[CERPEN] Tak Lagi Menunggu Purnama

Karena aku tak mau lagi menitikan air mata luka

Malam semakin sunyi. Aku berdiri di pinggir lapangan tanpa seorang pun teman. Berbekal senter yang kupikir cukup untuk menerangi, aku mulai menulis sebuah puisi untuk meluapkan emosi. Sayangnya aku salah. Saat itu mendung begitu rapat. Membuat langit malam tak seindah seperti yang kuharapkan.

Aku masih terus menulis. Memilih satu per satu diksi yang kurasa indah untuk dinikmati. Saat aku telah dapat separuh, tetes air langit mulai membasahi bukuku. Nampaknya kali ini langit benar-benar sedang enggan bersahabat denganku. Aku berdiri, mengambil sepeda, lalu memacunya perlahan menuju masjid di dekat lapangan.

Aku pergi ke masjid karena di sana juga terdapat sebuah pesantren. Selain itu, jarak lapangan dengan rumahku lumayan jauh. Daripada nanti hujan tiba-tiba deras dan aku tak menemukan tempat berteduh, lebih baik aku berhenti dulu di masjid. Jika pun nanti hujan turun deras, aku akan bermalam di masjid itu.

Beruntung malam itu para santri masih banyak yang belum tidur. Ada yang mengkaji ulang kitab bersama rekan santri lainnya, ada juga yang bercengkrama. Mereka sama sekali tak curiga dengan kehadiranku. Sebab, aku sudah sering bermain bola bersama mereka. Tentu saja mereka sudah sangat akrab denganku.

“Ada apa, Gus? Kok malem-malem ke sini?” sapa salah seorang santri senior yang kebetulan lewat saat aku baru saja duduk di serambi masjid.

“Eh, ini kang, mampir sebentar buat berteduh. Daripada nanti basah kuyup di jalan,”

“Oh...gitu. Emang kamu dari mana barusan?”

“Nggak ada, kang. Tadi cuma jalan-jalan, refreshing, terus tiba-tiba gerimis. Jadi saya mampir ke sini,”

“Oh, iya, iya. Ya udah, aku mau ke kamar dulu, ya! Kamu nggak masalah aku tinggal?”

“Iya kang, silakan. Santai saja, lah, kalau sama saya. Kayak belum pernah ketemu aja,”

“Ha.. ha.. ha.. Kamu ini, Gus! Ya udah, aku ke kamar dulu, ya?”

“Oke, kang!”

Tepat saat santri tadi masuk kamar, hujan perlahan semakin deras. Aku memandang langit yang muram. Tak sedikit pun ada cahaya di sana. Tanpa aba-aba, pikiranku terbang jauh ke masa lampau. Membuatku teringat akan satu peristiwa yang selalu membuatku menangis. Kala itu, di tengah langit yang juga muram.

---

“Nia! Kamu nanti malam ada waktu, nggak?” tanyaku waktu itu padanya.

“Ada apa, Gus? Kok tiba-tiba kamu tanya gitu?”

“Kalo kamu ada waktu, mau nggak kamu pergi ke lapangan denganku nanti malam? Sambil nonton para atlet desa latihan buat persiapan kompetisi,”

“Oke, Gus! Jam 7 ya kita ke sana?”

“Kamu beneran mau ini?” tanyaku masih tak percaya.

“Ya iyalah, Gus. Nggak mungkin aku becanda dalam hal janji,” jawab Nia sambil tertawa kecil.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Eh, iya ya,” aku pun kikuk menjawab.

“Ya udah, nanti jam 7, ya! Oke?”

“Oke, Nia. Laksanakan!” jawabku sambil tersenyum ceria.

Saat itu, aku berencana menyatakan perasaanku pada Nia. Aku telah merancang rencana sedemikian rupa. Menyatakan perasaan di bawah sinar purnama yang sempurna, pasti sangat romantis. Setidaknya begitu yang aku pikirkan dulu.

Waktu janjian pun tiba. Aku berdandan rapi, pakai minyak wangi, dan tentu saja tak lupa membawa seikat bunga. Sesampainya di lapangan, aku masih belum melihat Nia. Pikirku ia masih dalam perjalanan ke sini. Aku lantas duduk menunggunya.

15 menit berlalu, aku pun mulai gelisah. Aku takut jika Nia lupa dengan janji kami. Aku takut jika ia tak diizinkan oleh orang tuanya. Aku takut terjadi sesuatu padanya di jalan. Pikiranku benar-benar tak tenang. Aku mengangkat kepala, berharap Nia segera hadir di sini.

Tak berselang lama kemudian, dari kejauhan nampak Nia berjalan mendekat. Aku sudah sangat paham jika itu dirinya. Hatiku sangat berbunga-bunga, rencanaku berjalan setahap demi setahap.

“Maaf ya, Gus! Bikin kamu nunggu lama. Tadi aku bingung banget mau pakai baju yang mana,” sapa Nia ketika sudah berada di dekatku.

 “Ah, enggak kok,” aku menjawab dengan tersenyum.

Kami lalu berbincang berbagai topik serta saling becanda. Hingga tiba rasanya telah tiba waktu yang tepat untukku menyatakan perasaan pada Nia.

“Nia! Aku mau bilang jujur sama kamu. Sebenarnya....”, jantungku berdegup dengan begitu keras. Aku tak pernah merasa segrogi ini.

“Kenapa, Gus?” tanya Nia serius.

“Sebenarnya....... sebenarnya.......,” aku lantas mengeluarkan bunga yang tadi telah kusiapkan. “Sebenarnya aku punya perasaan suka ke kamu. Kamu mau nggak menjalin ikatan denganku?”

Nia terdiam sejenak. Tampaknya ia agak terkejut dengan ucapanku barusan. Aku pun juga membisu. Suasana jadi begitu canggung. Nia lalu mengambil bunga dariku seraya berdiri. Saat itu, awan tiba-tiba merapat terlampau cepat. Tetes airnya mulai berjatuhan. Rencanaku melihat purnama gagal. Tapi tak apa, setidaknya aku sudah menyatakan perasaanku.

Nia masih diam dan terus memandangi bunga dariku. Gerimis perlahan berubah jadi hujan. Nia tampak tersenyum, hatiku sangat senang melihatnya. Tapi ternyata Nia malah membuang bunga dariku kemudian menginjak-injaknya. Aku sangat terpukul melihat hal itu. Bibirku sama sekali tak dapat berucap.

Selepas puas menginjak-injak bunga dariku, Nia berbalik meninggalkanku tanpa satu kata pun terucap di bibirnya. Bersamaan dengan itu, hujan turun dengan derasnya. Aku yang masih tak percaya dengan apa yang barusan kulihat tak mampu lagi membendung air mataku.

Kuambil bunga yang telah diinjak-injak oleh Nia. Aku menatap langit sambil menangis. Dalam keadaan yang lara itu, aku berharap hujan menyembunyikan tangisku. Aku ingin berteriak kencang, meluapkan seluruh rasa sakit yang hadir begitu cepat layaknya guntur. Tapi, entah kenapa bibirku benar-benar terbungkam rapat.

---

Pikiranku kembali. Tak terasa tiba-tiba  air mata mulai membasahi pipi. Aku mengusapnya agar tak ketahuan para santri. Hujan kian deras. Kini, aku tak lagi menunggu purnama. Kini, aku juga telah mengubur jauh perasaan cinta pada Nia. Seperti halnya bunga yang telah diinjak-injaknya waktu itu,yang kini telah kukubur begitu dalam dan mungkin telah berubah menjadi sesuatu yang tak lagi indah.

Baca Juga: [CERPEN] Anggaru

Mohammad Azharudin Photo Verified Writer Mohammad Azharudin

Anak muda biasa yang suka belajar

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya