[CERPEN] Alasan

Ia harus bertahan

Naya menguap lebar sepanjang perjalanannya menuju kelas. Berangkat sekolah pagi sekali bukanlah kebiasaannya, namun kali ini rasanya perlu. Naya terlampau muak berada di rumahnya jauh lebih lama lagi.

Naya sempat berpikir bahwa mungkin dialah orang pertama yang akan memasuki kelas. Ternyata dugaannya salah. Naya yang telah berdiri di ambang pintu kelas lumayan tercengang mendapati Revan telah lebih dulu datang serta duduk di bangku paling depan. Lelaki itu fokus memainkan gitarnya sambil menggumamkan lagu yang tak Naya ketahui. Raut wajahnya yang serius membuat Naya betah memperhatikan lebih lama, tak ingin menegur dalam waktu beberapa saat. Lagipula, petikan gitar akustik Revan sedikit menghibur Naya.

"Revan? Lo duluan datang, ya?" Naya lebih dulu menegur, sedikit bersyukur karena ada Revan. "Latihan, ya? Band lo bakal tampil di festival lagi apa gimana?"

"Cuma menghibur diri," kata Revan. Ia mengarahkan perhatiannya kepada Naya. "Sini, Nay."

Naya mengangguk, kemudian menghampiri dan duduk di samping Revan. Revan memperlihatkan senyuman manisnya, cukup untuk membuat jantung Naya berdentum tak karuan. Naya tak bisa menahan diri, ia membalas senyuman manis dari Revan itu.

"Tumben banget, Nay, lo sejam lebih awal," kata Revan, memulai pembicaraan. Revan memang terkenal supel, bahkan amat perhatian pada Naya. "Dan... lo kayaknya, nggak baik-baik aja."

Revan hati-hati dalam menyatakan pendapatnya soal Naya. Naya bungkam, ia mendadak merasakan lagi rasa nyeri menyerang dadanya. Revan juga bungkam, sambil terus memperhatikan Naya, enggan berpaling.

"Emang lagi nggak baik-baik aja," Naya memilih jujur usai lama memikirkan. Revan sosok yang bisa dipercaya, Naya sudah akrab dan banyak menjalani hari dengan lelaki itu sejak masa-masa awal sekolah. "Gue capek...."

Revan mengangguk paham, memilih tidak berkomentar dahulu. Menunggu Naya yang tampak bingung melanjutkan ungkapannya. Waktu menunggu Revan berlangsung lumayan lama, tetapi lelaki yang masih memangku gitarnya itu tidak keberatan atau melayangkan protes.

"Gue pengen ... mati," Naya kembali bersuara. Ungkapannya itu membuat jantung Revan berdentum tak karuan, takut jika Naya melakukan hal paling buruk.

"Nggak ada yang peduli, seperti biasa. Gue nggak bisa munafik bilang kalau gue baik-baik aja tanpa dukungan, Van. Nyatanya, gue capek menjalani segalanya sendirian. Mungkin bahkan masalah yang sama yang lo dengerin dari gue juga bikin lo capek. Tapi sumpah, keadaan di rumah dan masalah gue selalu sama dan bikin muak. Gue diperlakukan buruk, cuman karena gue perempuan. Disuruh berhenti sekolah aja, karena gue perempuan. Gue nggak paham alesannya, bahkan menyalahkan segalanya karena gue ... terlahir sebagai perempuan. Gue jadi, males punya tujuan. Toh, nggak ada alasan juga buat bertahan atas semua kekacauan ini."

Revan sudah beberapa kali mendengarkan keluhan semacam itu dari Naya. Namun, lelaki itu tahu cara bersikap, menyepelekan masalah Naya akan berakibat fatal. Naya butuh dukungan, bukan komentar asal yang menyepelekan masalahnya. Jadi, usai memikirkan cara membalas cukup lama, Revan memilih menepuk pundak gadis itu sebentar.

"Siapa bilang nggak ada yang peduli?" kata Revan, sukses membuat Naya mengernyit memandanginya. "Gue peduli, tuh. Lo butuh dukungan, kan, Nay?"

"Bisa dibilang, butuh banget," kata Naya.

Revan tersenyum lebar sekali, begitu tulus. Sorot matanya tampak meneduhkan, membuat Naya merasakan perasaannya mulai menghangat.

"Lo hebat banget, tau, Nay! Semangat, Nay. Lo harus punya tujuan lebih, biar bisa bikin orang-orang yang meremehkan lo bungkam!" kata Revan dengan nada bicara yang terdengar riang. Sedangkan Naya sudah tersenyum, lumayan terkejut dengan tingkah Revan yang tak biasanya ini. "Gue penyemangat nomor satu buat lo, nih!"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Ma-makasih, Van," ungkap Naya. Ia berdeham, sedikit gugup karena Revan menyemangati sebegitunya. Padahal, Revan tak pernah tampak riang begitu pada orang lain. "Jadi malu, deh."

Revan puas, lelaki itu menepuk lagi pundak Naya. "Nggak perlu malu sama orang nomor satu yang dukung lo ini."

Naya hanya terkekeh demi menyembunyikan rasa malunya. Tak menyangka bahwa ia akan sedikit terhibur hanya karena ungkapan semangat sederhana dari Revan. Menyadari ada yang peduli tanpa menyepelekan masalahnya benar-benar membuatnya merasa diperhatikan, seolah ia berharga dan layak untuk menghadapi hari yang baru lagi.

"Dan, soal alesan ..." Revan terdiam, mulai memikirkan beberapa hal. "Oh, gue tahu! Lo juga punya alesan untuk tetap menjalani hari esok."

"Apaan, tuh?" tanya Naya.

"Mending lo bikin buku harian, Nay. Alesan pertama, gue rasa, untuk menemui gue yang paling dukung lo setiap hari. Tulis itu di buku lo nanti," jelas Revan.

"Eh ...." Naya bingung mau merespons bagaimana, ide Revan tak pernah terpikirkan olehnya. "Tapi, kenapa mesti nulis alesannya?"

"Biar kalau lo ngerasa pengen pergi ninggalin dunia lagi, lo bisa buka buku harian lo. Lo baca beragam alesan yang lo tulis." Revan menjelaskan sambil menatap tepat ke arah sepasang mata Naya yang menurutnya indah namun beberapa kali tampak sendu. "Gue bakal bantuin lo bikin banyak alesan, jutaan bahkan. Sederhana banget, semacam ... alesan bahwa lo masih perlu makan menu kesukaan lo pun bisa bikin semangat. Gue bisa, lho, bantuin lo nyari buku yang paling pas."

Naya mengangguk mengerti, begitu unik dan membuatnya senang. Revan memberikan solusi terbaik alih-alih sekadar menyatakan masalahnya sepele atau menghinanya kurang dekat dengan Tuhan.

"Itu jenius, Van," kata Naya.

"Omong-omong, lo mau gue lakuin apa buat menghibur lo?" tanya Revan.

"Nyanyi, dong," kata Naya disertai cengiran lebarnya. "Gue suka suara lo."

Revan segera memusatkan fokusnya pada gitarnya, kemudian mulai memainkannya tanpa ragu. Ia telah ahli menunjukkan potensinya di hadapan banyak orang, namun baru kali ini kepada Naya sendiri. Revan sedikit gugup, namun kualitas suaranya tetap baik saat memulai. Naya mendengarkan dengan saksama, menyadari betapa indahnya suara Revan yang khas disertai petikan gitar dari lelaki itu. Berpadu dengan sempurna.

"Sekarang gue tahu alesan kedua buat jurnal gue nanti," kata Naya usai Revan selesai menyanyi. Ia tampak jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Eh, apa?"

"Dengerin lo nyanyi sambil mainin gitar, Van."

Baca Juga: [CERPEN] Tempat Ternyaman Seantero Dunia

Fina Efendi Photo Verified Writer Fina Efendi

WINNER. DAY6.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Atqo

Berita Terkini Lainnya