[CERPEN] Bukan Hari yang Baik untuk Menulis Cerita

Tak ada pabrik kata-kata di dunia ini

Ini bukan hari yang baik untuk menulis cerita. Semalam terlalu banyak kesedihan menghantam dadanya. Mulanya, ia hanya yakin seseorang tengah berusaha keras mencuri hati kekasihnya. Namun semalam kekasihnya sendiri justru menegaskan bahwa ia akan dengan sangat senang hati mengikuti ke mana pun lelaki itu hendak membawanya daripada harus bertahan dengan seorang lelaki yang tak dapat menghentikan mendung dalam hidupnya sendiri.

Perempuan itu bahkan belum selesai sampai di situ. Lanjutnya, sampai langit berubah menjadi laut, lelaki sepertinya hanya akan tetap menjadi lelaki sepertinya. Tidak akan pernah berubah, tidak akan pernah membaik sedikit pun dari kesusahan hidup yang diciptakannya sendiri.

Meski ia tidak menyukai perumpamaan yang dipakai perempuan itu, langit berubah menjadi laut yang terasa berlebihan, ia menerima. Perempuan itu memang tak lagi terasa seperti kekasihnya. Puncaknya memang semalam, tetapi sebenarnya sudah cukup lama perubahannya terasa. Perempuan itu tak lagi peduli pada puisi-puisinya, tak lagi minta dibuatkan sebuah cerita khusus untuknya pada malam-malam tertentu saat ia singgah bahkan bermalam.

Perempuan itu telah bosan padanya. Tetapi itu bahkan bukan masalah utamanya. Ia sama sekali tidak keberatan mencintai batu-batu dan pohon-pohon sebagai gantinya. Luka akan tetap menjadi luka. Berlubang menganga, mungkin juga membusuk. Namun pada akhirnya pasti sembuh juga. Tidak ada yang abadi di dunia ini, tak terkecuali kepedihan-kepedihan.

Perempuan itu pergi dengan langkah mengentak seakan-akan hendak menghacurkan dunia tempatnya berpijak. Tidak, ia tidak mengejarnya. Benar-benar tidak terpikir untuk itu. Ini bukan adegan dalam sinetron, kan? Kebetulan saat itu hujan sedang deras-derasnya. Mungkin jadi romantis sekali kalau ia mengejarnya, meraih pergelangan tangannya, lalu mereka seperti dua kuntum bunga di taman yang kebasahan.

Ah, tidak. Yang seperti itu cuma bagus dalam cerita atau tayangan. Di dunia nyata, masuk angin bakal lebih merepotkan. Lagi pula pileknya belum sembuh. Apa yang akan didapatkannya dari mengejar perempuan itu dan memintanya bertahan? Selain ingusnya akan makin panjang; ia hanya akan menyakiti dirinya sendiri, perempuan itu, dan lelaki yang lain di suatu tempat. Hidup benar-benar cuma sekali. Ia tidak ingin menjadi keparat untuk banyak orang.

Satu masalah yang bukan utama telah terjadi. Masalah berikutnya adalah telepon genggam lawasnya bergetar di atas meja. Sebuah nama di layar, kakak perempuannya. Cuma pesan singkat. Sama seperti dirinya, kakak-kakaknya juga jarang punya cukup pulsa untuk menelepon. Bahkan sebelum membaca pesan itu, jantungnya telah membesar dan membuatnya merasa sesak.

Kapan jadi pulang? Mak tak membaik sedikit pun. Kalau belum juga ada uang, pinjamlah dari seseorang. Kalau perlu mengemislah. Mak mungkin tak bisa menunggu lebih lama.

Hujan di luar pindah ke hatinya. Persetan dengan perempuan yang baru saja meninggalkannya. Bukan perempuan itu tak pernah penting baginya. Namun tetap saja, perempuan itu apalagi sekarang, tak ada apa-apanya daripada urusan maknya. Ia ingin sekali mengemis malam itu juga. Mengemis dan terus mengemis sampai hujan dan panas berganti-ganti.

Akan tetapi, ini sungguh-sungguh sudah malam dan hujan derasnya bukan main. Bukan lagi masuk angin yang ia khawatirkan atau ingus yang kian panjang, melainkan siapa yang masih berkeliaran di tengah hujan sederas ini selain perempuan yang tergesa-gesa meninggalkannya itu?

Ia menyandarkan punggungnya dan melihat jam bundar di dinding. Masih sekitar enam jam menuju matahari terbit. Ia kembali berpikir. Besok pagi tentu hujan sudah berhenti. Ia berjanji pada dirinya sendiri dan maknya di kejauhan, akan mengemis begitu jam menunjukkan pukul enam atau selambat-lambatnya setengah tujuh pagi.

Tetapi kemudian ia menyadari masalah berikutnya. Bahkan jika ia memulai debutnya dengan mengemis di sudut jalan yang paling ramai dilewati orang, siapa yang sempat merogoh uang receh dan menjatuhkannya ke kalengnya sepagi itu?

Itu bukan waktu yang tepat untuk mengemis maupun bederma. Semua orang selain dirinya tentu tengah dikejar-kejar bel sekolah atau jam masuk kerja. Lebih siang atau tepat saat jam makan siang pasti lebih pas. Satu jam yang tak tergesa-gesa. Mungkin bahkan tak perlu repot-repot mencari uang receh yang terselip entah di mana. Cukup dari uang kembalian selepas makan. Sebagian atau bahkan seluruhnya langsung masuk ke kalengnya. Sungguh suatu kemujuran.

Ya, pasti begitu. Jadi, besok tepat jam makan siang saja, di depan warung-warung makan di kawasan perkantoran. Ia membayangkan orang-orang berbusana rapi itu datang dan pergi, di antaranya selalu ada uang receh berjatuhan ke kalengnya.

Sedikit-sedikit akan dipindahkannya ke saku celana, khawatir salah satu di antara mereka akan berkata, “Itu uangnya sudah banyak, masa masih minta-minta?” tak peduli berapa uang yang dibutuhkannya untuk berjumpa dengan maknya.

Apalagi, maknya sedang sakit keras. Tentu ia tak ingin kembali hanya dengan membawa badan.

Ah, maknya. Ia bisa membayangkan setiap garis di wajah perempuan senja itu. Terakhir berjumpa, dan itu lebih dari dua tahun lalu, sepasang matanya masih terbuka lebar. Bahkan maknya mengantarkannya sampai ke pintu saat hendak kembali ke tanah rantau. Namun jika mengikuti kabar rutin dari kakak perempuannya, maknya telah cukup lama tampak seperti orang tidur saja. Matanya terpejam. Hanya saja, ia tak juga terbangun. Maknya jelas masih mengandung kehidupan. Tetapi seperti ...

Ah, ia tak ingin membiarkan pikirannya sampai ke sana. Ia menariknya kembali dan mengarahkannya pada ingatan lama saat ia dan kakak-kakaknya masih belia. Tentu, saat itu maknya juga masih sehat sekali. Ia dan kakak-kakaknya sering disuruh mengumpulkan buah pala yang jatuh. Hanya yang jatuh karena yang masih di pohon bukan milik mereka. Begitu pula buah dan daun kelapa, buah randu, buah dan daun aren, apa pun.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Di balik meja, ia memejamkan mata dan bayang-bayang masa kecil itu menjadi kian jelas. Ia ingat maknya pernah memarahinya habis-habisan gara-gara ia menggulingkan periuk ke lantai dapur. Nasinya tumpah semua. Padahal lantai rumah mereka seluruhnya masih tanah.

Ia ingat betul kata-kata maknya waktu itu, “Kau tahu kau baru saja membuat seisi rumah kelaparan? Lain kali begini lagi, tak ada nasi dan lauk untukmu selama seminggu! Biar kau tahu rasanya menguyah daun dan batu!”

Maknya memang keras. Tetapi siapa tak jadi keras kalau hidupnya pun tak pernah mudah? Meski begitu, maknya adalah satu-satunya orang yang tak pernah menyebut puisi dan ceritanya sebagai omong kosong.

Bahkan kalau sudah cukup lama ia tak membacakan puisi atau cerita buatannya sendiri, maknya pasti bertanya, “Sudah lupa kau, cara membuat sesuatu dari yang tak ada? Ceritakanlah isi kepalamu. Barangkali ceritamu bisa membuat pala-pala ini lebih cepat kering.”

Pernah dalam kepulangannya suatu waktu, ia bertanya, “Mak tak khawatir aku tak akan pernah kaya dari jalan hidup yang kupilih ini?”

Maknya membuang napas keras-keras. “Kalau kau lahir dari perut perempuan kaya, makmu pasti khawatir. Kalau tidak, apa yang patut dipusingkan? Kaya miskin bukan cuma ada caranya, tetapi juga ada masanya. Jalan mana pun yang dipilih dapat berujung pada keduanya.

Tidak perlu repot-repot memikirkan yang tak pernah seorang pun tahu dengan pasti. Kau pegang yang ingin kau pegang, selesai sudah. Tak usah dengar apa kata orang. Mereka berjalan, kau juga. Sudah sewajarnya setiap orang berhenti di tujuan masing-masing. Buat apa pula beramai-ramai dengan orang-orang yang tak kau kenal sekadar untuk mengikuti yang menurut mereka benar padahal belum tentu?”

Ingatannya baru hendak melompat ke bagian lain dari masa lalunya saat petir tiba-tiba menggelegar disusul suara berderak keras seakan-akan petir itu telah menyambar dan menumbangkan pohon yang teramat besar. Ia sontak melompat dari kursinya dan menabrak meja dengan sangat keras.

Pena di atas buku tulisnya seketika menggelinding. Ia hanya bermaksud menangkap pena itu sebelum terjatuh. Namun tangannya malah mengenai cangkir kopinya dan saat itu juga terdengar bunyi pecah yang terasa begitu tajam di telinganya. Ia bahkan sampai langsung menutup kedua telinganya dengan telapak tangan, seolah-olah bunyi pecah itu telah melukai gendang telinganya. Saat ia membukanya kembali, telinganya berdenging nyaring.

Hujan masih turun. Di lantai, cangkir kopinya telah berubah menjadi kepingan. Ia menyambar telepon genggamnya. Tak ada pesan masuk, tak ada panggilan tak terjawab. Namun ia tahu, masalah berikutnya dan yang paling buruk benar-benar telah terjadi.

***

Ini bukan hari yang baik untuk menulis cerita. Semalam terlalu banyak kesedihan menghantam dadanya. Puncaknya saat pesan singkatnya pada kakak perempuannya yang berbunyi, ‘Mak bagaimana?’ akhirnya terbalas juga dua jam kemudian.

Dan balasan itu sesingkat, ‘Makmu telah terlalu lelah menunggu.

Di luar, orang-orang tengah memotong-motong pohon yang tersambar petir agar mudah dipindahkan. Dipandanginya kaleng di tepi meja yang sedianya akan digunakannya pada jam makan siang nanti. Kaleng itu tak berguna lagi sekarang. Atau akan berguna juga, hanya saja dengan kegunaan yang berbeda.

Mungkin, maknya hanya benar-benar tak sudi dengan gagasan dirinya mengemis meski hanya sehari dua hari demi menjumpainya. Mungkin, saking tak sukanya pada gagasan itu, maknya sampai terbirit-birit malam itu juga.

Ia membuang napas kuat-kuat. Akhirnya ceritanya selesai juga dan ditaruhnya penanya di kaleng itu. Paling tidak, dengan begini pena itu tak lagi menggelinding lalu memecahkan cangkir kopi. Ia bangkit dari kursinya, tahu ceritanya tak cukup bagus hari ini. Akan tetapi, siapa pula yang mengharuskan seorang penulis menghasilkan cerita atau puisi terbaik setiap harinya? Macam orang yang tak pernah bersedih saja.

Pun tak ada pabrik kata-kata di dunia ini. Yang ada hanyalah sekumpulan orang yang terus mencari keberuntungan.***

Baca Juga: [CERPEN] Dia yang Melawan Dirinya Sendiri

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya