[CERPEN] Bukan Kekacauan yang Manis

Benar-benar kacau! 

Rania tak bisa berhenti tersenyum saat berada di kamarnya. Ia mendadak lupa akan tugasnya, lebih memilih meladeni balasan lucu dari Revan yang baru menjadi kekasihnya seminggu lalu. Sedikit kacau, perasaan Rania berdebar tanpa diminta.

Gadis remaja yang tengah berbaring sambil memandangi layar ponselnya itu tentu sudah cukup paham bahwa ia dilanda rasa jatuh cinta. Terhadap Revan, yang untungnya berbalas. Rania tidur usai Revan mengakhiri percakapan, ia juga lelah mengingat seluruh tingkah manis Revan yang enggan pergi dari benaknya.

Seperti janji, Revan menjemputnya di pagi hari. Rania rela bangun pagi demi memastikan penampilannya sempurna bagi Revan. Untung, lelaki itu benar-benar memujinya usai ia membukakan pintu dan menampilkan senyuman manisnya.

"Pagi, Van," sapa Rania.

"Kamu cantik." Revan mengerjap beberapa kali, seolah sangat terkagum akan Rania yang berdiri tepat di hadapannya. "Oh, iya, selamat pagi."

"Iya." Rania terkekeh geli, baru kali ini merasakan dadanya berdentum tak karuan hanya karena pujian singkat dari sang kekasih. "Yuk, berangkat."

Mereka berdua akhirnya menaiki motor. Revan lagi-lagi menunjukkan betapa perhatian dirinya, menyuruh Rania berhati-hati saat menaiki motornya. Perjalanan mereka diselingi candaan, yang mana membuat Rania ingin menghentikan waktu sebentar saja agar kebersamaan mereka selama perjalanan tak cepat berakhir.

Namun, tentu, Revan dan Rania perlu berpisah begitu sampai di sekolah. Walau begitu, Revan sempat mengusap kepala Rania sambil menyemangatinya sebelum benar-benar memasuki kelas masing-masing. Sederhana, tetapi Rania tahu betapa ucapan Revan berpengaruh besar bagi suasana hatinya.

Rutinitas macam itu terus berlanjut. Revan selalu berikan perhatian terbaik, sedangkan Rania jatuh pada pesona lelaki itu jauh lebih dalam lagi. Tingkah Revan selalu membuat terkejut, tak disangka, juga romantis. Entah dari mana lelaki itu belajar cara memperlakukan wanita dengan baik.

Rania merasa kacau. Baginya sendiri, kekacauan ini membuatnya jauh lebih semangat menjalani hari, mimpinya jadi jauh lebih besar lagi. Meski baginya masih terlalu dini bekerja keras mewujudkan mimpi. Toh, masih perlu banyak menyenangkan diri selagi masih remaja.

***

"Dia makin sibuk." Rania menarik napas panjang, menyadari bahwa sikap Revan mulai berubah menjadi lebih cuek. Ia tak paham, padahal harusnya hubungan mereka makin kuat usai terjalin selama berbulan-bulan. Toh, Rania tak pernah merasa salah. "Bales, kek, Van."

Rania hanya dapat bermonolog sendiri sepanjang malam. Lelaki itu baru mau diajak bertemu usai Rania memaksakan kehendak. Ia ingin tahu, tak suka diabaikan melulu oleh Revan. Terlebih, Rania selalu merasa cemas sendiri setiap kali Revan tak membalas pesannya. Rania tak dapat mengendalikan diri, lebih banyak gelisah ketimbang memikirkan tugas-tugas sekolahnya yang makin menumpuk saja.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Besoknya di sore hari, Rania mendatangi kafe yang telah disepakati. Ia rindu, ingin kembali banyak bercanda dengan Revan. Namun, Rania justru perlu menunggu bermenit-menit lamanya karena tiba lebih dulu.

"Kamu udah dateng, ya." Revan mulai menampakkan diri, langsung duduk di hadapan Rania. Ia tahu benar apa salahnya, pun apa yang ingin dibicarakan gadis itu. Situasi yang tak lagi aneh baginya. "Jadi, kenapa? Mau bahas apa?"

"Aku cuma... hei, kamu kan, harusnya suka kita berduaan gini. Kamu seolah-olah bertingkah aku butuh bahasan penting dulu kalau mau ketemu. Dulu mah, rindu juga udah jadi alesan tepat buat ketemu," kata Rania, jelas-jelas menampakkan ekspresi tak senang.

"Kamu kenapa? Bosen? Aku udah usaha banyak, lho, biar kamu gak bosen. Aku udah berusaha nanyain kamu soal segalanya, siap dengerin ceritamu. Nggak minta banyak, sebentar aja hubungin aku, pasti udah seneng. Dan, kamu bilang kamu sibuk? Van, kamu itu masih sekolah. Sibuk apa, sih?"

"Kamu kebanyakan nuntut." Revan menghela napas, seolah ia orang paling muak di sini. Rania memgernyit memandanginya. "Aku butuh banyak interaksi sama temenku, nggak melulu kamu."

"Ya kali, setiap waktu buat temenmu." Rania mendengus, memalingkan muka sejenak. "Kalau gitu, sejak awal harusnya gak perlu deketin aku. Main terus sama temenmu, sekalian pacarin aja."

"Nggak terima? Gini nih, kamu nggak paham. Ya udah, putus aja," kata Revan dengan entengnya. Tanpa beban.

Rania dapat menangkap tatapan datar dari lelaki itu. Bukan lagi mengagumi seperti dulu. Alhasil, Rania hanya dapat memendam rasa sakit hati sembari tersenyum miris.

"Oke, putus," kata Rania.

Revan mengangguk, setelahnya pergi tanpa pamit. Rasa penasarannya kepada Rania sudah berakhir, terlampau bosan juga untuk melanjutkan. Ia tak peduli walaupun Rania menangis setelah ini. Ikatan pacaran hanya permainan baginya, tak perlu sungguh-sungguh.

Sedangkan, Rania terdiam cukup lama di tempatnya. Ia tak menangis, memilih memesan berbagai kue manis yang ada di menu. Ia memakannya, walau perasaannya pahit. Ia juga menenggak habis minuman pesanannya, seolah tak peduli akan rasa sesak yang menyerang dadanya. Biarkan saja, ia butuh waktu seperti ini usai putus dari kekasih pertamanya, Revan.

Di malam hari, sambil meratapi kisah cintanya yang tak berjalan manis, ia menemukan foto Revan bersama seorang gadis cantik dan terkenal pendiam di sekolahnya. Revan sendiri yang mengunggahnya. Rania memilih langsung menutup ponselnya, berbaring sambil memandangi langit-langit di kamarnya. Lantas tersadar beberapa menit kemudian, bahwa ia perlu mengerjakan tugas sekolahnya yang makin menumpuk. Akan melelahkan.***

Baca Juga: [CERPEN] Gadis Bergincu Merah Muda

Fina Efendi Photo Verified Writer Fina Efendi

WINNER. DAY6.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya