#MahakaryaAyahIbu: Sudah Masak Nasi Kita?

Semua kenangan dan cerita canda dan tawa bersama ayah akhirnya berakhir.

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


Tetesan  embun basahi rerumputan di pagi ini. Duduk di bawah pohon yang rindang mengajarkan betapa perlunya untuk berdiri tegar dan siap menghadapai segala angin dan tantangaan yang siap akan menerjang. Memandang jauh kedepan. Memandang jauh bahwa kita pernah hidup dimasa lalu dan kita juga akan hidup dimasa depan. 

*****

Sudah Masak Nasi Kita? kalimat ini selalu terlintas di dalam pikiranku saat aku merindukan ayah. Kalimat yang ingin aku dengarkan kembali dari bibir seorang ayah. Walaupun itu tidak akan pernah terjadi.  Kalimat yang selalu terucap saat ayah sudah mulai lapar di sela kerjanya.

Kalimat ini sering ayah ucapkan kepadaku karena di tempat usaha ayah, hanya kami berdua yang tinggal disana. Pekerja yang membantu usaha ayah juga datang pagi dan pulang sore. Aku tinggal berdua sama ayah selama Aku masih duduk di bangku SMP. Selama tiga tahun banyak moment bersama yang tak bisa aku lupakan sampai saat ini dan sebaliknya justru membuat hati  semakin sakit jika terkenang peristiwa itu. Tiga tahun bersama ayah, aku mengenal bagaimana sosok ayah yang sesungguhnya. Aku bisa melihat begitu besarnya pengorbanan, rasa cinta dan tanggung jawab ayah begitu kokoh tak tertandingi untuk memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya.

*****

Kriing…Kring.. Begitu suara telepon genggamku di sore itu, suara yang menjadi pengundang air mata yang tiada hentinya keluar dari mata ini. Salah Seorang keluarga meneleponku dan memerintahkan untuk membersihkan rumah karena sebentar lagi mereka akan datang bersama ayahku. Tepatnya jasad ayahku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Seluruh tubuh ini rasanya tidak berdaya. Nafas dalam Tubuh terasa terhenti, tidak percaya bahwa aku akan kehilangan seorang ayah dari kehidupanku. Aku bisa berdiri sampai saat ini adalah hasil dari Mahakarya Ayah. Orang yang selalu menuntunku, yang tangannya siap dipegang saat aku terjatuh yang bahunya selalu siap aku sandari disaat aku tidak berdaya.

Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang paling menyedihkan sepanjang hidupku. Perisriwa yang harus aku hadapi walaupun aku tidak terima.  Tak sanggub mata ini membendung air mata saat mengingat ayah.  Tepat di hari Rabu 20 Oktober 2010, Semua kenangan dan cerita canda dan tawa bersama ayah akhirnya berakhir tanpa ada kesepakatan sebelumnya.

Peristiwa tersebut menjadi hari terakhir dimana ayah melihat indahnya hasil perjuangannya. Hari di mana ayah akan pergi meninggalkan kami untuk selamanya, dan ayah akan kekal  hidup bersama-Nya. Hidup di tempat yang paling indah, yang semua orang menginginkannya yaitu surganya Allah SWT.

*****

Lama sekali aku tak berdaya dengan dasyatnya peristiwa itu. Lama sekali kami tak berbuat apa setelah  kejadian itu. Ayah yang menjadi pendorongku yang selalu mengatakan bisa saat aku berfikir tidak bisa, yang selalu mengatakan bangkit disaat aku sedang terpuruk. Sejak Peristiwa meninggalnya ayahku. Hanya air mata yang menjadi teman di hari-hariku. Begitu berlinang air mataku  saat melantunkan kata dan kenangan tentang ayah.  Air mata menemani aku saat merangkai kata ini.

Lama berlarut seperti tanpa tujuan menjadi temani hidupku. Lama terdiam takdapat berbuat apa akhirnya aku bangkit dengan melihat perjuangan ibuku. Ibu tak pernah mengeluh tentang kejadian ini. Ibu tetap tegar dan mejadi penopang kami untuk selamanya. Kini hanya ada sepasang tangan yang menjadi pegangan saat terjatuh yaitu sepasang tanggan ibu. Kini hanya ada satu bahu yang akan menjadi pelampiasan kelelahanku yaitu bahu ibuku.

Secara perlahan aku mulai bangkit dan berusaha untuk mengiklaskan semuanya, aku menjadi termotifasi karena perjuangan ibuku. Aku bangkit dari titik terendah, aku berjalan dari lama diam, aku berjanji akan menjadi orang yang lebih baik. Kini hanya ada satu mentari yang menyinari dan  menghiasi perjalananku yaitu senyuman Ibu. Rembulan yang dulu terang kini telah redup bersama ayah. Aku akan buat bangga Mentariku. Aku akan berikan Mahakarya terbaik di masadepan untuknya..

Nasi kita sudah masak ayah,  ayo kita makan bersama

Salam rindu buat ayah.

 

Muhtar Ardansah Munthe Photo Writer Muhtar Ardansah Munthe

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya