[CERPEN] Semua Orang Juga Butuh Cinta 3

Hati Mak Ijah sontak terbelah-belah

Pemuda kekar itu nyaris memekik dan jantungnya hampir menggelinding ke tumit saat wajah Mak Ijah menjadi yang pertama menyambutnya. Duduk tegak di kursi rotan panjang ruang tamu, seperti mati karena hanya melihat lurus padanya tanpa berkedip; tetapi juga seperti tidak mati karena kalau mati seharusnya sudah terguling ke kanan, kiri, atau malah ambruk ke meja di depannya.

Secara akal sehat, pemuda itu seketika tahu jawabannya. Namun celana komprangnya telanjur terasa hangat. Ada gemercik yang tidak bisa diredamnya meski ia sudah menguatkan seluruh otot bawahnya. Makin ditahan malah makin nyaring saja bunyinya.

Keringat di dahi dan lehernya mengalir makin deras. Kali ini bukan lagi seperti suara anak kucing melainkan tikus yang mencicit, “Mak Ijah ... Mak Ijah ... baik-baik saja? Warga khawatir... Mak Ijah kenapa-kenapa.”

Sepasang mata cekung yang menguning itu tak juga berkedip. Duh, jangan-jangan mati sungguhan!

“Kamu lebih suka aku baik-baik saja atau kenapa-kenapa? Jadi, apa yang kamu lihat sekarang?”

Perempuan di kursi rotan itu tiba-tiba berdiri, membungkuk sedikit seperti hendak mengambil sesuatu dari bawah meja. Nyali pemuda itu benar-benar sudah terkuras habis bahkan mungkin sudah minus. Tak peduli bola mata calon mertuanya nyaris copot memperhatikan punggungnya di ambang pintu rumah Mak Ijah yang terbuka lebar tetapi tak memperlihatkan apa pun selain kegelapan, pemuda itu sontak membalik badan dan berlari lintang pukang.

“Demi Tuhan, aku tidak melihat apa-apa, Maakkk...!”

Pemuda itu bisa membayangkan dengan sangat jelas palang pintu yang seharusnya memecahkan tengkorak anjing cokelat beberapa hari lalu malah memecahkan batok kepalanya. Rasanya pasti sakit sekali dan suaranya saat beradu dengan batok kepalanya akan membuatnya seketika tuli. Juga buta. Ya, juga buta.

Bukankah tadi palang pintunya tidak berada di tempat yang seharusnya? Pasti Mak Ijah telah menyiapkan semuanya. Pemuda itu menerjang orang-orang di tepi pekarangan, membuat semuanya seketika ikut berlari seperti sekumpulan terwelu dikejar pemangsa.

Sementara itu, mendengar suara gedebak-gedebuk langkah kaki, Mak Ijah cuma bisa membuang napas keras-keras. Di sebelah tangannya cuma ada nampan. Kalau-kalau Salman, Saleh, atau siapa pun itu mau duduk dan minum teh. Namun ternyata pemuda itu sama saja dengan yang lain, terbirit-birit olehnya dan malah makin mempertajam ingatannya tentang seseorang yang membuatnya serasa lumpuh akhir-akhir ini.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

***

Itu adalah hari ketika tiba-tiba santer tersiar kabar anak majikannya akan segera menikah. Pemuda beberapa tahun di atas Mak Ijah. Pemuda yang tak lama setelah Mak Ijah menginjakkan kaki di rumah kedua orang tuanya tak henti-henti merayunya dengan kalimat-kalimat yang mengandung bulan, bintang, dan matahari. Seolah-olah Mak Ijah buku ilmu alam yang terbuka di hadapannya. Pemuda yang tak segan-segan mencolek Mak Ijah di sana dan di sini saban tak ada orang di rumah selain mereka.

Pemuda yang saat Mak Ijah berkata dengan suara bergetar dan kedua mata penuh kabut, “Biadab kamu! Jadi apa yang sebenarnya selama ini kamu inginkan dariku? Hanya mempermainkanku? Apa kamu tidak melihat apa yang telanjur ada di kedua bola mataku? Kalau saja kamu tidak pernah menyanjungku dengan bulan, bintang, dan matahari!”

Dengan tenang hanya menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa di kedua bola matamu. Sudahlah, lagi pula kamu cuma pembantu. Orang kampung. Mana pantas berharap yang tidak-tidak? Jangan buat malu aku dan keluargaku atau aku akan ganti membuat kamu dan keluargamu jauh lebih malu. Masih bagus dapat pekerjaan di sini. Yang lebih cakap darimu tak kurang-kurang.”

Hati Mak Ijah sontak terbelah-belah. Sejak itulah, ia kehabisan cerita tentang meriahnya kota. Baginya, kota tak ubahnya makam yang paling sunyi. Jika ia kembali lagi dan lagi ke sana sampai kedua orang tuanya tiada, itu hanyalah karena ia tidak ingin menyiksa keduanya dengan kesedihannya.

Antara duka dan lega, ketika akhirnya bapaknya menjadi yang pertama tiada, disusul ibunya tak lama kemudian. Mak Ijah jadi punya alasan terbaik untuk tak lagi menginjakkan kaki di kota apa pun yang terjadi, tanpa perlu melukai kedua orang tuanya tersayang dengan wajahnya yang tak lagi bisa terbebas dari mendung. Juga kemarahannya, yang lebih mudah tersulut daripada sumbu tercelup minyak tanah.

Mak Ijah kembali membuang napas keras-keras. Diletakkannya nampannya begitu saja di meja. Lalu berjalan dengan langkah setengah diseret ke balik salah satu daun pintu. Kedua kakinya terasa berat sekali akhir-akhir ini, mungkin karma terlalu sering mengejar anjing dengan palang di tangan. Diraihnya palang yang tersandar lalu ditutupnya kedua daun pintu.

Kali ini, Mak Ijah benar-benar memasang palang itu di tempat yang seharusnya. Mungkin untuk selama-lamanya.***

Baca Juga: [CERPEN] Semua Orang Juga Butuh Cinta 1

Baca Juga: [CERPEN] Semua Orang Juga Butuh Cinta 2

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya