[CERPEN] Rumah dari Yang Mulia

Sebuah cerita tentang cinta penuh air mata

Dia hanya hidup dengan buku. Tumpukan-tumpukan buku itulah yang membuatnya tak pernah kesepian dalam rumah yang sudah ditempatinya sejak empat tahun terakhir. Seperti biasa, setiap minggunya selalu saja ada teman yang berkunjung dan mengirim buku untuknya. Entah dari mana mereka selalu memiliki uang untuk membeli buku buku itu.

Dia tinggal seorang diri. Tanpa orang tua, tanpa saudara, tanpa kerabat. Beruntunglah teman-temannya yang pernah dekat dengannya di bangku kuliah masih sering mengunjunginya. Dia hanya memiliki rumah ini. Rumah yang memang dengan sengaja diberikan oleh Yang Mulia untuknya.

Empat tahun yang lalu, dia terlibat dalam sebuah kecelakaan mobil. Pada masa itu dia menyelamatkan seorang pemuda dalam kecelakaan tersebut. Pemuda itu terluka parah, tapi tidak mati. Dia juga terluka, tapi tidak parah. Mereka-Dia dan Pemuda itu-sama sama dirawat, namun dalam rumah sakit yang terpisah. Lusa kemudian, Yang Mulia mengutus dua orang paruh baya untuk membawanya ke rumah ini. Didengarnya dari dua orang paruh baya itu bahwa Yang Mulia tidak lain adalah ayah dari si pemuda yang diselamatkannya dari kecelakaan mobil tempo hari.

Setiap harinya selama tinggal di rumah ini, hal yang paling sering dilakukannya adalah membaca kiriman buku-buku itu. Jika dia lelah, dia akan tidur berteman dengan tumpukan buku yang hampir memenuhi rumahnya.

Di setiap sudut rumah itu terdapat tumpukan buku-buku yang beberapa dari mereka, kertasnya sudah mulai menguning. Jika dia tak bisa memejamkan matanya di malam hari, maka dia akan menenun buah pena yang sudah ditulis sejak pertama kali dia menempati rumah ini. Buah pena itu sudah hampir setebal tiga ratus halaman, nyaris mencapai bagian terakhir. Terkadang ia melamun, lalu menangis di malam hari hingga tertidur.

Buku-buku yang memenuhi rumahnya sekarang ini menjadi penawar dari luka yang masih membekas pada kecelakaan mobil empat tahun silam. Buku-buku ini adalah tempat paling baik untuk menyembunyikan air mata ketika hujan dari pelupuk matanya tertiup angin. Akan dijatuhkannya hujan itu di halaman mana pun dan membuat jejak bulat berwarna hitam pada setiap halaman yang menampungnya. Kemudian ia akan berbaring dan menelungkupkan buku di atas wajahnya lalu pura-pura tertidur, sampai ia akhirnya benar-benar tertidur dan menikmati dunia lain dalam mimpinya.

 “Kau berencana kuliah ke mana?” Tanya lelaki awan itu sembari menyampirkan dasi ke bahu kanannnya.

Seorang berlesung ganjil itu tersenyum. Ia mengalihkan pandangan dan mengedarkan matanya ke sekeliling. “Kau akan tahu setelah aku diterima nanti.”  

“Ah… kau ini. Ayolah. Aku tidak akan menulis berita tentang rencana kuliahmu jika kau memberitahuku.” Lelaki itu membujuk.

Mendengar kalimat itu ia tertawa. Ia masih tak memberikan jawaban dan justru balik bertanya. “Bagaimana dengan dirimu?”

Lelaki yang dijulukinya dengan nama lelaki awan itu diam sesaat. Ia meneguk minuman kaleng dari genggamannya.

“Aku akan kembali ke Bandung, bersama ayahku.” Jawabnya kemudian.

Percakapan itu berakhir ketika bel masuk berbunyi. Seorang berlesung ganjil menatap lekat-lekat rupa lelaki awan yang hampir tak pernah absen menggulung kedua lengan seragamnya. Tatapannya bukan tanpa alasan. Lelaki awan dengan dasi yang selalu tersampir itu tak pernah berpikir apa yang baru diutarakannya terakhir kali kepada seorang berlesung ganjil adalah kalimat terakhirnya sebelum seorang itu divonis keluar dari sekolah.

---

“Kau dalam bahaya, Mer. Mereka mencarimu.”

Pesan-pesan dari salah satu akun media sosial terus datang beruntun dari beberapa teman dan senior. Namun tak ada satu pun pesan dari mereka yang dibalasnya. ia mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas.

“Maaf pak, tapi bolehkah saya presentasi lebih dulu? Hari ini sepertinya saya tidak bisa mengikuti kelas Anda sampai akhir,” ujarnya memohon izin.

Sang dosen mengiyakan permintaannya.

Dua tahun lalu seorang berlesung ganjil itu mengirim sebuah berita tentang pembocoran kunci jawaban ujian nasional yang dilakukan oleh seorang guru. Saat itu majalah sekolah menolaknya. Dia dianggap mencemarkan nama baik. Meski itu kebenaran dan ia memiliki bukti, tak ada yang berpihak padanya. Kemudian ia menerbitkan berita itu sendiri melalui blognya. Hingga ia dikeluarkan sebelum pihak sekolah diperiksa.

Ia sudah pernah dikeluarkan dari sekolah. Mungkin hari ini ia juga akan dikeluarkan dari kampusnya. Tak ada rasa takut, panik atau bingung dalam dirinya. Hari ini justru dia tenang sekali. Seperti ia menjalani hari-hari biasa. Mendengarkan dosen berceramah di depan kelas, melakukan presentasi, menerima tugas di akhir kelas, dan ketika ia keluar kelas kegiatan di luar akan menantinya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Hanya saja, mungkin hari ini hidupnya akan sedikit berbeda dan ia akan dikenal banyak orang. Dan jika kemungkinan itu terjadi, ia sudah menyiapkan selembar kertas berisi deretan kata yang baru ditenunnya pagi ini. Dalam sebuah amplop, akan dititipkannya selembar kertas itu pada seorang teman.

“Maaf, Pak. Tapi Anda tidak bisa membawa dia.” Seorang laki-laki berperawakan tinggi kurus menerobos masuk ke dalam kelas. Lelaki itu adalah salah satu pemilik akun yang mengirim pesan melalui media sosial kepada seorang berlesung ganjil sebelum ia mematikan ponselnya dan meminta izin untuk presentasi lima belas menit yang lalu.

Kemungkinan itu terjadi, seperti yang sudah diduganya. Kedatangan dua orang paruh baya itu mengacaukan suasana kelas. Mereka membawa pergi seorang berlesung ganjil itu. Seperti yang sudah ditebaknya pula, sorotan para mahasiswa lain menatap penuh tanda tanya. Ia akan dikenal banyak orang sekarang. Tapi, ada yang ganjil disini. Ia ditangkap bukan atas tuduhan berita yang ditulisnya mengenai penggelapan dana anggaran perpustakaan melainkan tuduhan percobaan pembunuhan.

Dia terbangun. Mimpi itu yang membangunkannya. Entah mengapa dalam empat tahun terakhir sejak dia pindah ke rumah ini, hanya bagian itu yang paling sering mengusik tidurnya. Sepertinya waktu sudah sangat larut, matanya tak dapat terpejam lagi karena mimpi kelam itu. Dia mengambil buku bersampul cokelat tua yang selalu disimpannya di bawah bantal.

Melanjutkan tenunan yang belum diselesaikannya meski sudah menghabiskan waktu selama empat tahun. Kelak, akan dijadikannya buah pena itu sebagai umpan untuk memancing seorang pemuda yang telah diselamatkannya empat tahun yang lalu dalam kecelakaan mobil yang melibatkan mereka berdua.

Senior berperawakan tinggi kurus yang paling sering mengunjunginya ke rumah akhir-akhir ini tak nampak berkunjung lagi. Terakhir kali ia berkunjung adalah dua bulan lalu ketika dia menyerahkan buah pena yang sudah diakhirinya itu kepada seniornya. Sepertinya pekerjaan senior kali ini lebih padat dari sebelumnya, mengingat pemilihan kepala daerah akan diadakan sebentar lagi. Senior itu juga memberitahunya bahwa Yang Mulia yang memberinya rumah ini juga akan mencalonkan diri.

Seorang kurir mengantarkan paket berisi buku kepadanya. Belum lama dia membuka buku yang baru diterimanya itu, tiba-tiba ada seseorang berkunjung. Derap kakinya bukan milik senior berperawakan tinggi kurus. Itu bukan seniornya. Raut mukanya masih sama, tinggi badannya tak bertambah, penampilannya tak banyak berubah meski sudah empat tahun lamanya. Dia mengenalinya. Seseorang yang jatuh cinta dengan ketinggian.

Seseorang yang bersahabat baik dengan alam. Seseorang yang rajin menyapa senja di pinggir pantai dan memeluk fajar dari puncak gunung. Seorang pemburu awan yang bermimpi mendaki setiap puncak dan menangkap awan di antara kabut dan tetesan embun yang membasahi edelweiss. Derap kaki itu miliknya, pemuda yang dijulukinya sebagai lelaki awan di masa putih abu-abu. Pemuda itu yang tak lain adalah seseorang yang telah diselamatkannya dari kecelakaan mobil empat tahun lalu.

Pemuda itu menatap rumah yang dikunjunginya hanya berisi tempat tidur, selebihnya adalah tumpukan buku-buku. Kehadirannya tidak dengan tangan kosong. Tangan kanannya menggenggam sebuah buku, dan sebuah amplop lusuh.

“Almeria. Kau yang menulis buku ini?” Pemuda itu mengangkat buku dalam genggamannya.

Dia balik menatap buku dari tukang kurir yang baru dibukanya. Mereka sama persis. Buku yang dikirimkan senior berperawakan tinggi kurus itu dan buku dalam genggaman pemuda itu, mereka sama. Senior berperawakan tinggi kurus itu ternyata berhasil mengirimkan buah pena miliknya ke salah satu penerbit. Almeria. Dia tidak menggunakan nama pena. Itu nama aslinya. Namanya tercetak jelas di halaman depan buku itu. Buah pena yang ditenunnya selama ini akhirnya berhasil memancing pemuda itu untuk kemari.

“Maaf karena cukup terlambat untuk menerima surat ini dan menemukanmu,” ujar pemuda itu seraya menyodorkan amplop lusuh yang dibawanya bersama buku tersebut.

Dia menimbang-nimbang amplop itu, lalu membukanya. Diambilnya secarik kertas yang tintanya sudah membekas dari balik halaman yang kosong. Dia ingat. Itu surat yang dititipkannya pada seorang teman sebelum dua orang paruh baya pergi membawanya meninggalkan ruangan kelas saat itu.

“Kau tahu berita mengenai kecelakaan mobil yang menimpaku empat tahun silam? Karena itu amnesia menyerangku. Aku mengingatmu setelah seorang reporter dari salah satu media memberikanku buku ini.”

“Amnesia?” Almeria sedikit terkejut dengan pernyataan pemuda itu.

“Ya. Seseorang menyelamatkanku saat itu. Tapi aku belum menemukan orangnya. Siapa dia, di mana tempat tinggalnya, aku tidak mengetahuinya.”

Hilang sudah apa yang diharapkannya selama ini. Bahkan pemuda itu tidak tahu bahwa dialah yang menyelamatkannya. Almeria yang telah menyelamatkannya, tapi ia dituduh sebagai pelaku percobaan pembunuhan atas dirinya dan dijebak ke dalam rumah ini demi kepentingan politik ayahnya. Kebenaran yang dapat dimanipulasi begitu mudah oleh penguasa seperti ayahnya, seseorang yang diberinya sebutan Yang Mulia. Kebenaran yang sudah terkubur dan tak akan diingat ataupun dicari lagi. Bahkan, Yang Mulia perusak kebenaran itu sekarang sudah disibukkan dengan pencalonan dirinya.

Hilang sudah apa yang diharapkannya selama ini. Pemuda yang dipikirnya dapat mengungkap kebenaran yang sesungguhnya, hanya mengingat dia sebagai seorang berlesung ganjil bernama Almeria, teman lama di masa putih abu-abu. Bukan Almeria yang menyelamatkannya dalam kecelakaan mobil empat tahun lalu. Nampaknya, seorang berlesung ganjil itu harus menahan sedikit lagi untuk tetap tinggal di rumah berpintu terali besi pemberian Yang Mulia.***

 

Malang, Maret 2017

Baca Juga: [CERPEN] Senja Datang Terlambat

Hana Photo Verified Writer Hana

Instagram : @mufidafm

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya