[CERPEN] Senja Datang Terlalu Cepat 

Aku hanya ingin melihat wajahmu sekali lagi

Ini bukan tempat terbaik untuk menua. Namun kau selalu bilang, kita tidak boleh merepotkan anak-anak.

“Mereka punya banyak kesibukan dan tanggungan. Dahulu kita muda juga seperti itu,” ujarmu waktu itu.

“Seingatku kita tidak pernah menjadikan mereka beban.”

“Karena kita orang tua mereka. Memang sudah seharusnya begitu. Keterlaluan jika sebaliknya.”

Aku tidak menyanggah lagi. Kau benar juga. Setidaknya mereka begini karena tidak ingin menelantarkan anak-anak mereka, cucu-cucu kita juga.

Meski jauh di dalam hati aku tergelitik oleh pertanyaan, apakah tidak menelantarkan yang satu harus berarti menelantarkan yang lain? Tidak bisakah dua-duanya sama-sama dijaga? Aku menutup mulutku rapat-rapat, tak ingin membuat tensimu melonjak kembali.

Menjadi tua memang memayahkan. Sedikit-sedikit bertaruh nyawa, seolah-olah malaikat maut senang sekali menakut-nakuti kita.

Kalau boleh memilih, aku ingin menjadi yang terlebih dahulu mati. Kau lebih tabah daripada aku. Kau tenang. Kau tidak pernah menggugat apa pun.

Kau bisa hidup tanpaku tetapi tanpamu, aku hanya akan menjadi kakek-kakek yang sering uring-uringan dan dibenci semua orang. Kau lembut seperti boneka kain. Kau selalu dicintai semua orang tak terkecuali perawat kita yang muda-muda.

Kau akan baik-baik saja tanpaku. Bahkan mungkin bisa sedikit menarik napas lega setelah aku mengganggumu dengan segala kerewelanku berpuluh-puluh tahun lamanya.

Atau kita mati bersama-sama saja? Bergandengan tangan di ranjang kita dan ditemukan perawat pada suatu pagi. Itu terdengar romantis sekali, kan?

Namun jika kita mati bersama-sama, siapa yang akan menangisi kita? Bukankah mati tanpa ditangisi seorang pun setelah kita hidup begitu lama terdengar amat tragis?

Perawat akan memindahkan tubuh kita. Lalu petugas kebersihan cepat-cepat membereskan seisi ruangan, membuat seolah-olah kita tidak pernah ada di sana, dan taraaa... kamar itu siap dihuni suami istri pendatang baru.

Kalau seperti itu yang terjadi, lantas untuk apa kita hidup berlama-lama, bergulat dengan kerasnya kehidupan, menangis dan tertawa berganti-ganti atas setiap kesulitan hidup yang datang dan coba kita taklukkan?

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tidak. Kita mati bergantian saja, persis seperti kubilang. Aku terlebih dahulu, baru kau menyusul kapan-kapan.

Jangan lama-lama, nanti aku rindu. Jangan juga terlalu cepat, nanti ada petugas yang jengkel merasa dipermainkan, kenapa kita tak menjadi satu paket kematian saja biar sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Sayangnya, pagi ini juga petimu ditutup rapat-rapat. Aku sudah menungguimu semalaman dan berharap kau hanya bercanda tetapi ternyata kau bisa berubah menjadi sosok yang serius sekali.

Perawat-perawat menyuruhku beristirahat di kamar, tetapi tentu saja aku tak bisa. Kecuali mereka mau membawakan petimu ke sebelah ranjang sehingga aku bisa terlelap. Kalau tidak begitu, nanti siapa yang menemanimu?

Anak-anak muda itu baik. Namun, jika aku menyingkir sebentar saja dan meminta mereka menggantikanku menemanimu, mereka pasti hanya akan sibuk bermain ponsel. Bukan memperhatikan setiap kerut di wajahmu yang membuatmu makin ayu.

Dari seminggu yang lalu aku sudah berusaha menghubungi anak-anakmu. Sakitmu makin parah dan kau bahkan tak bisa lagi menyahutiku dengan anggukan atau gelengan setelah aku berbusa-busa bercerita. Akan tetapi tak satu pun panggilanku mendapatkan jawaban.

Lalu aku berkirim surat, kalau-kalau mereka semua sudah berhenti menggunakan ponsel dan kembali seperti cara kita dahulu menuangkan rindu. Namun sampai hari ini, tak satu pun balasan kudapat.

Aku takut sekali mengecewakanmu. Meski kau yang selalu meyakinkanku bahwa mereka sibuk dan punya banyak hal untuk dipikirkan, aku tahu kau pasti juga rindu. Setelah minggu-minggu penuh rasa sakit, kau tentu hanya ingin melihat mereka ada di dekatmu di detik-detik penghabisan.

Mereka yang satu per satu meledakkan rahimmu bertahun-tahun lalu. Mereka yang menguras air susumu sampai kering kerontang. Namun sekarang, saat rahim yang sama memanggil-manggil pulang, suaramu seperti sirna ditelan angin malam. Aku kecewa. Amat kecewa. Bagaimana denganmu?

“Kek, petinya siap diberangkatkan.”

Perawat lelaki menepuk bahuku dan membuatku tersentak. “Oh ... eh, sebentar. Tidakkah menurut kalian kita bisa memasukkan setangkai anggrek ini? Kalian tahu dia suka sekali anggrek dan anggreknya mekar pagi ini. Kita bisa letakkan di sampingnya atau ...”

“Maaf, Kek, tetapi petinya sudah dikunci,” ujar perawat lain, gadis yang akhir-akhir ini setia menyuapimu. Jika tanganku tak terus-menerus bergetar, aku pasti yang akan melakukannya untukmu.

“Oh, baiklah. Kalau begitu biar kupegang saja. Nanti bisa kuletakkan di atas makamnya.”

Gadis yang sama menuntun lenganku. Kau tahu? Aku ingin sekali menangis. Aku hanya ingin melihat wajahmu sekali lagi. Melihat wajahmu sekali lagi dan membilang kerut yang membuatmu makin ayu.***

Baca Juga: [CERPEN] Tatapan Asing

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya