, menyesap tehnya di hadapanku. Dialah Nyonya Daisy Winterslet. Aku ingin sekali mengibas taplak meja agar semua barang di atasnya berjatuhan ke arah wanita itu, termasuk teh sialan yang harus kuminum ini.

“Apa kau takut aku meracuni tehmu, putriku yang cantik?” Dia berkata manis padahal sedang menyindirku. Sepertinya dia lupa bahwa baru setengah bulan lalu aku hampir mati keracunan di pertemuan kelompok gadis-gadis bangsawan, jika saja seorang pelayan tidak menggantikan nyawaku dengan nyawanya.

Kupamerkan senyum dibuat-buat. “Sepertinya Ibu Tiri sangat menghawatirkan saya. Beruntungnya saya mendapat kasih-sayang yang besar dari Anda.” Di ujung kalimat aku tertawa dengan telapak tangan menutup mulutku yang terbuka, yang merupakan tata krama seorang gadis atau wanita dari kalangan bangsawan.

Dari tempatku duduk, aku bisa melihat rahang Daisy Winterslet mengeras. Bisa kubayangkan kedua tangan wanita itu tersembunyi di balik meja, kurasa tengah mengepal, atau mencengkeram ujung-ujung gaun ungu sutranya yang mahal.

Daisy membuang muka seraya menarik napas bersamaan. “Begitulah seorang ibu, yang akan selalu mencemaskan anak-anak mereka.” Aku menyeringai. Ibu tiriku wanita yang pintar. Kupikir aku bisa menyulut amarahnya, sehingga aku akan membuka topeng penyihir yang tersembunyi di balik wajah innocent bak peri itu. Nyatanya dia masih elegan bak ratu.

“Oh aku terharu mendengarnya.” Seolah aku tersentuh. “Kudengar racun arselik tidak tercium jika dicampurkan dengan minuman. Demi rasa kasih sayang Anda yang besar, bagaimana kalau Anda meminumnya lebih dulu?!”

“Nona, Anda tidak boleh bersikap begitu pada Nyonya!” Tegur Jane. Dia pelayan Daisy. Dan kekurang-ajarannya sama sekali tak mencerminkan seorang pelayan dari kalangan bangsawan.

Aku menatapnya sinis. Pelayan yang sangat patuh. Dia bahkan menatapku dengan tatapan tajam. Tunggu saja, aku akan perintahkan para pelayanku untuk memberinya pelajaran. Aku tidakk butuh mengotori tanganku yang bersih, untuk mengajari betapa tidak sopannya pelayan ini. entah sebab apa, dia lalu terkesiap. Kepalanya tertunduk lalu mundur selangkah, menjauh dari kami.

“Rupanya pelayan Anda baru sadar siapa dirinya!” sindirku. Mungkin kali ini harus kumaafkan. Bisikku dalam hati.

Ibu tiriku melihat antara aku dan pelayannya bergantian. Ada raut cemas terlihat dari wajah cantik usianya yang tua itu. Aku benci kenyataan bahwa dia secantik gadis-gadis seusiaku. “Maafkan sikapnya. Ibu akan mencoba tehmu terlebih dulu, kalau memang itu demi kebaikan anakku.”

Aku bangkit dari kursi. Merapikan lalu mengibas-ngibas bagian depan rok gaunku. “Tidak perlu. Tehku sudah dingin dan aku punya jadwal lain. Terimakasih sudah mengundangku ke tempatmu.” Ujarku santai. Perasaan puas terbit ketika melihat raut kesal ibu tiriku yang tertahan. Ku angkat kedua sisi rok gaunku lalu membungkuk hormat padanya dibuat-buat.

“Anak tirimu ini undur diri dulu.”

Ibu tiriku ikut berdiri dan membungkuk sambil mengangkat rok gaunnya seperti yang kulakukan. Suasana muram menyelimuti sekelilingnya. Aku meninggalkan tempat kami minum teh, yang merupakan taman di belakang kamarnya. Sebagai seorang wanita simpanan yang mendadak jadi ibu tiriku, penyihir itu sungguh tak tahu malu. Bisa-bisanya dia kemari saat ibuku baru meninggal sebulan yang lalu.

Setelah ibuku meninggal, kekayaan keluarga ini benar-benar dikuasai oleh ayahku, yang merupakan seorang duke. Selama hidupnya, ibuku tidak mendapatkan cinta suaminya selama menikah. Karena ibu adalah seorang gadis polos dan naif. Menggelikan sekali kalau mengingat bagaimana ibu berkata, ayah adalah pangeran tampan yang selama ini ibu tunggu. Aku selalu menertawakan pemikirannya setiap kali momen itu terlintas dibenakku. Selalu teringat dibenakku. Karena saat itu, ibuku bahagia. Matanya berbinar-binar. Aku terlalu jarang melihatnya tampak begitu hidup.

Kemudian aku tahu kalau penyebab kematian ibuku tidak wajar. Beliau bukan dalam kecelakaan saat berkunjung ke kediaman sahabatnya. Melainkan seseorang sudah menyetop kereta yang dia tumpangi lalu mencekiknya di leher mengenakan tali. Semua berkata itu kecelakaan, tapi pelayanku bilang ada bekas jeratan tali di lehernya. Pasti itu ada hubungannya dengan membawa ibu diri ke rumah ini sebagai duchess. Jika begitu, mungkin ayahku juga terlibat.

Ketika matahari mulai tenggelam. Aku mulai tenggelam dalam pikiranku tentang hasil menyelidikankus ecara pribadi. Aku mencatat setiap ucapan kesaksian atas meninggalnya ibuku. Sayangnya tidak ada yang dapat dijadikan sebagai informasi penting. Mengingat kereta itu dicegat di tengah hutan, tidak ada saksi lain selain pelayan ibuku yang saat ini lemah. Juga prajurit yang berhasil selamat.

“Nona ... sudah waktunya Anda bersiap untuk makan malam. Tuan Duke dan Nyonya Duchess sudah menunggu Anda di meja makan.” Itu suara Milian. Pelayanku.

“Katakan pada Tuan Duke kalau aku tidak bisa ikut. Kalau mereka bertanya bilang saja kalau aku kelelahan atau tak berselera makan.”

“Baik, Nona.” Milian pergi tanpa banyak bertanya. Tidak lama dia kembali, dan menghadapku dengan gerakan anggun dan hormat.

“Nona. Saya sudah sampaikan. Tapi sebagai gantinya Tuan Duke meminta saya mengantar makan malam nyonya langsung kemari.”

Apa? Keningku berkerut. Tidak biasanya ayahku jadi perhatian. “Taruh saja di sana!” perintahku sambil menggerakkan dagu ke arah mejaku yang berhadapan dengan jendela. Mungkin aku akan menikmati makan malam sambil memperhatikan pemandangan langit yang gelap.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dan makanan terasa lebih enak saat disantap ketika baru disajikan. Maka sebaiknya aku segera makan, berhubung tidak ada ayah di sini, ataupun orang-orang lainnya yang kubenci.

Aroma makanan ini benar-benar enak. Aku duduk di bangku. Mengambil pisau dan garpu karena pertama-tama aku mau makan steak. Tapi ketika sepotong steak hampir masuk ke mulutku, tiba-tiba aku teringat akan teh ibu tiriku yang beracun.

Kuletakkan lagi garpu dan pisau ke meja. “Milian, masuklah!”

Pintu kamar terbuka dan Milian tergesa-gesa menghadapku. “Ada apa Nona?”

“Aku ingin makanan yang baru. Yang bukan dari Duke dan Duchess. Buatlah sendiri dan bawakan aku minuman!” Aku tahu memasak bukanlah tugas Milian. Namun aku terpaksa memintanya memasak sendiri untukku.

“Baik Nona. Saya akan menyiapkan makanan baru untuk Anda.” Begitu Milian pergi, aku memanggil pelayan lain untuk membersihkan mejaku serta menyingkirkan makanan di meja.

Mungkin seharusnya aku tidak mencurigai keluargaku. Namun sikap mereka selama ini patut mendapat kecurigaan. Aku tak lagi mempercayai ayah ketika ayah tanpa tahu malu mengingkari janji pernikahan bersama ibu. Ayahku hanyalah pria yang cinta buta pada kecantikan wanita simpanan.

“Saya datang membawa makanan yang baru untuk Nona.” Milian kembali dengan mendorong meja pengangkut makanan.

“Bawakan ke meja, Milian!”

Air liurku hampir menetes melihat menu makanan yangg dibawa Milian bersama beberapa dayang lain. dia menyiapkan ayah panggang utuh. Warna kecap tampak menyilaukan mata di permukaan kulit ayam panggang itu. Selain ayam utuh, Milian juga membawakan sup berserta sebotol anggur.

“Terima kasih.”

“Sama-sama Nona. Kalau membutuhkan sesuatu, jangan sungkan memanggil saya.”

 Akhirnya aku bisa menikmati makananku. Milian memang mengetahui seleraku yang menyukai ayam yang dipanggang. Bukan hanya soal seleraku dalam hal makanan, dia juga tahu gaun macam apa, atau hiburan jenis apa yang akan menarik untukku. Aku meminum anggur setelah makananku selesai. Anggur kali ini terasa sangat nikmat. Sehingga aku menghabiskan minuman itu hanya dalam waktu satu menit. Sesuatu di dalam tubuhku terasa sakit. badanku ambruk ke lantai. Aku ingin meminta tolong, namun tak dapat mengeluarkan suara.

Kenapa? Kenapa mendadak aku merasa seperti ini? Seolah sesuatu yang tak seharusnya berada di dalam tubuhku. Sakit menghampiriku dari detik ke detik berikutnya. Semakin membesar. Dan aku pun terjatuh ke lantai dari kursi. Menimbulkan suara ribut, namun tidak ada yang masuk untuk menolongku.

 “Me li an!” Aku memanggil Melian, namun suaraku terlalu kecil. Mulutku memuntahkan darah. “Tolong aku!”

Pintu kamar dibuka oleh seseorang. Aku sedikit lega. Karena setidaknya jika aku mati, aku tidak mau mati tanpa diketahui siapa pun. Tanpa ada seseorang di sampingku. Dan betapa bersyukurnya aku menemukan Melian masuk.

“Nona!” serunya panik. Dia berlari ke arahku. Membawaku ke dalam pangkuannya. Aku ingin sekali berkata padanya, bahwa sekarang aku sangat takut. “Kenapa Nona jadi seperti ini?”

“A ku ti dak ta hu.” Jawabku tersendat. Aku terus batuk dan mengeluarkan darah. “Sepertinya ada yang meracuni makanan yang kau bawa, Melian.”

“Nona!” jeritnya cemas. Dia membawa tubuhku ke pelukannya. Ini sudah terlambat. racun semacam yang sudah ke tubuhku ini akan segera membuatku mati. aku ingin menyuruhnya agar terus bersamaku hingga akhir, tanpa meninggalkanku dan melakukan hal sia-sia. “Aku tahu, Nona. Karena akulah yang meracunimu,” bisiknya di telingaku. Kengerian menyelimuti sekitarku. Namun tidak lama, aku sudah tak mampu lagi merasakan apa pun, segala tanda kehidupan dalam diriku.***

 

Palas, Juni 2020

Baca Juga: [CERPEN] Anak Laki-laki yang Menangis

Ale Namiski Photo Writer Ale Namiski

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya