[CERPEN] Kenangan Terakhir di Taman Dandelion

Andai kau tak pergi, kita pasti masih bisa bermain bersama

“Dandelion...Dandelion…Dandelion”

Nama bunga liar itu terus terucap di setiap langkah kaki kecil gadis berusia sepuluh tahun itu. Rambut putih pendeknya berayun-ayun karena terpaan angin sepoi-sepoi sehingga hal itu terlihat menggemaskan.

Gadis kecil itu tiba-tiba berhenti ketika dirinya sampai di padang luas berisi hamparan bunga Dandelion. Mata hijau bak kelereng itu menyusuri sekitar. Hingga tatapannya terpaku pada sosok anak laki-laki yang tengah duduk sambil bermain bunga.

“ Ah ketemu!” serunya.

Ia segera berlari ke arah anak laki-laki bersurai pirang itu. Dirinya tidak memedulikan serpihan kecil Dandelion yang beterbangan akibat gerakan aktifnya. Sesampainya di depan anak laki-laki, si gadis kecil menyapanya.

“ Selamat pagi, Theo!” sapanya.

“ Laina, selamat pagi,” jawab Theo pada Laina.

Setelah menyapa satu sama lain, mereka berdua mulai asyik bermain. Berlarian di padang bunga hingga membuat perhiasan dari bunga Dandelion. Theo dan Laina terlihat sangat bahagia.

Hingga hari menjelang siang. Laina berniat pulang ke rumah, namun, Theo mencegahnya. Terlihat dirinya ingin mengatakan sesuatu.

“ Ada apa Theo?” tanya Laina.

Umm itu, aku ingin mengatakan padamu bahwa besok aku akan pergi,” jawab Theo.

“ Pergi? Theo mau kemana?” tanya Laina lagi diikuti dengan raut wajah sedih.

“ Itu, ayah dan ibu ada pekerjaan penting, jadi mereka mengajakku pergi bersama,”

“ Tapi, tapi, nanti kita masih bisa bermain, kan? Iya, kan?!”

Theo hanya menggeleng lemah. Melihat itu Laina memeluk Theo. Mereka berpelukan sambil menangis.

Namun, itu tak berlangsung lama. Laina menggandeng tangan Theo dan mereka sepakat untuk pulang bersama.

Keesokan harinya, Theo dan keluarganya berpamitan kepada keluarga Laina. Mereka saling berpelukan sebagai bentuk perpisahan.

“ Theo janji, sepulang dari tempat yang jauh kita akan bermain di taman Dandelion lagi,” ucap Theo.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“ Janji?”

Umm...

Bohong.

Itu hanyalah ucapan manis dari seorang anak kecil.

Semenjak hari itu semuanya berubah. Malam hari keluarga Laina mendengar kabar bahwa pesawat yang ditumpangi keluarga Theo mengalami kecelakaan.

Hingga akhirnya ia diberitahu fakta tersebut dari kedua orangtuanya setelah lima tahun berselang. Apa yang ia dengar pun tak elak membuatnya menangis seharian.

---

Dua tahun berlalu, tampak seorang perempuan berdiri di taman yang dulunya berisi ribuan Dandelion. Mata hijaunya yang kosong menatap sendu pada setangkai Dandelion yang masih berdiri tegak di tempat Theo duduk dulu. Perlahan tapi pasti ia berjalan ke arah bunga itu diikuti dengan cahaya matahari yang mulai menyinari kota.

“ Theo, aku mau tanya,”

“ Tanya apa?”

“ Andai kau terlahir lagi di dunia, kau mau jadi apa?”

“ Umm, apa, ya? Ah, aku mau jadi bunga Dandelion!”

“ Kenapa menjadi bunga Dandelion?”

“ Karena Laina menyukai bunga Dandelion. Jadi, Theo ingin Laina juga menyukai Theo!”

Laina terduduk di depan setangkai Dandelion itu. Setetes air mata jatuh melewati pipinya. Sinar matahari yang mengenainya tak sekalipun ia gubris.

“ Theo, aku datang!”

‘ Terimakasih, Laina.’

Baca Juga: [CERPEN] Kain Hitam dalam Jiwa

Nana Lilian Photo Writer Nana Lilian

"Mewujudkan seluruh imajinasi dalam bentuk tulisan"

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya