[CERPEN] Semua Orang Juga Butuh Cinta 2

Mak Ijah pasti meninggal saat tidur

Sudah tiga hari Mak Ijah tak tampak di luar rumah. Pekarangan rumahnya terlihat kotor oleh guguran daun. Biasanya, Mak Ijah menyapunya selepas subuh. Jangankan guguran daun, ayam-ayam yang selama ini jadi peliharaan kesayangan Mak Ijah karena bisa dijual hidup-hidup sekaligus bisa dimasak sendiri juga tampak tidak terurus. Kalau kambing sih, memang sudah tak ada seekor pun segera setelah kedua orang tua Mak Ijah berpulang. Mungkin Mak Ijah merasa terlalu repot untuk mencari pakan hijaunya.

Ayam-ayam itu mengoceh terus di hari pertama tak tampaknya Mak Ijah. Mungkin lapar dan biasanya tinggal menunggu makanan dari Mak Ijah. Hari kedua, ayam-ayam itu entah bagaimana sudah berhasil membuka pintu kandang dan masing-masing mencari makan sendiri. Sampai hari ketiga, ada yang masih berputar-putar di pekarangan Mak Ijah, ada juga yang sudah berjalan terlalu jauh dan tersesat di kebun-kebun orang.

Ayam-ayam Mak Ijah membuat heran orang-orang. Kalau tempo hari anjing cokelat saja nyaris dimusnahkan Mak Ijah dari muka bumi, dan itu bukan anjing pertama yang hampir menjadi korban amukan Mak Ijah, kenapa sekarang ayam-ayam itu malah dibiarkan berkeliaran?

Tak akan terlalu aneh kalau Mak Ijah masih tampak memberi mereka makan lalu membiarkan pintu kandang terbuka supaya mereka bisa jalan-jalan sebentar selayaknya makhluk yang punya kaki. Namun jika bayangan Mak Ijah saja tak tampak, apa yang sebenarnya terjadi?

Di warung-warung, di jalan-jalan, di teras-teras rumah, di pos ronda, orang-orang sibuk membicarakan lenyapnya Mak Ijah dari pandangan mata mereka. Sampai akhirnya, entah siapa yang memulai, semua jadi khawatir jangan-jangan sesuatu yang amat buruk telah terjadi pada Mak Ijah.

“Orang segalak itu tentu gampang meninggal tiba-tiba.”

“Ini saja sudah keajaiban, masih bertahan ketika yang seumurnya sudah banyak yang tumbang. Padahal, dia selalu hidup sendiri. Rasa sepi seharusnya membuat orang cepat mati.”

“Jadi, sudah bisa dipastikan dugaan kita memang benar.”

“Ya, Mak Ijah pasti meninggal saat tidur.”

“Kita akan menemukannya masih berselimut di atas dipan.”

“Atau terpeleset saat mandi. Orang tua kan, sering begitu.”

“Atau malah kena serangan jantung begitu menutup pintu, selepas mengejar anjing cokelat waktu itu.”

“Wah, kalau benar begitu, kita harus siap kaget kalau nanti tubuhnya yang membusuk tahu-tahu ambruk ke kaki kita begitu pintu kita buka.”

“Kalau begitu kamu saja yang membuka pintunya.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Iya, kamu saja. Kayaknya kamu yang paling siap.”

“...”

***

Mak Ijah dan kemungkinan terburuk yang menimpanya terus dibahas. Namun sampai pagi hari kelima tak kelihatannya Mak Ijah, tak ada juga yang jadi membuka paksa pintu rumahnya. Jangankan membuka paksa pintu rumahnya, berjalan di pekarangannya saja tak ada yang berani. Makin lama Mak Ijah tak terlihat, makin mereka khawatir akan mencium bau mayat begitu menginjak pekarangan rumah Mak Ijah.

Sampai akhirnya, cuma sisa-sisa rasa kemanusiaanlah yang mendorong seorang pemuda bertubuh paling kekar untuk berjalan ke rumah Mak Ijah. Meski sebenarnya, kalau bukan karena pelototan calon mertua yang sedang berusaha dia rebut hatinya dan lirikan terus-menerus gadis pujaannya, tentu pemuda sekekar itu pun lebih suka tak berurusan dengan mayat.

Apalagi mayat Mak Ijah. Hidup saja seram, apalagi kalau sudah mati berhari-hari di dalam rumahnya sendiri. Mau tergeletak di sekitar sumur, bersandar di balik pintu, atau terbaring di dipan tetap saja sama mengerikannya. Memang otot tak ada urusannya dengan nyali.

Maka setelah menelan ludah berkali-kali sampai lidahnya serasa ikut tertelan, pemuda itu memberanikan diri mengetuk pintu rumah Mak Ijah. Di tepi pekarangan, orang-orang yang penasaran berderet-deret ikut menyaksikan. Pemuda itu menelan ludah lagi. Calon mertuanya bahkan ada di deretan paling depan. Pemuda itu kembali mengetuk pintu.

Suaranya menyerupai suara anak kucing saat ia meneriakkan ini, “Maakkk...! Mak Ijaahhh...! Mak Ijah di rumah? Maakkk...! Ini Samsul, Maakkk...! Mak Ijaahhh...! Boleh aku masuk, Maakkk...?”

Tetap tak ada jawaban, pemuda itu jadi makin bimbang. Terasa di leher dan dadanya ada yang mengalir. Udara terasa panas tetapi telapak tangan dan kakinya kok dingin. Pemuda itu menengok ke belakang, berusaha mengabarkan tak adanya jawaban dan sebaiknya ia kembali saja. Atau kalau rencana ini akan dilanjutkan, ya bersama-sama.

Supaya ada saksi. Supaya kalau perlu menjerit tak cuma satu suara yang terdengar. Namun yang bereaksi atas kode yang dikirimkannya cuma calon mertuanya. Lelaki itu berkacak pinggang, makin memelototinya, dan menggerakkan kepala sebagai tanda ia harus melanjutkannya sendirian. Kali ini, pemuda itu bahkan sudah lupa cara menelan ludah. Otot-otot kerongkongannya berubah menjadi kayu.

Dengan lutut gemetar, pemuda itu mendorong pelan pintu di hadapannya. Dia berharap setengah mampus pintu itu terpalang dari dalam, seharusnya memang begitu, sehingga dia punya alasan untuk memanggil teman guna mendobraknya. Malangnya, didorong sepelan itu pun, kedua daun pintunya langsung terbanting ke belakang seperti diterbangkan setan.

 

bersambung ...

Baca Juga: [CERPEN] Semua Orang Juga Butuh Cinta 1

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya