[CERPEN] Surat Sastra kepada Akira

Aku takut engkau menghilang jika aku terus menjadi serakah

Dia mengetuk-ngetukkan jemarinya sedari tadi pada tombol-tombol keyboard laptopnya. Namun tak ada satupun kata yang muncul pada layar yang menampilkan microsoft word itu. Writer's block lagi. Ini sudah yang kesekian kalinya. Matanya menerawang ke balik jendela. Hujan deras belum juga berhenti. Lapangan rektorat di seberang nampak lengang. Biasanya, pada waktu sore hari seperti saat ini ada UKM Baseball yang sedang latihan. Tapi hujan mengalfakan mereka. Atau mungkin mereka latihan di gedung indoor.

Sudah satu jam lebih Sastra hanya duduk diam tanpa menuliskan apapun. Dia beranjak, menuju rak-rak buku di seberang. Sastra gadis yang gemar sekali berkunjung ke perpustakaan. Tempat favoritnya ada pada ruangan label putih, kursi di ujung perpustakaan yang satu deret dengan koleksi umum bernomor panggil tiga ratus. Hobinya berkunjung ke perpustakaan meningkat ketika ia mengenal seorang mahasiswa yang menjadi relawan di perpustakaan kampusnya itu. Dia mahasiswa dari jurusan ilmu perpustakaan tingkat sarjana. Sastra sendiri juga mengenyam jurusan ilmu perpustakaan tapi di tingkat diploma. Mahasiswa tersebut selalu berada di perpustakaan setiap tidak ada jam kuliah. Jika sedang tidak ada kelas, setiap pagi dan malam setelah maghrib dia selalu berada di perpustakaan untuk melakukan shelving-penjajaran buku yang sudah dibaca ke rak.

Lantas, mengapa hanya karena mengenal seorang mahasiswa saja tingkat berkunjung Sastra menjadi meningkat? Itu karena Sastra mengagumi sosoknya.

Saat itu Sastra mencari buku berjudul Klasifikasi Persepuluhan Dewey yang kemarin belum selesai dibacanya karena perpustakaan hampir tutup. Saat menghampiri rak buku tempatnya berada, ternyata buku itu tidak ada di sana. Ada dua eksemplar buku dengan judul yang sama. Namun keduanya kosong. Mungkin belum di shelving. Pikir Sastra. Ia pun berinisiatif mengunjungi rak dorong, tempat buku-buku yang baru dibaca akan dikembalikan pada raknya masing-masing. Ada banyak tumpukan buku-buku di sana. Sastra menelitinya satu persatu.

"Maaf, lagi cari buku apa?"

Sastra menengok kepada orang di sebelahnya. "Ah, itu. Saya cari buku Klasifikasi Persepuluhan Dewey. Tadi saya cari di rak tidak ada. Kemarin barusan saya baca, jadi mungkin belum di shelving makanya saya cari di sini." Ujarnya.

"Ooh," jawab orang itu singkat diiringi dengan senyum sekilas. Tangannya mulai mengobrak-abrik buku di rak dorong itu, mencarikan buku yang diminta Sastra.

"Maaf, sampeyan pustakawan di sini?" tanya Sastra memecah keheningan seraya tetap ikut membantu mencari buku yang diinginkannya.

"Saya cuma bantu-bantu di sini. Masih kuliah juga," jawabnya tanpa berhenti meneliti satu persatu buku pada rak dorong di hadapannya. "Kamu mahasiswa ilmu perpustakaan?"

"Eh, iya. Tapi saya ambil tingkat diploma."

"Nah, ketemu." Orang itu menyerahkan buku yang ditemukannya kepada Sastra. "Saya juga mahasiwa ilmu perpustakaan tingkat sarjana, Akira." Dia memperkenalkan diri kepada Sastra dan mengulurkan tangan.

Sastra menerima buku itu. Matanya tidak bisa menyembunyikan kesenangannya. "Eh, saya Sastra. Terimakasih. Maaf jadi merepotkan."

"Ah, tidak apa apa. Ini juga bagian pekerjaan saya di sini."

Itulah awal perkenalan Sastra dengan seorang mahasiswa yang mengaku bernama Akira. Setelah menemukan buku berjudul Klasifikasi Persepuluhan Dewey tersebut, mereka berdua saling mengobrol. Akira adalah seorang yang juga gemar membaca buku. Dia membaca buku apapun. Jika sedang tidak bertugas sebagai relawan atau ada jam kuliah, ia selalu menghabiskan waktu di perpustakaan.

Mereka berdua seringkali saling berbagi cerita tentang masing-masing buku yang mereka baca dan mendiskusikannya. Tak jarang sesekali mereka berdebat tentang ilmu pengetahuan baru yang mereka dapat dari buku-buku tersebut. Sudah lama sekali Sastra memimpikan memiliki seorang teman yang menyukai buku dan bisa nyambung untuk diajak berbicara mengenai buku-buku. Meskipun ia seorang mahasiswa ilmu perpustakaan, namun hampir tidak ada satupun teman yang sama-sama menggilai buku sepertinya.

Dibandingkan dengan Sastra, Akira telah lebih banyak tahu tentang berbagai ilmu pengetahuan. Ia membaca buku apapun, meskipun bacaan favoritnya adalah komik. Berbeda dengan Sastra yang masih dominan membaca novel saja dan jarang menyentuh buku-buku disiplin ilmu tertentu. Jika sudah membaca, Akira akan lupa waktu. Tak seperti Sastra yang seringkali suka ketiduran di perpustakaan. Sejak masih duduk di bangku SMP, Akira telah menjadi relawan di perpustakaan sekolahnya sampai ia SMA. Bahkan Akira mengatakan jika dirinya dulu sering membolos kelas dan lebih memilih menghabiskan jam pelajarannya di perpustakaan. Sekarang pun ia menjadi relawan di perpustakaan kampus. Akira membaca semua jenis buku secara acak dan membacanya bersamaan dalam satu waktu. Tak seperti Sastra yang membaca satu buku sampai habis baru berganti bacaan yang lain.

Kecintaan Akira dengan buku dan pengetahuannya yang luas, membuat Sastra mengaguminya. Ini adalah untuk pertama kalinya ia menemui seorang lelaki yang sangat gemar membaca buku dan menjadikan perpustakaan sebagai tempat favoritnya. Pertemuan yang tidak jarang itupun tak sebatas membuatnya kagum, namun Sastra juga menyukainya.

Mungkin Sastra tidak menyadari bahwa beberapa minggu terakhir ia lebih sering menemui Akira dan memintanya berdiskusi buku bersama. Bahkan terkadang jika Akira masih nampak sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya atau dengan kegiatannya sebagai relawan, Sastra bersedia menungguinya sampai Akira menyempatkan waktu untuk menemuinya walau hanya sebentar. Akira seorang yang cerdas. Ia mudah melihat gelagat Sastra yang dirasanya memiliki kecenderungan kepada dirinya, meskipun Akira belum berani menafsirkan kecenderungan apa yang dimiliki Sastra terhadapnya. Ia pun mulai khawatir kalau-kalau kecenderungan itu adalah perasaan Sastra yang lebih dari sekadar teman terhadap dirinya. Meskipun belum tahu kebenarannya, namun Akira berusaha untuk mulai membuat jarak dengan perempuan itu. Ia khawatir jika kemungkinan yang diperkirakannya benar maka hal itu akan melukai Sastra. Apalagi perempuan itu juga tahu bahwa dirinya sudah memiliki kekasih.

Semenjak Akira memiliki kekasih, pertemuan mereka memang menjadi lebih jarang, tak sesering dulu. Sastra memahaminya. Entah mengapa selalu ada perasaan tidak nyaman dan sesak setiap kali Akira absen untuk berdiskusi buku dengannya. Hatinya mengatakan Sastra memang menyukainya. Tapi akalnya selalu menepis penyataan itu.

Sastra sadar benar, gelagatnya akhir-akhir ini mungkin sedikit membuat Akira tidak nyaman. Ia mulai curiga kalau Akira mengetahui maksud hatinya itu. Sastra pun memilih membuat jarak. Sesekali ia mengurangi jadwal ke perpustakaan. Jika pun singgah ke surga buku itu, ia tidak lagi dengan sengaja menemui atau mencari Akira. Mereka hanya bertemu jika kebetulan saja Akira tengah melalukan shelving buku dan Sastra sedang mencari buku diantara lorong-lorong.

Sastra sering sekali bertengkar dengan dirinya sendiri. Menolak mengakui akan perasaannya terhadap Akira. Akira sudah punya kekasih. Dirinya dan Akira hanyalah sebatas teman untuk bercerita tentang buku-buku. Berulang kali ia mendoktrin hatinya dengan kalimat tersebut. Ia pun mencari kesibukan lain. Menekuni hobi lamanya; menulis. Dia abaikan penyakit writer’s block yang menggerogoti idenya dan menulis secara bebas. Dalam beberapa minggu terakhir ia pun nampak lebih sering membawa laptop ketika ke perpustakaan.

Perempuan itu adalah mantan pers kampus. Dia sempat menjadi staf magang di pers mahasiswa selama satu tahun. Kesibukannya di himpunan mahasiswa membuatnya memilih resign dari pers. Meskipun begitu, jiwa menulisnya masih hidup. Memang ia menjadi jarang menulis dan sering mengalami writer’s block. Ketika berhasil kembali menulis, Ia pun iseng-iseng mengirim tulisannya ke sebuah media massa. Sepertinya hobi lamanya mampu menepiskan pikiran akan perasaannya kepada Akira.

“Wah wah. Ternyata kamu ada di sini toh. Selamat ya, Sastra.”

Sastra menghentikan kegiatan membacanya. Menatap bingung kepada Akira yang tiba-tiba sudah duduk di depannya dalam satu meja baca yang sama, “Selamat atas apa?”

Akira meletakkan koran yang dibawanya di atas meja dan membuka halaman keempat; kolom sastra dan budaya. Sastra melemparkan pandangan pada halaman yang disuguhkan Akira. Ia masih tidak mengerti. Halaman dengan kolom sastra dan budaya tersebut menyuguhkan resensi, puisi dan cerpen. Pandangannya berhenti pada judul cerpen yang dimuat di sana. Sastra hafal benar dengan judul cerpen tersebut. Ia lalu menelusuri nama pengarangnya. Itu namanya. Ada namanya di sana.

“Ah, ini benar tulisanku?” Tidak tahu pertanyaan itu dilontarkan kepada siapa. Ia masih tidak percaya. Bahkan ia saja lupa kalau pernah mengirim tulisannya ke koran tersebut.

“Kau tampak terkejut dan bahagia sekali. Apakah ini tulisan pertamamu yang dimuat di media?”

Sastra mengangguk dengan senyum mengembang. Sudah dua minggu mereka tak saling bertemu. Sekalinya bertemu karena Akira menemukan tulisan Sastra yang dimuat di koran. Mereka pun menyempatkan waktu untuk mengobrol.

Kini, Sastra tak hanya menghabiskan waktunya hanya untuk membaca di perpustakaan. Semakin hari ia semakin gila menulis. Sudah beberapa kali tulisannya dimuat di media massa baik cetak maupun online. Waktu diskusinya dengan Akira pun juga berkurang banyak karena ia tidak melulu menulis di perpustakaan. Seringkali ia duduk seharian di gazebo kampus atau pergi ke taman-taman untuk mencari inspirasi.

Sastra yang dulunya jarang meminjam buku dari perpustakaan karena lebih memilih membaca di dalam gedung perpustakaan, sekarang menjadi lebih rajin meminjam dan membawanya ke taman-taman untuk menjadi tempat istirahatnya saat ia lelah menulis.

Suatu sore, Naya-ketua organisasi himpunan mahasiswa yang digeluti Sastra-meminta untuk bertemu dengannya.

“Katamu ada yang ingin kau bicarakan?” Sastra berbalik bertanya kepada Naya.

“Ah, itu. Aku mendapat undangan perwakilan malam keakraban untuk seluruh mahasiswa ilmu perpustakaan di Indonesia. Acaranya di gelar di Yogyakarta selama tiga hari dua malam. Perwakilan yang dikirim maksimal berjumlah 5 orang. Kau bersedia ikut?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Apa itu berarti mahasiswa di tingkat sarjana juga akan datang?”

“Yaa. Tentu saja mereka juga akan datang.”

Sastra diam sejenak. Ia tahu Akira juga bagian dari pengurus organisasi himpunannya. Ia jadi teringat, satu bulan terakhir dirinya hampir tidak pernah bertemu dengan Akira. Jika ia datang pada acara ini, mungkin Sastra memiliki kesempatan untuk bertemu lagi. Ah, perempuan ini ternyata masih menyimpan rasa kepada relawan perpustakaan kampus itu.

Akira memisahkan diri dari kerumunan teman-temannya dan mencari kumpulan mahasiswa tingkat diploma. “Naya, Sastra dimana?” Tanyanya ketika berhasil menemukan Naya dan kawan-kawan sehimpunannya.

“Eh. Kamu Akira yang dari tingkat sarjana itu kan?” Perempuan berambut panjang itu mengajukan pertanyaan konfirmasi. “Sastra tidak ikut.”

“Iya aku Akira. Tidak ikut katamu? Kenapa?”

“Entahlah. Aku tidak tahu alasannya.” Jawab Naya seraya menggelengkan kepalanya dan mengangkat bahu.

Akira pamit meninggalkan Naya dan kembali kepada rombongannya. Pikirannya menerka alasan apa yang membuat Sastra tidak ikut dalam acara sebesar ini. Dia perempuan yang jatuh cinta dengan perpustakaan dan menyukai buku-buku. Salah satu kegiatan malam keakraban adalah berkeliling perpustakaan di Jogja dan memgunjungi naskah-naskah kuno. Ia pasti akan jadi orang pertama yang kegirangan dengan agenda tersebut. Rasanya tidak mungkin Sastra menolak ajakan untuk kemari tanpa suatu alasan yang sangat kuat untuk mematahkan keinginannya kemari.

Dengan langkah-langkah malas, Sastra menuntun kakinya menuju perpustakaan kampus. Tidurnya semalam hanya cukup untuk menghentikan pertengkaran sementara, bukan mendamaikan kedua kubu; pikiran dan perasaannya. Sesampainya di perpustakaan, ia menghampiri rak-rak khusus surat kabar. Mengecek terbitan hari ini. Ia temukan cerpennya yang baru dikirim dua minggu yang lalu telah dimuat. Bukannya senang seperti biasanya, firasatnya sedikit tidak enak setelah menemukan cerpen itu dimuat di surat kabar. Itu adalah cerpen yang ditulisnya untuk mengkritisi birokrasi di fakultasnya. Bahasanya juga sangat kentara dan memberi penekanan terhadap fakultas yang ditujunya.

Ia menepikan akan firasatnya itu dan kembali ke kosannya. Hari ini Sastra tidak berminat membaca di perpustakaan. Ketika ia sampai di depan gerbang kosnya, ada mobil polisi terparkir di sana.

“Maaf, bapak-bapak ini mencari siapa ya?” Tanya Sastra sedikit gugup kepada dua orang paruh baya yang sudah melongok di depan gerbang entah sejak kapan.

“Kami dari kepolisian sedang mencari Saudari Sastra Kirana. Apakah saudari mengenalnya?”

Sastra terkejut. Itu adalah nama lengkapnya. “Maaf pak. Itu adalah saya. Saya yang bernama Sastra Kirana.” Jawabnya dengan kedua tangannya gemetar.

“Saudari Sastra Kirana, Anda kami tangkap atas tuduhan pencemaran nama baik melalui tulisan Anda yang terbit pada hari ini, 21 Januari 2018.”

“Tapi pak…”

Ucapan Sastra dipotong oleh dua orang paruh baya berseragam polisi itu. Mereka membawanya masuk ke dalam mobil. Sesampainya di kantor polisi, Sastra masih terus melakukan pembelaan dan tetap diabaikan.

Akira kembali melakukan kesibukannya sebagai relawan sepulang dari Jogja. Ia sempatkan waktu untuk menelusuri seluruh ruangan, berharap menemukan Sastra pada salah satu meja baca. Nihil. Dia tidak menemukan perempuan itu. Sudah satu bulan lebih mereka tak bertemu. Akira juga ingin menanyakan alasan perempuan itu tidak menghadiri malam keakraban. Berulang kali ia berkeliling, tetap saja nihil. Saat tengah beristirahat di meja layanan, seorang office boy menghampirinya.

“Mas Akira. Maaf saya baru ingat, ini kemarin ada surat dari kepolisian. Saya kira ditujukan ke perpustakaan karena dikirimnya menggunakan alamat perpustakaan. Eh, setelah saya baca lagi ternyata ditulis di amplopnya kalau itu buat mas tapi memang sengaja dikirim kemari.” Bapak-bapak office boy itu menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat kepada Akira.

Akira menerima surat itu dan mengucapkan terimakasih. Aneh. Untuk apa kepolisian mengirim surat untuknya? Lalu mengapa surat tersebut dikirim menggunakan alamat perpustakaan kampus? Apa karena mereka tidak tahu alamat kontrakannya? Tapi bagaimana mereka tahu bahwa dirinya menjadi relawan kampus sehingga bisa mengirim surat kemari? Beragam pertanyaan mengganggu pikiran Akira. Ia pun bergegas menyobek ujung amplop bersampul cokelat itu dan mengambil kertas di dalamnya. Akira mulai membacanya…

 

Cintakah itu, ketika yang mencinta tak berkenan bertemu dengan yang dicinta?

Aku tidak tahu, aku takut menafsirkannya sebagai cinta.

Aku memang menyukai perpustakaan dan buku-buku. Aku memang memimpikan menghadiri malam keakraban itu dan bisa berkeliling mengunjungi perpustakaan di kota istimewa itu. Tapi perasaanku terhadapmu mengalahkannya.

Kita sudah sempat berjarak. Nampaknya karena engkau mendapatiku menginginkanmu. Sebab itulah aku memutuskan tidak datang. Tiga hari dua malam adalah waktu yang terlalu panjang bagiku untuk melihat wajahmu.

Aku takut tidak mampu menahan diriku. Aku takut terguncang dan tidak mampu menahannya. Aku takut engkau menghilang lagi jika aku terus serakah akan dirimu.

Nampaknya aku memang mencintaimu, sebab itulah aku tak berkenan bertemu denganmu. Cinta itu tidak serakah, bukan?

 

Salam,

Sastra Kirana

 

Aku takut engkau menghilang lagi jika aku terus serakah akan dirimu. Akira membaca bagian itu berulang-ulang. Kata serakah agaknya terlalu berlebihan. Tidak menyangka bahwa Sastra akan melakukan sampai sejauh ini hanya karena ia takut menjadi serakah, terguncang dan tidak bisa menahannya. Perempuan itu berusaha menghapusnya sendirian.

Tapi, mengapa mengirim surat ini dari kantor polisi? Apakah sesuatu terjadi? []

 

Malang, Maret 2018

Hana Photo Verified Writer Hana

Instagram : @mufidafm

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya