[CERPEN] Merindukan Jalan Pulang

Aku hidup tetapi merasa begitu kosong, sekosong orang mati 

“Di dunia ini ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kamu beli dengan uang, kedudukan, ketenaran, apalagi cuma modal tampang.”

“Apa itu, Pak?”

Cablaka. Keberanian mengatakan yang benar, bukan sekadar yang ingin didengarkan orang-orang.”

***

Aku rindu sekali pada suara itu. Terutama saat ia mengatakan tentang cablaka. Cablaka yang dahulu menjadi roh dalam tubuhku dan adik-adikku. Cablaka yang dengan sendirinya menuntun setiap ucapan dan tingkah laku kami. Cablaka yang kini telah hilang dariku, pupus dari raga ini entah telah berapa lamanya. Aku tak dapat lagi memberi garis tepi yang tegas pada detik-detik musnahnya roh cablaka dalam diri ini.

Seingatku, aku mengawali seluruh perjalananku dengan tekad bekerja sebaik mungkin untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya di kota orang. Aku bergeser dari satu kota ke kota yang lain, tak hanya di satu pulau melainkan banyak pulau. Aku mengikuti ke mana angin hendak membawaku, seperti sejumput kapuk atau anak bulir bunga alang-alang yang berambut halus dan ringan.

Aku menaiki anak-anak tangga menuju langit dunia. Semuanya terasa mudah saja karena aku punya yang diminta langit dunia sebagai syarat utama untuk dapat naik dan terus naik. Kegigihan dan kejujuran. Ya, kegigihan dan kejujuran. Dua hal yang serupa kedua tangan, yang satu menguatkan yang lain.

Tahun demi tahun berganti dan kemudaanku berubah menjadi helai-helai uban di kepala yang tumbuh lebih cepat daripada seharusnya. Orang bilang aku terlalu banyak berpikir. Orang bilang aku kurang piknik. Orang bilang aku stres oleh pekerjaanku.

Aku bilang, sejauh ini aku puas dengan segala sesuatunya, setiap pencapaian yang berhasil kuraih dengan segenap kerja keras. Tepat pada tahun ketiga puluh enamku di muka bumi, aku telah menduduki jabatan strategis di perusahaan tempatku bekerja. Atasanku makin sedikit tetapi teramat penting sehingga tak dapat didekati sembarang orang. Sementara anak buahku kian banyak dan membuat mereka tampak makin tak berarti saja.

Kukira, bila aku benar-benar harus memberi garis tepi, di sinilah garis tepinya. Saat anak-anak tangga yang mengular di bawah sana, yang dahulu kulalui dengan susah payah, tampak mengabur lalu runtuh satu per satu. Kau tahu, apa akibat dari jajaran anak tangga di bawahku yang runtuh satu per satu hingga habis pada akhirnya?

Sesaat kau barangkali berpikir aku tak lagi membutuhkannya. Toh, aku sudah sampai di anak tangga yang jauh lebih tinggi. Yang aku butuhkan hanyalah anak-anak tangga selanjutnya yang akan akan membawaku lebih tinggi lagi, bukan anak-anak tangga di bawah sana.

Tidak. Kau salah. Musnahnya anak-anak tangga itu tak lain berarti jalan buntu bagiku saat aku benar-benar harus berlari dari tempatku berdiri saat ini. Lalu kau bertanya, mengapa aku tidak berlari ke atas saja? Bukankah selama ini aku punya yang diminta langit dunia berupa kegigihan dan kejujuran?

Tidak. Tidak sesederhana itu. Langit dunia tak lagi meminta dua perkara itu dariku. Langit dunia bahkan sungguh-sungguh tak menyukai keduanya ada dalam diriku. Langit dunia ingin aku mengikisnya sampai habis. Langit dunia justru menginginkan yang sebaliknya. Langit dunia menyukai aku yang lemah dan licin dalam dusta.

Untuk sesaat, aku merasa terombang-ambing seperti kapal mati mesin di tengah lautan mahaluas. Semua tak jernih lagi dalam pandangku. Tak tahu harus bertanya pada siapa tentang perkara-perkara segenting ini. Bagaimana bisa kegigihan dan kejujuran yang selama ini menjadi bekal utamaku untuk sampai di titik ini justru harus seketika dilucuti sampai tanpa sisa jika aku ingin bertahan apalagi naik makin tinggi, kian rapat pada langit dunia? Langit dunia yang bermuka dua. Langit dunia yang kurasa benar-benar hanya sedang mengujiku.

Aku mengorek-ngorek lubang ingatan. Menjulurkan tangan ke dalam kegelapan sejauh-jauhnya. Pengalaman yang tampaknya sesuai hanya satu. Maka aku kembali mengubah diri menjadi sejumput kapuk atau anak bulir bunga alang-alang yang berambut halus dan ringan, terbang seturut angin berembus.

Atasanku menginginkan aku begini atau begitu, aku ikuti saja. Atasanku menyuruhku melakukan ini dan itu, aku sama sekali tidak membantah. Kupikir-pikir, semua orang memang harus terus melakukan penyesuaian diri bila ingin bertambah maju. Kupikir-pikir lagi, bahkan semua makhluk tak terkecuali binatang dan tumbuh-tumbuhan juga harus demikian. Siapa yang tak sanggup menyesuaikan diri akan tersingkir lebih pagi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ah, kini aku baru mengerti. Manusia memang akan selalu menemukan pembenaran atas setiap keputusan yang diambilnya. Bahkan atas hal-hal yang keliru, hal-hal yang semula terasa menentang nurani lalu lama-lama tidak lagi. Tidak lagi menentang nurani, tidak lagi tampak keliru dan justru benar sekali.

Lalu suara dalam sambungan telepon yang amat terbatas itu kembali terngiang, runcing seperti ujung belati yang terus ditusukkan ke telinga. Melubangi otak, menurun, dan menancap di tengah dada.

“Nak, Bapak percaya kamu tidak sendirian. Bapak percaya kamu hanya orang suruhan. Yang Bapak tidak percayai darimu adalah jika kamu tidak berani membongkar bangkai siapa saja yang tersembunyi di balik semua ini.

Bapak tidak ingin kamu bebas begitu saja. Bapak justru benar-benar ingin kamu mempertanggungjawabkannya. Bahkan jika kamu pantas membusuk dalam penjara, Bapak rela dan Bapak sendiri yang akan menjemput jasadmu suatu pagi.

Kamu hanya harus berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, mengapa, dan siapa saja yang terlibat. Tentu, hanya jika kamu masih punya rasa takut pada Tuhan ...”

Ah, Tuhan. Aku kembali mengorek-ngorek lubang ingatan, menjulurkan tangan sejauh-jauhnya pada kegelapan. Tuhan terdengar akrab di telinga, tetapi serasa kawan lama yang sulit sekali untuk diingat parasnya.

Lalu gelombang itu mulai berdatangan. Diawali dengan gelombang kecil kemudian lebih besar dan makin besar saja. Menghantam dadaku dengan kekuatan penuh, merontokkan tulang-tulang rusukku dan menyeret pergi semua yang ada di baliknya. Aku hidup tetapi merasa begitu kosong, sekosong orang yang mati.

Dan butiran pertama itu menetes dalam kelengangan, teringat kembali pada detik-detik petugas tiba-tiba berdatangan. Tangan kananku tengah mengulurkan sebuah koper hitam, penuh sesak oleh tumpukan uang bernilai terbesar. Aku tersenyum lebar-lebar seolah-olah dunia telah dalam genggaman. Lalu seperti sakelar yang ditekan, duniaku yang semula terang benderang bahkan menyilaukan tiba-tiba hanya menyisakan kegelapan pekat.

Pett! Dan pertujukan pun usai. Memang benar adanya, tidak ada sandiwara yang berlangsung selamanya.

***

“Di dunia ini ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kamu beli dengan uang, kedudukan, ketenaran, apalagi cuma modal tampang.”

“Apa itu, Pak?”

Cablaka. Keberanian mengatakan yang benar, bukan sekadar yang ingin didengarkan orang-orang.”

Aku manggut-manggut di atas boncengan, mengeratkan pegangan ke perut Bapak yang awet tipis. “Ayo, Pak, lebih cepat lagi menggenjot sepedanya. Ibu bilang sore ini ada mendoan, dage, sama meniran. Nanti keburu dingin atau dihabiskan adik-adik. Bapak tahu sendiri mereka rakusnya kayak apa.”

Bapak terkekeh-kekeh sampai perut tipisnya berkedut-kedut. “Iya, iya. Sabar, Nak. Dunia tidak pernah lari meski kau kejar. Santai saja.”***

Baca Juga: [CERPEN] Percakapan: dengan Surabaya

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya