[CERPEN] Keputusan untuk Mengakhiri 

Gavin hanya menganggap keputusannya telah benar 

"Kita putus."

Gavin akhirnya bisa menyuarakan keinginannya pada Anin yang duduk di kursi pengemudi. Anin langsung memandanginya, cukup heran akan ternyata Gavin barusan.

"Mau ngambek lagi? Bentar aja kita obrolin, ya, Vin. Aku bakal jelasin seluruh kecurigaan kamu nanti," kata Anin, hendak segera melajukan mobilnya. "Lagian, nanti hujannya makin deras."

"Aku ngerasa hidupku makin berantakan sejak bareng kamu," ungkap Gavin. "Semacam, makin kehilangan fokus. Banyak yang perlu kukejar juga, apalagi aku sering kena ejek keluarga karena pacaran sama kamu."

"Lho?" Anin mengernyit, gadis berambut pendek itu sedikit tersinggung. Namun, ia menyadari tak ada bagusnya membalas ungkapan Gavin tadi dengan emosi. Toh, sudah biasa dia mendengar Gavin berbicara seenaknya. Jadi, Anin memutuskan tersenyum agar emosinya tak tersulut. "Kalau gitu, aku bakal berusaha jadi yang lebih baik. Bahkan sampai jadi cewek paling anggun yang nggak malu-maluin lagi. Walau gaya kasualku sebenarnya keren, lebih-lebih kamu jatuh hati karena ini."

"Itu cuma omong kosong. Kamu udah sering ngomong gitu, tapi buktinya nggak ada." Gavin tertawa paksa, seolah benar-benar mengejek Anin. Ia bersiap membuka pintu mobil, namun Anin dengan sigap mencegah dengan mencengkram lengannya. "Kenapa, nih, Nin? bukannya lo bilang nggak suka memohon sama siapapun?"

"Aku sayang kamu, jadi aku mau pertahanin hubungan ini. Lagian, di luar lagi hujan. Aku takut kamu kedinginan." Anin menghela napas. Menghadapi Gavin jelas tak mudah, ia harus selalu siap akan lontaran kalimat menjengkelkan dari Gavin tiap kali lelaki itu cemburu. Gavin sering bertingkah kekanakan, walau tampangnya maskulin. "Kamu bakal nyesel, lho. Lagian paling besoknya kamu memohon minta balikan lagi."

Gavin terdiam sejenak, memandangi sepasang mata indah Anin yang menyiratkan kekhawatiran. Ia ragu untuk pergi, namun pemikiran logisnya menyatakan perlu. Anin terlalu berbeda, begitu membuatnya jatuh hati. Namun di sisi lain, Anin juga butuh sosok yang lebih dari dirinya. Sosok yang lebih menghargai, tak bertingkah kekanakan dan berakhir banyak bertengkar hanya karena masalah sepele.

"Udah, ya?" kata Anin, membuyarkan segala pemikiran Gavin. "Nanti kita bicarain lagi, tanpa emosi."

"Nggak. Aku muak." Gavin segera menjauhkan tangan Anin dari lengannya dengan paksa. Gavin lalu membuka pintu mobil secepat mungkin, kemudian keluar dan menutup pintu mobil dengan kasar.

Anin menarik napas panjang. Kali ini, rasanya tingkah Gavin berlebihan. Ia sudah lelah membujuk lelaki itu, sehingga memutuskan melajukan mobilnya usai Gavin keluar. Ia percaya Gavin akan baik-baik saja, hanya jengkel sesaat dan entah karena apa.

Sementara, Gavin membiarkan dirinya basah terkena hujan. Ia memerhatikan mobil Anin yang mulai melaju menjauh darinya, memastikan gadis itu benar-benar pergi. Tak perlu ada yang dikhawatirkan darinya, sebab secepatnya ia berteduh di kafe terdekat usai sadar segalanya memang sudah berakhir.

Besoknya, Gavin menjalani hari dengan baik. Ia bekerja seperti biasa, meskipun pulang dalam keadaan rindu akan Anin. Apalagi, biasanya Gavin menelepon Anin untuk sekadar menyatakan rindu dan mengeluh tentang segalanya. Anin selalu merespons dengan baik, juga menghibur sampai Gavin lupa akan masalahnya. Rasanya, Gavin rindu akan tiap kalimat dari Anin.

Yang Gavin lakukan hanyalah merenung malam itu di balkon rumahnya. Ia tak bisa tidur, makanya lebih memilih menikmati malamnya sambil memantau akun sosial media Anin. Tak ada foto terbaru, mengingat Anin juga bukan wanita yang sering mengumbar fotonya. Hanya ada foto lama yang membuat Gavin makin rindu, juga masih ada foto kebersamaan bersama Gavin yang bikin nostalgia.

Hingga, sebuah panggilan menghentikan kegiatan Gavin. Dari Anin yang masih amat disayanginya. Gavin penasaran, pun merasa tak ada salahnya untuk mendengarkan satu kata saja dari gadis itu. Sapaan singkat pun akan berharga.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Ya? Halo?" kata Gavin. Dadanya berdebar jauh lebih cepat begitu menerima panggilan. "Kenapa, Nin? Aku udah menegaskan, lho, kalau kita putus. Kamu belum menerima fakta itu, ya, Nin?" 

Tidak ada tanggapan. Gavin beranggapan bahwa mungkin saja Anin membutuhkan begitu banyak waktu untuk mengajaknya balikan. 

"Halo? Anin? Perlu diingat, ya, kamu perlu menghadapi kenyataan. Nyatanya, aku serius mengakhiri," kata Gavin, walau perasaannya langsung perih begitu mengungkapkannya. "Tapi, kuharap kamu bisa bahagia. Jangan berpikiran untuk melukai--"

"Gavin."

Ucapan Gavin langsung terhenti, begitu disela oleh orang yang meneleponnya.

***

"Ah, iya, Nin. Gila aja." Gavin tertawa terbahak-bahak. Tampak ia sedang menggenggam ponselnya dan mendekatkan ponsel itu di telinganya. Ia tampak begitu bahagia, orang lain mungkin mengira ia sedang mabuk asmara. Apalagi, ia banyak tertawa di ruang tamu malam ini. "Aku makin keren, kok. Aku juga bikin puisi buat kamu, sampai harus mikirin berhari-hari. Mau dengerin, gak, Nin?"

Gavin kemudian membuka kertas yang dilipat olehnya. Ia benar-benar menyiapkan rangkaian kalimat indah untuk Anin, agar Anin menyadari perasaannya dan betapa berharga gadis itu untuk kehidupannya. Ia bisa merasakan dadanya berdegup tanpa diminta, begitu gugup menyampaikan puisinya.

"Gavin." Seseorang menegurnya, membuatnya langsung urung untuk membacakan puisi. Gavin menoleh, pada wanita yang merupakan ibu kandungnya. Wanita yang masih tampak cantik itu tahu-tahu sudah duduk di sampingnya. "Sudahi, Nak. Jangan bertingkah seolah Anin masih ada di sini. Relakan dia, ya?"

Ekspresi Gavin yang begitu bahagia mendadak berubah. Berganti menjadi amat murung. Tangannya mendadak sibuk meremas kertasnya tadi. Ia kembali disadarkan akan realita yang ada, fakta bahwa Anin sudah pergi untuk selamanya.

"Jangan merasa bersalah juga, Gavin. Ini bukan salahmu. Bukan kamu yang menyebabkan kecelakaan itu. Mama bersyukur kamu nggak bareng Anin dan memilih keluar mobil waktu itu." Ibu dari Gavin mulai menyatakannya dengan lembut, takut Gavin tersinggung. Perlahan pula, tangannya mengusap punggung Gavin. "Anin nggak akan senang melihatmu begini. Tolong, belajarlah untuk--"

"Tolong, jangan ganggu." Gavin memotong ungkapan ibunya. "Ini masih salahku. Bahkan kalau bisa, lebih baik waktu itu aku mati bareng Anin. Harusnya aku nggak perlu sok dewasa dan sok ninggalin Anin waktu itu."

"Tapi--"

"Lebih baik Mama pergi." Gavin lagi-lagi memotong ungkapan ibunya. "Anggap ini cuma kebiasaan Gavin. Toh, Gavin masih waras dan nggak bikin Mama malu."

Ibunya lantas pergi dengan terpaksa. Sedangkan, Gavin melanjutkan aktivitasnya. Berpura-pura seolah ia masih bisa menelepon Anin, juga membagi seluruh pemikirannya terhadap gadis itu. Gavin tak bisa rela, bahkan walau ribuan orang berusaha menghiburnya sekalipun. Ia hanya bisa mengenang sosok Anin setiap malam, menikmati segala rasa perih tanpa mengeluh. Nyatanya, segalanya sudah benar-benar berakhir sesuai keinginannya, namun ia sendiri kini menyesali keputusannya untuk mengakhiri hubungan waktu itu dan membuat Anin mengalami kecelakaan.***

Baca Juga: [CERPEN] Semua Orang Juga Butuh Cinta 1

Fina Efendi Photo Verified Writer Fina Efendi

WINNER. DAY6.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya