[CERPEN] Kata-Kata dalam Kabin Bianglala

Rahasia yang mematikan

“Aku pikir ini adalah tempat paling tepat untuk membicarakan sesuatu yang rahasia. Recommended pula sebagai bak sampah untuk mengumpat,” ucapku saat bianglala mulai berputar.

“Apa tidak terdengar penyewa kabin sebelah kalau kita mengumpat?” Tanya lelaki di hadapanku dengan tekuk muka heran.

“Coba saja lakukan sekarang, niscaya kamu akan segera menemukan jawabannya,” jawabku seraya menantang.

“Mengumpat karena aku suka kamu?” Suara itu terdengar jujur meski hambar.

“Ehem!” kemudian kami ber-dehem bersama-sama sembari menelan ludah tanpa aba-aba.

Bianglala terus berputar pelan dan memanjakan mata dengan persembahan malam yang berbeda ketika menyaksikannya dari ketinggian. Kami hanya saling menoleh pada sekeliling, menikmati pemandangan yang ada.

Pikiranku menerawang jauh saat diam menguasai suasana. Adegan naik bianglala ini bukan sekadar keisengan belaka. Aku sudah merencanakan sejak lama untuk mengajak lelaki yang dua tahun terakhir ini sering menjemputku ke kantor sepulang kerja. Dia mengajakku mengobrol banyak hal, berbagi pengalaman, dan ada saatnyambertengkar tanpa alasan.

Tidak jarang pula dia mengajakku ke beberapa tempat yang menjual es krim. Karena dia tahu aku suka sekali es krim, bahkan di musim hujan sekalipun. Ya, anggap saja ini suatu bentuk ucapan terima kasih dariku.

Sebentar aku tersadar lagi. Alam tampak seperti dalam diskotik dari ketinggian. Nampak pula cahaya bergerak, berjalan pelan, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Cahaya yang bergerak itu adalah kendaraan bermotor yang sedang melaju di malam hari; begitu kata seorang sahabat yang mengajakku pertamakali menikmati wahana yang kekanakan ini. Indah sekali kupandang.

Kemudian tepat saat kabin kami berada di titik ujung putaran paling atas, aku menyaksikan kerlap-kerlip cahaya mengagumkan yang saling beradu.

Rasanya tidak jauh berbeda dengan peraduan hatiku dan hati lelaki dalam kabin bianglala ini. Ia menggaruk-garuk ujung bawah bagian belakang kepalanya. Dua menit kemudian, Ia membetulkan posisi kacamatanya yang benar sembari menghentak-hentakkan kakinya pelan.

Aku belum yakin dengan apa yang kuketahui dari gerak-geriknya. Begitu juga sebaliknya. Sedang kami sama-sama terlihat tidak saling ingin berbicara. Meski sejatinya diam merupakan sebuah transaksi komunikasi, walaupun diam bisa juga menjadi jawaban dari sebuah pertanyaan, tetap saja aku ingin mendengar secara verbal isyarat-isyarat ini.

Sementara, aku hanya bisa berasumsi, hati selalu lebih cepat dari kata-kata.

Semenjak usia 19 tahun, aku mulai ketagihan naik bianglala. Berada dalam kabinnya yang berputar lamban bisa meredamkan hati yang berisik dan menemukan jalan pintas saat pikiran sedang buntu. Setiap ada kesempatan dan waktu luang, aku selalu menaikinya lagi dan lagi. Hingga tibalah masanya aku mengajak lelaki ini berada dalam satu kabin. Lelaki yang memiliki tahi lalat di dagunya dan lesung pipi yang eksotis.

Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana keeksotisannya itu. Bagiku, pria berlesung pipi selalu menggoda dan tampak menggemaskan. Sebagaimana teman-temanku mempersepsikan brewok dan bulu di dada sebagai simbol keperkasaan seorang lelaki, aku menjadikan lesung pipi sebagai simbol dari laki-laki yang bersifat ramah dan menyenangkan. Jelas sekali ketika ia tersenyum. I don’t need anything else, I think. Setidaknya menurut diriku sendiri. Tidak apa-apa, bukan?

Kami masih saling diam. Menjadi sesuatu yang ganjil ketika aku dengannya hanya duduk tanpa obrolan seperti ini. Biasanya kami selalu punya topik pembicaraan saat bertemu. Ya, meskipun itu hanyalah memperdebatkan tentang bunyi tokek di daerah kami yang terdengar berbeda. Bahkan selama dua tahun ini biasanya kami sangat sempat untuk saling memaki satu sama lain dalam posisi genting.

Oh Tuhan! Aku tidak bisa memahami dengan jelas apa kesimpulan dari keganjilan ini. Lima belas menit berlalu dan sebentar lagi jatah berputar dari tiket yang kami beli usai. Namun rasanya putaran kali ini menjadi lebih lamban. Tiga kali lipat lebih lamban dari lumrahnya.

“Sebentar lagi waktunya kita turun,” suaranya memecah kebungkaman yang mencekam. Mencekamku. Entah bagaimana dengan dirinya.

“Kenapa kamu diam saja dari tadi? Sedang malas untuk berisik seperti biasanya?” Lelaki di depanku ini melanjutkan usahanya untuk mencairkan suasana.

“Kamu juga jadi kalem begini! Kamu tidak seperti lelaki paling cerewet yang pernah

kukenal.” Gerutuku kesal. Aku mencoba mengimbangi.

“Aku bingung saja bagaimana memulainya. Ini tidak semudah kebiasaanku yang bawel,”

tandasnya.

“Adakah rahasia yang harus kudengar?” Aku mulai memasang pendengaran dengan perasaan

yang was-was.

“Em…”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ya?”

“Em….Tidak lama lagi aku akan kembali berkumpul dengan keluargaku yang sudah dua tahun

lamanya di luar negeri.” Ia mengatakannya dengan ekspresi nanar di wajahnya.

“Bukankah itu adalah kabar baik? Kamu tidak akan kesepian lagi di rumah, bukan?” Aku

merasakan kegembiraan yang janggal.

“Iya, istriku akan pulang minggu depan. Maka seharusnyalah aku senang,” ucapnya kemudian dengan cepat. Suaranya terdengar sangat hati-hati saat mengucapkannya. Seperti bersiap untuk menerima makian setelah ia mengatakan semuanya.

“I-S-T-R-I?” Tanyaku ragu-ragu. Aku tercengang. Suaraku tercekat, tak bisa kuteruskan pertanyaan berikutnya yang masih di kerongkongan.

“Selama ini aku merahasiakannya. Katamu di sini adalah tempat paling tepat untuk menyatakan sesuatu yang rahasia.” Kata-katanya menguras tenagaku seketika tanpa ampun.

“Andai aku bertemu denganmu lebih dulu dari pada istriku, mungkin…,” ucapannya menggantung di ubun-ubun. Aku tidak ingin lagi mendengarkan kalimat berikutnya yang ia ucapkan. Aku tidak sudi berharap pada sesuatu yang ia andaikan. Itu terlalu berat. Meskipun senyatanya terlintas aku juga mengandaikannya.

Ah, Kupalingkan wajah dan mencoba mengontrol keterkejutanku ini. Senyap kembali bertandang layaknya posisi awal bianglala mulai berputar. Namun senyap ini bukan lagi senyap yang ganjil, lantas menjadi sebuah kegelisahan dan kegeraman secara terang-terangan.

Aku terus saja diam hingga waktu untuk kami turun dari bianglala tiba. Aku dan dia berjalan beriringan dalam jarak yang renggang. Sekilas tanpa sengaja kulihat wajahnya memerah dan pandangannya kosong. Setelah berjalan cukup jauh dari wahana bianglala tanpa obrolan dengannya, aku merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengakhiri semua ini.

“Aku mau naik bianglala satu putaran lagi,” ucapku terbata-bata dengan gemuruh di dada.

“Kalau kamu ingin pulang, pulanglah lebih dulu,” lanjutku kemudian. Aku berbicara padanya seperti tidak ada kejadian apapun beberapa waktu lalu. Aku berusaha bersikap biasa saja. Lalu tanpa mendengar tanggapannya, aku berlari menuju loket bianglala dan memesan satu tiket. Tidak butuh lama mengantri seperti sebelumnya, kini aku sudah berada dalam kabin seorang diri. Dengan perasaan yang campur aduk, dan bendungan air mata yang berusaha kutahan sejak kesaksian tadi, aku semakin merasa perlu melakukan sesuatu bersama bianglala ini.

Kupejamkan mata, menghela nafas dalam, tidak lama pertemuan demi pertemuan dengan lelaki berlesung pipi itu muncul dalam pandangan gelapku. Aku mulai mengingat kembali secara detail tentang dirinya. Rambut cepak warna kecokelatan, mata belo, alis tebal, bulu mata lentik, hidung mancung, deretan gigi yang tidak rapi dan gingsul, pipi tirus dengan lesungnya di kanan kiri, tidak lupa tahi lalat di dagunya.

Kulitnya kuning langsat, suaranya seringkali serak, gaya bicaranya cepat dan lugas layaknya penyiar radio. Tingginya 175 cm, ukuran sepatu 41, bahkan aku ingat sekali jari telunjuk kakinya lebih panjang dari jari tengah yang ia miliki.

Pertemuan pertama kami dua tahun silam tidak begitu istimewa. Biasa saja. Waktu itu ia menawariku coklat batang saat menunggu angkot di persimpangan yang sepi. Hanya ada kami berdua di sana.

Ia mengenakan hem polos warna biru, celana jeans, dan sneakers warna coklat. Entahlah aku sangat mengingatnya. Lalu kami dipertemukan lagi dua bulan kemudian di sebuah bandara yang menjadi alasan pertemuan-pertemuan berikutnya. Katanya, Ia sedang mengantar keluarganya yang akan ke luar negeri. Benar, dia bilang salah satu keluarganya tanpa penjelasan yang spesifik.

“Em….Tidak lama lagi aku akan kembali berkumpul dengan keluargaku yang sudah dua tahun lamanya di luar negeri.”

“Bukankah itu adalah kabar baik? Kamu tidak akan kesepian lagi di rumah, bukan?”

“Iya, istriku akan pulang minggu depan. Maka seharusnyalah aku senang.”

“Andai aku bertemu denganmu lebih dulu dari pada istriku, mungkin….”

Kenangan pertemuan pertama kami tiba-tiba hilang dan ingatan tentang percakapan singkat

tadi tentang rahasianya terdengar berulang-ulang.

“Aaaaargh! SIAAAALL! SIAL!! SIAL!!” Pertahananku goyah! Lontaran barusan telah membuncah dengan lantang saat kabinku berhenti di ujung atas putaran. Aku geram, khawatir disangka perebut suami orang. Apalagi pelakor baru-baru ini sedang tren dan banyak diperbincangkan. Lelaki selalu diuntungkan, perempuan tidak bisa tidak jadi korban. Hah!

“Aku pikir ini adalah tempat paling tepat untuk membicarakan sesuatu yang rahasia. Recommended pula sebagai bak sampah untuk mengumpat.”

Kalimat yang kuucapkan sendiri menggonggong keras bak anjing di telinga. Lelaki berlesung pipi yang membuatku terlanjur jatuh hati itu telah menyatakan rahasia yang mematikan. Sedang aku baru saja mengumpat dengan tepat.

Ya, kali ini aku tidak salah lagi. Hati memang selalu lebih cepat dari kata-kata.***

Miela Baisuni Photo Writer Miela Baisuni

Bukan siapa-siapa, hanya ingin berapa-apa

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya