[CERPEN] Dayu, Cinta Tiada Akhir 2

Aku hanya lelaki yang selalu berdiri di luar gelanggang

Tiga tahun, Nak, waktu yang kubutuhkan untuk memberanikan diri. Saat kau sedang lucu-lucunya, aku mengajaknya memulai kembali segalanya dari awal. Ia tidak menggeleng, juga tidak mengangguk. Ia hanya terus tersenyum padamu seolah-olah aku adalah ketiadaan. Namun aku seketika mengartikan diamnya sebagai, apa salahnya dicoba? Aku tak melihat sedikit pun raut ketidaksetujuan.

Begitulah penyatuan kami dimulai, seharusnya. Sayangnya, sampai kau makin besar dan mampu menendang bola hingga melebihi kepalaku, kami justru seperti dua batang pohon yang tak pernah dapat mempertemukan pucuk-pucuk ranting kami sekalipun kami berdiri bersisian.

Kupikir, begitu juga tidak apa-apa. Bukan sesuatu yang terlalu buruk untuk kehidupan perkawinan. Toh, kami masih berdiri di tempat masing-masing, yang satu tak meninggalkan yang lain. Maka jika kau pernah bertanya mengapa kau tak memiliki adik, atau justru tak pernah cukup peduli soal itu, itulah jawabannya.

Seperti itulah cara kami melewatkan tahun demi tahun setelah aku mengerti bahwa sedikit saja sentuhan selain rangkulan dan kecupan ringan di kening ibumu telah membuat kedua bola matanya berkilat, seperti pisau selepas diasah dan siap dihujamkan.

Tentu, aku sempat merasa patah karenanya. Bahkan merasa benar-benar tak berguna. Namun saban melihat keceriaan ibumu di hadapanmu dan itu menular padamu, kurasa aku bahkan seorang pahlawan walau tanpa pedang dan perisai.

Hampir membuatku teramat bangga. Kalau saja pada malam-malam kemudian, ia tak kerap menyebut sepotong nama lelaki yang asing bagiku atau kata-kata bernada manja yang timbul tenggelam di antara tidurnya. Akan tetapi, aku bahkan masih sempat menyanggah dengan, apalah arti mimpi?

Semua orang bisa bermimpi apa saja, bahkan yang terjauh dari kehidupan nyata. Di kehidupan nyata, toh ibumu tak ke mana-mana atau melakukan yang tidak-tidak. Ia masih sebatang pohon di sisiku yang pucuk-pucuk rantingnya tak pernah bertemu dengan pucuk-pucuk rantingku.

Sampai seperti yang kau tahu, ibumu mulai secara terang-terangan menceritakan tentang lelaki itu kepadamu. Bukan sekadar untuk memberitahukan asal-usulmu melainkan seakan-akan lelaki itu masih dan selalu ada untuk kalian. Dengan mesra, selayaknya kekaguman seseorang pada pejuangnya yang paling pemberani. Seketika aku dan perasaan kepahlawananku terlempar-lempar.

Ibumu mengajakmu berbicara tentangnya, memantik ketertarikan dan pertanyaan-pertanyaanmu tentang dirinya. Selagi aku yang ada di antara kalian hanya menjadi pendengar, seorang lelaki yang selalu berdiri di luar gelanggang. Jika aku memang seorang pecundang, itulah saat ketika aku merasa begitu terkalahkan. Nyaris tak dapat lagi menegakkan kepala.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Yang tak pernah kau tahu sehingga kau mungkin sangat ingin menyebutku pecundang, aku pernah mencoba lebih keras pada ibumu. Aku ingin ia menghentikan segala omong kosongnya tentang lelaki itu padamu, bahkan membunuh mimpi-mimpinya bila di sanalah lelaki itu bersemayam. Yang nyata hanyalah kita bertiga dan selamanya akan terus begitu.

Bagus jika kedua bola mata ibumu berkilat seperti setiap aku berusaha menyatukan pucuk-pucuk ranting kami. Bahkan masih bagus jika ibumu seketika menghardikku atau melakukan hal-hal lain yang menunjukkan kemarahannya. Namun ia hanya menangis. Menangis dengan teramat pedih, seakan-akan aku tengah berusaha mencabut bongkahan hatinya.

Bila mulanya kupikir aku tidak tahan ada nama dan kisah lelaki lain di antara kami, akhirnya aku mengerti bahwa aku lebih tak tahan lagi melihat ibumu terluka olehku. Setiap isak dan butiran air matanya membuatku merasa sangat bersalah dan menggigil sendirian. Sejak saat itu, seperti itulah caranya menyambutku setiap kali aku pulang.

Pernah aku memikirkan kemungkinan kembali membawa ibumu untuk mendapatkan perawatan yang memadai. Namun aku juga tahu, ibumu tampak terlalu sehat untuk itu. Tentu kecuali aku yang terlebih dahulu mengusiknya walau hanya dengan bayangan tubuhku di dinding-dinding rumah yang bertahun-tahun lalu kuhuni seorang diri.

Pernah juga aku berpikir untuk memisahkan kalian, membawamu ke suatu tempat yang tak memungkinkanmu mendengar lagi semua omong kosongnya tentang lelaki maya itu, agar kau belajar lebih mengenalku yang selalu ada untuk kalian.

Kurasa, itu akan baik untuk semua. Namun dengan cepat aku menyadari, kaulah satu-satunya cahaya baginya. Bila aku merenggutmu darinya dengan alasan dan cara apa pun; itu berarti aku mengirim ibumu kembali pada kegelapan, debu, dan liarnya jalanan. Maka aku memilih menyingkir.

Hingga malam itu, aku kembali mencoba mendatanginya. Mungkin kau telah terlelap. Bermandikan cahaya bulan, bayanganku memanjang dan patah di pertemuan lantai dan dinding ruang tamu. Tirainya terbuka. Aku masih menaruh harapan.

Sampai aku mendengar suara tangisnya di balik pintu. Sampai aku memutuskan pergi dan tak akan kembali kecuali ia memanggil-manggil. Kuentakkan kakiku lebih keras. Gemeresak daun-daun merobek-robek gendang telingaku, membuat kedua bola mataku buram oleh basah. Ibumu sedang menangis di balik pintu.

Baca Juga: [CERPEN] Dayu, Cinta Tiada Akhir 1

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya