[CERPEN] Pengemis Tua

Mengapa ia berakhir begini?

Seorang pria tua dengan pakaian lusuh dan compang-camping duduk di trotoar beralaskan kardus. Anggota tubuhnya memang masih lengkap, tetapi kondisinya sudah sangat renta dengan kulit keriput di mana-mana. Di depannya, terdapat sebuah mangkuk stainless yang berisikan uang recehan. Beberapa orang yang lewat di hadapannya sering kali menampilkan senyum tulus dan memberikan uang kepadanya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Barang kali, tak pernah ada satu pun di antara orang-orang lewat yang pernah berpikir bahwa sebenarnya pengemis itu dulunya orang berada. Tidak, ia tidak bangkrut dan jatuh miskin lalu menjadi pengemis. Lebih tepatnya, ia dibuang oleh anaknya sendiri. 

Istrinya sudah lama meninggal sejak melahirkan anak kedua mereka. Bertahun-tahun ia berjuang sendiri membesarkan kedua anak lelakinya. Selalu, ia berusaha menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam mendidik anaknya dengan mencontohkan untuk membagi rezeki bagi pengemis-pengemis di jalanan. Setelahnya, ia akan berkata, “Kita harus bersyukur masih bisa makan dengan enak. Lihatlah pengemis-pengemis itu, mereka belum tentu bisa makan setiap hari.”

Entahlah. Dengan segala macam kebaikan yang telah ia tanam semasa muda, mengapa ia bisa berakhir sebagai orang tua yang ditelantarkan oleh anak? Itu mungkin satu-satunya pertanyaan yang belum pernah ia temukan jawabannya.

Beberapa hari terakhir hujan deras, emperan toko tempat ia biasa tidur menjadi basah. Ia lalu berpindah ke emperan toko lain yang lebih tinggi dengan kanopi yang lebih luas sehingga air tidak dapat membasahinya. Pagi harinya, seorang lelaki dewasa yang ia perkirakan berusia di bawah 35 tahun datang bersama anak lelaki dengan seragam putih merah. Lelaki itu berjalan menggandeng anaknya ke arah rolling door toko dan mengeluarkan kunci. Lelaki itu juga mengeluarkan uang sepuluh ribu dari kantung celananya.

Sadar diri, pengemis tua itu segera menyingkir setelah berterima kasih. Sayup-sayup dari kejauhan ia mendengar, “Nak, kita harus bersyukur punya rumah, jadi tidak perlu tidur di emperan toko seperti pengemis itu tadi.”

Pengemis tua itu hanya tersenyum sekilas, mungkin lebih tepat jika disebut sebagai senyum miris. ‘Jadi, begini rasanya ketika kekurangan kita dijadikan tempat bersyukur oleh orang lain,’ pikirnya. Suatu hal yang akhirnya terpikirkan dalam benaknya. Boleh jadi, ia berakhir begini karena sumpah serapah dari pengemis-pengemis yang pernah ia beri recehan.

Baca Juga: [CERPEN] Kisah si Kecil di Musim Salju (Bagian 1)

Meriana Mzr Photo Verified Writer Meriana Mzr

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya