[CERPEN] Ranting

Aku menciptakan jarak untuk menemuimu kembali. Nanti.

Sampai detik ini, aku masih belum bisa memaknai tentang kecenderungan yang mencengkeram hatiku dua tahun terakhir. Mengakuinya sebagai cinta, aku tidak yakin. Menjulukinya kekaguman, aku pun ragu. Ini bukan kecenderungan yang tumbuh secara tiba-tiba, bergejolak pada pandangan pertama, ataupun perasaan gugup karena berada di dekatnya. Aku melakukannya dengan sengaja saat itu. Aku kehabisan cara untuk menepikan pikiranku atas luka di masa lalu. Cerita klise tentang keretakan persahabatan karena mencintai lelaki yang sama. Aku sudah memaafkannya. Mengubah masalah itu menjadi uap yang hanya lewat dan menghilang. Tapi luka tetaplah luka. Ia perlu penawar untuk menyembuhkannya.

Manusia berperawakan kurus dengan dasi yang selalu menyampir di bahu kirinya yang kutemui selepas siang dua tahun lalu mungkin bagian dari rencana Tuhan untuk mengirimkan penawar itu. Aku harus menciptakan kecenderungan kepada orang itu, tuturku kala itu. Aku harus menjadikan ia sebagai penawarku dengan sengaja memunculkan kecenderungan terhadapnya. Dan itu berhasil. Luka itu memudar. Tapi aku tidak—maksudku belum—bisa mengartikan makna dari kecenderungan yang kusengajakan. Selama ini, perasaan itu hanya kuanggap sebagai penawar, tak lebih.

Aku melirik jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Masih pukul sepuluh tepat. Keretaku akan datang pukul 10 lewat 20 menit, sesuai jadwal di tiket yang kubeli seminggu yang lalu. Aku memasang headset di telingaku dan mulai memutar lagu. Mulai hari ini tidak akan ada lagi hari-hari seperti biasa ketika aku bisa menemui sang penawar itu setiap hari.

---

“Zea.” Sebuah suara menghentikanku yang tengah berbelok di koridor menuju kelasku.

Aku berbalik ke arah suara, “Iren.” Kataku kemudian saat mengetahui bahwa itu Iren, pemimpin redaksiku di ekskul jurnalistik yang kuikuti.

“Ketua tim paskibraka mengambil libur minggu ini. Ia pergi ke Solo, neneknya meninggal. Aku sudah memutuskan untuk mengganti guest star kita minggu ini.”

“Lalu siapa penggantinya?”

“Rangga. Pemangku adat ekskul pramuka. Kau temui dia nanti di sanggar, ya. Aku ke kelas dulu.”

Aku tercekat mendengarnya. Iren meninggalkanku dengan buru-buru tanpa mendengarkan jawaban dariku terlebih dahulu. Rahangku bergetar, begitu pula seluruh jemariku. Ini adalah kebiasaan buruk setiap kali aku mendengar namanya, melihatnya maupun bertemu dengannya. Aku menganggap ini mungkin gejala yang harus kualami karena menjadikan kecenderunganku sebagai penawar.      

---

“Perhatian. Sesaat lagi Kereta Api Penataran-Dhoho tujuan Surabaya lewat Kertosono akkan memasuki jalur satu.”

Aku mengedarkan pandanganku ke arah kereta yang datang. Pemandangan kereta yang datang selalu mencuri perhatianku. Apalagi aku baru-baru ini naik kereta. Rasanya tidak sabar menunggu giliran keretaku datang. Dengan cepat, ruang tunggu mulai berkurang kapasitas manusianya dikarenakan para penumpang yang akan menaiki kereta ini mulai berdiri dari tempat duduknya dan segera mengantri di pintu-pintu gerbong kereta. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat pemandangan ini. Setelah ini, hal-hal semacam ini tidak akan asing lagi. Aku kuliah ke luar kota dan akan sering-sering naik kereta.

Kereta telah berhenti. Penumpang yang akan turun didahulukan. Aku mengamati orang-orang yang sudah tidak sabar untuk naik dan segera mencari tempat duduk mereka sesuai yang tertera pada tiket. Ketika aku terhanyut dalam pemandangan itu, seseorang dengan ransel bermotif tentara, topi hitam yang menutupi kepalanya, dan headset bluetooth yang terpasang di telinganya baru saja melintas di hadapanku. Aku yang tadinya mengamati semua orang, sekarang pandanganku hanya tertuju pada pria itu. Rahangku bergetar, aku mengepalkan jemariku untuk menutupi kegugupan. Aku mengamati pria itu. Itu dia. Aku tidak salah orang. Sang penawar yang dengan sengaja aku ciptakan kecenderungan terhadapnya. Pemangku adat yang menjadi guest star saat aku siaran di sekolah setahun yang lalu.

Tuhan selalu menyajikan hal-hal yang tidak disangka-sangka. Mungkin Ia sedang mengirim pertanda bahwa hari ini adalah waktuku untuk mengucapkan perpisahan. Meskipun itu tidak terucap secara lisan, tapi setidaknya semesta tahu bahwa Tuhan sengaja membuat skenario ini agar aku menaruh seulas senyum atas perpisahanku dengannya yang akan menjadi perpisahan yang panjang. Aku selalu berdoa, semoga di waktu yang berbeda nanti Tuhan masih menaruh kesempatan untukku bisa bertemu dengannya lagi, menyelesaikan potongan cerita yang belum menemukan akhirnya.

Entah karena alasan apa, tapi Rangga menaruh ketidaksukaan terhadapku, bahkan sejak sebelum aku sempat mengenalnya karena siaran setahun yang lalu. Apa mungkin karena aku begitu terlihat memiliki kecenderungan terhadapnya sehingga ia merasa tidak nyaman dan tak henti-hentinya menghindar dariku, entahlah. Semakin ia menjauh dan menghindar, aku justru merasa semakin tertarik dan tidak berniat menghentikan kecenderungan itu meskipun kini aku sudah bisa terlepas dari jerat luka yang membelengguku sebelum aku memutuskan menjadikan Rangga sebagai penawar luka itu.

---

Tugas kuliah yang tak ada habis-habisnya dan agenda kegiatan dalam organisasi yang kuikuti membuatku tidak punya banyak waktu untuk istirahat apalagi hanya sekedar untuk mengecek ponsel dan bermain-main. Sudah tiga semester sejak aku kuliah, itu artinya sudah hampir satu setengah tahun aku tidak pernah bertemu dengan sosok Rangga. Kira-kira bagaimanakah kabarnya sekarang? Apakah dia menjalin hubungan lagi dengan seorang wanita? Gunung apa yang kiranya baru saja ia daki? Apakah dia masih menjadi pengajar pramuka di sekolah-sekolah dasar di daerahnya?

Setahun yang lalu aku menghadiri expo kampus. Hari itu aku berharap Rangga akan datang sehingga aku bisa bertemu dengannya dan mengetahui kabarnya. Namun ternyata Tuhan tak membuat skenario seperti yang kuharapkan. Rangga tidak ada di hari itu.

Sekarang aku sudah disibukkan dengan dunia magang. Kuliahku bukan di kampus lagi. Setiap pagi hingga pukul empat sore aku harus pergi ke kantor tempatku mengambil magang. Kemudian terkadang di sore harinya aku mampir di pepustakaan fakultas untuk menjenguk adik-adik tingkatku sekaligus mengobati rasa rinduku kepada perpustakaan fakultas yang kupegang sebelum aku harus mengalihkan kepengurusan itu kepada adik tingkat setelah aku memasuki semester empat dan tidak bisa setiap harinya lagi pergi ke kampus.

Langit tak berawan. Gerimis mengguyur kota sore itu. Aku menggeledah tasku. Mencari payung bermotif bunga yang hampir tidak pernah absen kubawa ke tempat magang. Tapi nampaknya kali ini tidak ada. Payungku tertinggal di garasi kos kemarin sore saat aku pulang bersama guyuran hujan deras. Dengan mengangkat ranselku untuk menutupi kepala, aku berlari-lari kecil ke luar gedung perpustakaan hingga menyeberang jalan. Aku berteduh di halte seberang perpustakaan tersebut dan melirik jam tanganku. Masih pukul empat lewat lima belas menit. Tak berselang lama, angkot berlabel AL berhenti di depan halte. Aku cepat-cepat naik dan mengambil duduk pada kursi yang menghadap ke pintu yang terbuka.

Tidak banyak penumpang sore itu. Kuletakkan ranselku di pangkuan dan menepuk-nepuknya untuk menghilangkan sisa-sisa air hujan yang tertinggal disana. Di hadapanku duduk seorang perempuan berumur sekitar 45 tahun dan seorang gadis. Umurnya mungkin setahun lebih muda dariku. Sejak aku masuk ke dalam angkot, sepasang ibu dan anak ini memperdebatkan suatu hal. Dari arah pembicaraannya nampaknya mereka baru saja kemalingan sehabis turun dari kereta api. Aku tidak suka bermain gadget di dalam kendaraan. Kepalaku suka pusing jika memaksakan diri untuk membuka gadget di kendaraan, baik itu kendaraan umum seperti angkot atau bukan.

 

“Kak Ze.” Seru salah seorang kepadaku saat aku membuka pintu perpustakaan fakultas. Tak lama, mereka semuanya-adik tingkat-yang ada di dalam perpustakaan itu mengerumuniku dan entah siapa yang memulai kami sudah larut dalam banyak cerita.

“Permisi. Apa Zea ada disini?”

Mataku langsung tertuju ke arah suara saat suara itu menyebut namaku. “Ini aku Zea. Ada perlu apa, Lif?”

“Ada yang ingin bertemu denganmu, Ze.”

“Siapa?”

Alif tidak menjawab pertanyaanku. Dia keluar sebentar kemudian kembali lagi dengan seseorang bersamanya. Rasanya waktu seperti berhenti. Begitupun detak jantungku. Rahangku bergetar lagi. Jemariku mengepal-ngepal untuk menutupi kegugupan. Aku melihat dengan tatapan tak percaya. Beberapa detik kubiarkan mataku mengamati untuk memastikan. Pria berperwakan kurus dengan topi hitam di kepalanya dan headset bluetooth yang menutup salah satu telinganya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Hai, Zea. Maaf karena mengejutkanmu” Ujarnya seraya memberi seulas senyum.

“Bagaimana kabarmu? Maaf karena kedatanganku pasti membuatmu bertanya-tanya. Aku tidak punya banyak waktu. Semoga surat ini mampu menjelaskan semuanya.”

Aku menerima surat itu dari tangannya. Rahangku masih bergetar sehingga tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku. Salah-salah ia mengetahui kegugupanku di hadapannya.

“Ada satu hal yang ingin kuminta langsung darimu.” Ujarnya kemudian. “Apakah kamu bersedia menunggu lagi sedikit lebih lama?”

Aku masih terdiam. Masih terperangkap dalam perasaan terkejut dan aku tidak bisa memahami maksud dari permintaanya.  Menunggu sedikt lebih lama lagi? Apa maksudnya?

“Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Maaf tapi aku harus pamit. Sampai jumpa lagi.”

Rangga bergegas. Dan aku masih terdiam di tempatku tanpa berucap apa-apa. Aku masih tidak percaya, setelah sekian tahun tidak bertemu dengannya, kemudian secara tiba-tiba ia menemuiku, menyapaku lebih dulu, memberikan surat, dan membuat sebuah permintaan. Aku tidak mengerti. Kecenderungan yang sempat memudar karena waktu itu seperti terkumpul kembali. Begitu mudahnya angin membawa kepigan-kepingan kecenderungan yang tercecer selama hampir dua tahun terakhir.

               Aku melihat amplop itu. Pada bagian depannya tertulis “perempuan pena”. Aku membukanya dan membaca surat itu.

 

Ranting

Jika suatu ketika ranting patah

Jatuh pada tanah yang sama dengan daun

Mungkinkah daun yang telah lebih dulu terhempas ke tanah masih mengenalinya?

Jika ranting telah patah, berubah, berbeda

Mungkinkah daun masih mengenali sang ranting?

Detik terus merangkak

Menciptakan jarak pada keduanya

Melupa tidak lagi tidak mungkin

Mungkin, iya

Tapi daun tidak yakin ranting masih mengenalnya

Bukan!

Ranting memang tidak pernah mengenal sang daun

Zea, apakah ranting itu aku? Kau salah jika mengira aku tidak mengenalmu dan melupakanmu karena jarak beribu-ribu waktu, beratus kilometer yang harus kita lalui selama ini. Zea, maaf telah membuatmu menerka bahwa aku menaruh ketidaksukaan terhadapmu. Jarak yang sempat kuciptakan kala itu bukanlah karena aku menghindar. Aku hanya ingin mempercayai akan kecenderunganmu dan berusaha mengartikannya. Apakah itu sebatas kecenderungan sebagai pengaguman atau mungkin lebih dari sekadar sebuah kekaguman. Zea, jika itu bukan sekadar pengaguman, bersediakah menunggu sedikit lebih lama lagi? Maaf karena mengirim surat ini untuk membuat jarak yang baru. Namun setidaknya, makna jarak ini tak sama lagi seperti jarak di masa lalu. Aku menciptakan jarak untuk menemuimu kembali. Nanti.

Rangga

 

               Rahangku masih bergetar selama membaca surat ini. Puisi ini adalah puisi yang kukirimkan kepada Rangga pada hari ulang tahunnya tahun lalu. Aku menciptakan jarak untuk menemuimu kembali. Nanti. Itu kalimat terakhir yang dituliskan Rangga dalam suratnya. Apakah ini maksud dari permintaannya untuk menunggu lagi sedikit lebih lama? Aku saja tidak tahu apakah selama ini aku menunggunya. Pun aku tidak tahu makna dari kecenderunganku terhadapnya. Bukan sekadar pengaguman, mungkin.

Hana Photo Verified Writer Hana

Instagram : @mufidafm

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya