[CERPEN] Dayu, Cinta Tiada Akhir 1

Ibumu hanyalah pengembara yang tersesat

Ibumu sedang menangis di balik pintu saat aku hendak mengetuknya. Suara tangisnya amat menyayat hati dan menjadi berlarat-larat oleh langkahku yang menggemeresakkan guguran daun kering di halaman. Ia tahu aku datang.

Kelak saat kau telah dewasa, kau boleh mencelaku, Nak. Namun yang harus kau ingat, betapa pun aku terdengar seperti seorang pecundang, aku hanya tidak ingin membuat air matanya kian menganak sungai.

Tangis sepedih itu tidak pernah lahir dari kebahagiaan, Nak. Dan bila ada yang paling tidak kuinginkan di dunia ini, itu adalah menjadi sebilah pisau yang tak henti-hentinya mengiris perasaan ibumu. Meski tentu saja, itu telanjur terjadi. Aku hanya bisa mencoba menghentikannya walau yang telah berdarah mungkin akan tetap bernanah.

Tanganku yang telah di udara sontak kuturunkan kembali. Aku bahkan mengentakkan kakiku di atas guguran daun kering di halaman supaya ia benar-benar mengerti aku dalam perjalanan pergi. Pergi dan berjanji tak akan kembali kecuali ia memanggil-manggil.

Nak, suatu hari kau akan mendengar dan membaca banyak kisah percintaan, terutama cinta yang bertepuk sebelah tangan. Banyak sekali sampai kau muak. Mereka bilang, tak ada yang lebih menyakitkan daripada kau mencintainya tetapi dia tidak mencintaimu.

Omong kosong! Ada yang lebih pedih dari itu, yaitu mencintai orang yang selalu mencintai orang lain. Orang lain yang bahkan telah jelas-jelas mencampakkannya. Orang lain yang kau berani bersumpah atas nama keagungan bumi dan langit bahwa cintamu sejuta kali lebih baik daripada sekelumit cintanya yang berujung pengkhianatan lagi dan lagi.

Ibumu mungkin tolol. Mungkin juga aku yang dungu. Atau kami hanyalah sepasang orang bodoh yang diperbudak cinta buta. Dan perasaan, tak pernah membutuhkan pembelaan.

Pada suatu hari yang tak bertanda, aku melihat ibumu terkatung-katung di pinggir jalan seperti bunga jelang layu yang harus segera disingkirkan dari karangan. Kala itu, ibumu tidak menangis. Ibumu bahkan tertawa-tawa. Tawa tanpa sebab yang pasti dan menakut-nakuti bocah-bocah.

Di balik tebalnya debu yang melapisi wajahnya, aku bisa melihat parasnya yang ayu. Matanya jernih dan tetap bercahaya meski kerasnya kehidupan terus berusaha memadamkannya. Jika ia tidak sekacau itu, tentu ia akan tampak jauh lebih muda. Meski semestinya, di usia yang semuda itu, perutnya tak keburu menanggung beban dunia.

Maaf jika kata-kata yang kupilih melukaimu, Nak. Sering kali hidup memang tak lebih dari mencakar wajah satu sama lain meski kalian bilang saling sayang. Sebab, yang kusebut sebagai beban dunia itu tak lain ialah kau.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku menyaksikanmu tumbuh dalam perutnya seperti sajak panjang yang tak kunjung menemukan akhir. Perut ibumu dari sebesar ini menjadi sebesar itu. Hingga pada hari ketika perutnya benar-benar nyaris meledak dan ia tak lagi dapat menakuti-nakuti para bocah, aku memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.

Akal sehat ibumu boleh menguap sampai habis dijerang matahari. Kecantikannya juga boleh dihapuskan titik-titik hujan layaknya sepiring makanan yang tandas. Namun ibumu tetap harus melahirkan sebentuk kehidupan yang telah dirawatnya baik-baik dalam bulan yang banyak di tempat yang layak.

Ya, ibumu yang kukenal tak pernah sewaras seharusnya. Maaf jika dengan mengatakan itu, aku kembali melukaimu. Akan tetapi kau masih layak berbangga. Sebab jika ibumu tak cukup gila, ia mungkin telah mengambil jalan yang paling gelap untuk meniadakanmu.

Ibumu hanyalah pengembara yang tersesat. Dan takdir tersesatnya justru membuatmu terus tumbuh seperti tunas-tunas dalam hutan. Tumbuh begitu saja tanpa siraman tangan-tangan yang mungkin justru hanya akan membusukkan akarnya dan membuatnya mati lebih cepat.

Oleh karena itu, aku memberimu nama Tangguh Setiadi. Tangguh karena demikianlah kau dan ibumu di mataku di antara riuhnya jalanan. Sedang Setiadi hanyalah padu padanku untuk kesetiaan yang abadi meski kesetiaan yang abadi adalah luka.

Ibumu mendapatkan perawatan yang terbaik. Demikian pula dirimu. Sampai di sini, kau tak akan lagi membenci pilihan kataku, Nak. Sebab kurasa, sosokmu yang mungil dan jauh lebih nyata ketimbang saat masih berada dalam perutnya adalah obat yang paling mujarab untuknya.

Tidak. Aku tidak sedang mengingkari kata-kataku sendiri tentang ibumu yang tak pernah sewaras seharusnya. Namun paling tidak, ia berhenti merindukan liarnya jalanan. Ia tak lagi tertawa-tawa tanpa sebab apalagi menakuti-nakuti bocah-bocah. Ia bahkan menunjukkanmu ke semua orang yang ada di sekitarnya dengan wajah berseri-seri, membuatnya tampak bak bidadari tak bersayap yang sibuk dengan bayi. Sekali ini saja, aku ingin mencemburuimu.

Kau yang begitu saja mendapatkan seluruh perhatiannya. Kau yang begitu mudah membuatnya bahagia jika memang itulah yang disebut bahagia. Sementara aku harus selalu mendekatinya dengan mengendap-endap, terlalu takut suara yang kubuat membuatnya kembali merasa buruk.

Bersambung...

Baca Juga: [CERPEN] Mantra-mantra dan Sepasang Sayap untuk Helena

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya