[CERPEN] Pasangan Abadi

Kita akan selalu baik-baik saja
Nirwana tahu bahwa waktu lima tahun sudah sangat lama. Sudah seharusnya gadis itu bosan menjalin hubungan dengan Bara. Namun kenyataannya, ia bertahan dan selalu merasa rindu setiap kali Bara sibuk dan harus pulang terlambat. Sedangkan tiap hari libur, Nirwana tak pernah menolak saat ditemani Bara berjalan-jalan. 
 
"Jangan melirik gadis lain saat bersamaku," ungkap Nirwana saat ia dan Bara berada di mall. Nirwana mempererat genggaman tangannya terhadap Bara, memutuskan menghentikan jalan sejenak kala menyadari Bara melirik gadis lain. Bara menatap Nirwana dengan tatapan gemas, kemudian terkekeh saat melihat Nirwana cemberut. "Kenapa? Heran lagi karena aku tahu padahal sibuk melihat-lihat etalase? Aku tahu banget soal kamu, Bar. Jangan ngelirik yang lain." 
 
Bara menurut, ia jadi lebih banyak menunduk selagi Nirwana mencari-cari barang yang diinginkan. Sesekali mereka mengobrol, Bara juga mengomentari beberapa hal saat Nirwana bertanya. Waktu beberapa jam tidak membosankan, sebab Nirwana pandai sekali membawa obrolan jadi seru walaupun sibuk memilih barang. 
 
Seolah tak pernah bosan, Bara juga menghabiskan waktu malamnya mengobrol dengan Nirwana. Ia beberapa kali mengusap kepala Nirwana seperti kebiasaannya, juga membiarkan Nirwana bersandar di bahunya. Televisi yang ada di ruang tamu itu jadi tidak berguna, Bara lebih senang menghabiskan waktu mengobrol dengan Nirwana. 
 
"Oh, ya, Bar. Kenapa kamu suka banget sih ngelihatin cewek lain? Aku risih, nggak suka," protes Nirwana yang tampaknya masih jengkel. Namun, gadis itu masih nyaman sekali bersandar di bahu Bara. "Kamu mau aku hukum lagi?" 
 
Bara hanya tersenyum tulus. Sebuah senyuman yang membuat perasaan Nirwana menghangat. Di balik senyuman itu, Bara teringat saat di mana Nirwana cemburu dan menghukumnya dengan menyuruh Bara menendang tembok lantas meminta maaf terhadap tembok tersebut. Sudah berulang kali, bahkan pernah lebih parah walaupun Bara selalu menurut. Itu jelas konyol, mampu membuat Bara tertawa beberapa saat kemudian. 
 
"Ish, kenapa malah ketawa?" protes Nirwana. "Jawab, dong." 
 
"Maaf. Aku mengecewakanmu, ya?" tanya Bara, memandang intens terhadap Nirwana yang tidak lagi bersandar di bahunya. Sorot mata Nirwana langsung berubah, gadis itu tersenyum malu sambil mengangguk. "Maaf, deh." 
 
"Janji nggak akan ngecewain aku?" tanya Nirwana. 
 
"Janji, dong, Sayang."
 
"Jadi lega." Nirwana langsung mengubah posisinya menjadi tidur di pangkuan Bara. Bara bertindak manis dengan mengusap kepala Nirwana, juga tidak menatap ke arah lain selain gadis yang sudah menemaninya bertahun-tahun itu. "Lagian, kamu nggak akan sanggup mengecewakan aku." 
 
***
 
Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tak semuanya berjalan seperti ekspektasi. Bara perlahan berubah sikap, berusaha begitu keras untuk putus. Bahkan, lelaki itu tanpa sungkan mengemas barang-barangnya dan hampir pergi. Nirwana yang tak ingin kehilangan segera memeluk Bara dari belakang, membisikkan berbagai pernyataan soal perasaannya yang teramat dalam selama bertahun-tahun. 
 
"Jangan pergi." 
 
"Hubungan kita udah nggak sehat, Wana. Kamu menjauhkanku dari segala hal yang aku sukai. Aku juga mau melakukan apa yang aku mau," ungkap Bara. Ia menarik napas panjang, mencoba terus mengingat saran teman-temannya. "Akhiri aja." 
 
"Jadi, bersamaku... nggak menyenangkan? Bersamaku membuatmu ngerasa nggak bebas?" tanya Nirwana, ia berusaha menahan tangisnya. Segalanya terlalu menyesakkan baginya. "Kamu udah janji nggak ngecewain aku. Sejak awal ini dimulai." 
 
Meskipun menjadi bimbang, Bara tetap mengikuti pemikiran logisnya. Ia melepaskan diri dari pelukan Nirwana, kemudian berjalan santai keluar dari kamar tersebut. Nirwana memandangi punggung Bara yang mulai jauh dengan tatapan sendu. Namun, gadis itu tak tinggal diam. 
 
Nirwana dengan cepat kembali memeluk Bara dari belakang. Terlalu erat, Bara bahkan tidak tega untuk melakukan tindakan kasar agar Nirwana menyerah. 
 
"Kamu mau jadi seperti ayahmu?" tanya Nirwana, kali ini suaranya terdengar tegas. "Tukang selingkuh. Nggak setia. Mengkhianati dan menyakiti perasaan ibumu. Kamu masih ingat tangisan ibumu, Bar? Tangisan yang jadi saksi betapa sakitnya ditinggalkan." 
 
"Aku nggak--"
 
"Aku menganggapmu berkhianat kalau pergi. Nggak ada bedanya dengan ayahmu. Kamu mau kejadian serupa itu terjadi, ya? Haruskah aku juga mati?" Nirwana memotong perkataan Bara dengan cepat. Lantas, ia melepaskan pelukannya karena tahu kali ini ia kembali berhasil. Bara yang terdiam cukup lama berarti luluh, Nirwana mengenali hal demikian dengan mudah. "Nggak apa-apa, pergi aja. Artinya, kamu sama aja macam ayahmu. Menyakiti perasaan orang yang mencintaimu." 
 
Bara terdiam, kembali teringat saat di mana ibunya meninggal bunuh diri akibat sakit hati. Kepalanya menjadi pening. Ia takut akan kejadian itu. Nirwana sangat menyadarinya, terlebih karena punggung Bara terlihat bergetar. Tangan lelaki itu mengepal dengan kuat. 
 
"Jangan pergi." 
 
Bara menarik napas panjang. Hingga akhirnya, lelaki itu memeluk Nirwana dengan erat. Memeluk dan meminta maaf berulang kali, meskipun suaranya terdengar begitu serak. Nirwana tersenyum diam-diam, tahu ia akan selalu mendapatkan Bara. Lama mengenali Bara membuat Nirwana tahu banyak soal lelaki itu, dapat pula dengan mudah mengorek luka masa lalu Bara saat lelaki itu tidak menurut.***

Baca Juga: [CERPEN] Nasihat untuk Peminjam Buku

Fina Efendi Photo Verified Writer Fina Efendi

WINNER. DAY6.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya