[CERPEN] Lelaki Bibliokas

Kau mencintainya, kenapa kau membakarnya?

Deretan rak-rak buku di ruang fiksi ini membuat Sastra tercengang dan menelan ludah. Seakan-akan ia menemukan surga yang sesungguhnya. Ribuan buku fiksi berjajar rapi di dalam ruangan yang rak-raknya dibentuk menyerupai huruf U terbuka itu.

Masing-masing rak memiliki label tersendiri. Ia menuju rak novel-novel terjemahan. Matanya menelusur buku satu persatu, deret per deret. Senyum kemenangan mengembang ketika matanya menangkap dua buku bersampul hitam dan hijau asparagus berjajar berdampingan. Diambilnya kedua buku tersebut dari deretan rak kedua.

Ia membuka-buka sekilas beberapa halaman dari kedua buku tersebut. Gadis beralis tebal itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

Seorang lelaki berperawakan tinggi kurus di rak seberang yang sejajar dengan rak-rak novel terjemahan tempat Sastra berdiri nampak mengambil beberapa buku secara acak, melihatnya sekilas kemudian menumpuk buku-buku tersebut di rak kosong pada deretan kedua dari bawah. Sastra langsung mengenali sosok lelaki yang kelewat tinggi itu.

"Akira."

Lelaki itu tidak menyahut, dia masih tetap sibuk mengambil buku dari rak di hadapannya dan menumpuknya sesudah membuka beberapa halaman secara sekilas.

Gadis itu memanggilnya dua kali. Masih tidak ada jawaban. Ia pun menghampirinya.

"Akira!" Panggilnya seraya menepukkan buku ke bahu lelaki itu.

Lelaki itu menghentikan kesibukannya. Memandang gadis setinggi dadanya itu dengan heran kemudian melontarkan senyuman yang dibuat-buat seolah mereka sudah saling mengenal.

"Kau kemari? Kenapa tidak bilang? Harusnya kita bisa pergi bersama," tanya gadis itu kemudian.

"Maaf, aku tidak tahu kau akan ke sini. Aku sedang mencari buku komik." Belum sempat Sastra mengeluarkan kalimat balasan, lelaki itu sudah berlalu meninggalkan gadis itu. Ia membiarkannya melakukan perburuan komiknya.

Gadis itu hampir lupa kalau ia akan mengambil gambar. Diletakkannya kedua buku di tangannya pada rak, bersandar pada buku-buku yang berjajar di belakangnya. Ia mengambil gambar dengan kamera horizontal. Setelah merasa memperoleh gambar yang bagus, dikirimnya gambar dari kedua buku tersebut melalui salah satu media sosial kepada Hita, teman dekatnya yang tinggal di desakota.

"Hei. Aku menemukan Iliad dan Odyssey yang kamu sanjung-sanjung itu. Ini versi terjemahan. Kau tidak tertarik?"

Sastra mengetik pesan itu di bawah foto kedua buku tersebut dengan menyematkan emoticon tawa. Dia tidak tahu menahu tentang kedua buku di tangannya saat ini. Tapi Hita pernah mengatakan ia menyukai buku-buku itu. Hita memiliki versi Inggrisnya dalam bentuk buku digital dan belum sempat dibacanya hingga sekarang. Teman kacamatanya itu pasti akan langsung lari tunggang langgang menemui Sastra untuk merebut kedua buku yang diincarnya selama ini.

Dengan cekikikan yang tertahan, Sastra memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Senyum kemenangan mendadak raib ketika indra penciumannya membaui aroma api.

"Ini bau kertas terbakar," ujarnya pada diri sendiri.

Gadis beralis tebal itu mencari sumber aroma itu dengan gelisah. Ia menyusuri setiap rak di ruangan fiksi tersebut. Pada ruangan paling ujung bersebelahan dengan gudang ia menemukan sosok Akira di sana dengan setumpuk buku di hadapannya berserakan di lantai. Api kecil telah melahap satu buku yang dijadikannya sebagai umpan, buku-buku di sekeliling juga ikut terbakar.

"Akira, apa yang kau lakukan?" Suaranya berteriak marah. Sastra menghampiri lelaki itu dan mendorongnya menjauh dari tumpukan buku berserakan yang terbakar.

Gadis itu berusaha memadamkan api dengan kedua tangan mungilnya. Tanpa disadari air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia selalu menangis setiap melihat api yang membakar buku. Akira berbalik mendorong gadis itu. Menghentikannya untuk memadamkan api.

"Kau gila, ya? Apa maksudmu membakar semua buku-buku ini?"

Lelaki itu tidak menjawab dan hanya tersenyum sinis kepada Sastra. Ia justru kembali menyulutkan api melalui sebatang korek api di tangannya.

Gadis itu merasa marah dan keheranan. Ia juga terkejut dengan respon lelaki itu yang tidak mengindahkan ucapannya dan tanpa rasa berdosa justru akan menambah nyala api dari buku-buku malang itu. Sastra meneliti sekilas sampul-sampul buku yang belum terlahap api. Matanya tersedak saat mengetahui semua buku itu adalah buku komik. Ia juga melihat rak di ujung ruangan yang paling dekat dengan lokasi Akira membakar buku ini, itu adalah rak buku-buku komik.

"Kau.. kau bukan Akira?" Tanyanya kepada lelaki itu dengan rahangnya gemetar.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Pikirannya menerawang, mengingat penjelasan Akira dua bulan yang lalu tentang penyakit yang bermukim di tubuhnya:

“Kepribadian paling kuat adalah aku yang sekarang, Akira. Ada kepribadian kakakku. Dia adalah seorang pendaki gunung dan sangat menyukai alam. Namanya Alhambra. Ada yang sedikit berbahaya. Namanya Wira, dia seorang bibliokleptomania. Dan yang paling harus kamu waspadai adalah Rama. Ia keluar ketika aku merasa sangat marah dan tertekan. Dia seorang bibliokas. Buku apa pun akan dihancurkannya. Tapi yang paling membuatnya senang adalah menghancurkan buku komik. Sangat bertolak belakang dengan diriku.”

Seusai menyulut api untuk yang kedua kalinya, lelaki itu menoleh kepada Sastra yang masih terduduk di hadapannya.

"Apakah itu kau, Rama yang seorang biblioklas?" Sastra bertanya lagi kepada lelaki itu.

Lelaki di hadapannya tak menjawab dan kembali melontarkan senyum sinis kemudian berlalu menuju rak-rak di sebelah. Ia kembali membawa setumpuk buku komik dan dijatuhkannya pada tumpukan lain yang terbakar lebih dulu.

Sastra mendorong lelaki itu, berusaha menghentikannya. Lelaki itu tentu lebih kuat dan tubuh mungil gadis itu kembali terjungkal ketika lelaki itu berbalik mendorongnya. Ia mengeluarkan sebatang korek api lagi untuk menambah nyala api yang ketiga kalinya.

Kemarahan dan kekesalan Sastra sudah memuncak, wajahnya panas terkena nyala api dan air mata tak hentinya mengalir di kedua pipinya. Lagi-lagi ia mendorong lelaki itu lebih kuat hingga kepalanya membentur dinding. Ia tersungkur dan kesakitan. Cepat-cepat gadis itu mengambil korek api di tangannya dan menyimpannya di dalam sakunya sendiri.

Gadis itu mengguncang-guncangkan tubuh lelaki di hadapannya. "Akira, ini aku. Bangunlah. Jangan biarkan Rama membakar semua buku-buku di sini. Bangunlah Akira, kumohon!" Sastra meratap dengan putus asa, sementara lelaki itu masih menahan kepalanya yang kesakitan.

Alarm keamanan tiba-tiba berbunyi. Nyala api dari kertas buku-buku tersebut semakin membesar dan asapnya pasti sudah tercium di seluruh ruangan. Tidak ada kamar mandi di dekat pembakaran itu. Sastra mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada benda yang bisa digunakan untuk memadamkan apinya. Dia kembali menatap lelaki di hadapannya. Dilepasnya jaket yang dikenakan Akira. Ia menghantamkan jaket itu ke arah nyala api berkali-kali. Ia terus terisak dan mengabaikan Akira yang masih kesakitan akibat benturan di kepalanya.

Beberapa petugas perpustakaan bersama dengan pemadam kebakaran dan pihak kepolisian telah sampai di ruangan fiksi tersebut dan menemukan Sastra dengan puluhan buku berserakan di hadapannya dan sebagian besar telah menjadi abu.

"Dia pelakunya!" Teriak salah seorang petugas perpustakaan berbadan tinggi besar.

Kehadiran mereka membuat Sastra panik dan menghentikan kegiatannya memadamkan api. Dua orang berseragam polisi menghampiri Sastra dan memborgol kedua tangannya, sementara pemadam kebakaran segera mengguyur api itu dengan tangki air yang dibawanya.

"Hai, gadis gila. Kau mau mati dengan membakar buku-buku di perpustakaan kami, hah?" Ujar seorang pustakawan berkacamata dengan geram dan suara kemarahan yang memuncak.

"Kau membakar buku-buku ini dan memukul lelaki di sebelahmu yang berusaha menghentikan kegilaanmu? Wah wah, benar-benar tidak waras kau ini." Pustakawan berbadan tinggi besar itu menghampiri Akira dan membopongnya.

"Saya tidak membakar..."

"Kau masih ingin mengelak?" Pustakawan berkacamata itu menyela. Kemarahannya semakin tidak terkendali.

Gadis itu masih terisak dan melirik buku-buku yang telah basah oleh air dan abu-abu berserakan. Matanya menatap penuh harap ke arah lelaki berperawakan tinggi kurus di seberangnya. Ia masih memegangi kepalanya yang kesakitan.

"Bangunlah, Akira...," Ujarnya dalam hati.

Kedua polisi membawa gadis itu keluar ruangan.***

 

Malang, April 2018

 

Baca Juga: [CERPEN] Serbuan Gagak di Rumah Susun

Hana Photo Verified Writer Hana

Instagram : @mufidafm

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya