[CERPEN-AN] Benci Jangan Dibalas Benci

Gak perlu kan kamu harus ikut benci mereka yang benci kamu~

Dulu aku begitu menyukai saat-saat aku harus bersekolah. Saat-saat aku akan menyapa teman-temanku saat berangkat dan pulang sekolah. Namun sekarang, untuk melangkahkan kaki melewati gerbang ini pun, rasanya benar-benar terasa begitu berat. Perasaan takut, cemas, hingga rasa sakit hati terus menghantuiku.

Mereka yang dulu begitu senangnya saat dekat denganku, kini berbalik memandang sinis hingga bahkan terlihat jijik denganku. Tau karena apa? karena aku kini menyandang status sebagai anak koruptor.

Cacian hingga kontak fisik sering sekali aku dapatkan semenjak ayah mendapatkan tuduhan itu. Bahkan sempat ada niatan untuk aku meninggalkan sekolah ini, jika saja bukan karena beasiswa yang berhasil aku dapatkan di sekolah ini, karena ayah memang rajin sekali menyumbangkan dana di sekolah ini dulu.

"Yang salah itu ayah! Kenapa aku yang dihakimi!" teriakku melampiaskan segalanya di atap sekolah yang mungkin menjadi satu-satunya tempat di sekolah ini yang masih menerima kehadiranku.

***

Krriiingg!!!

Bel masuk pun berbunyi dengan kencangnya. Ahh...helaan nafas ini sepertinya cukup untuk menggambarkan betapa malasnya aku untuk masuk ke kelas yang kini mungkin seperti lubang neraka untukku.

Dengan langkah gontai dan berusaha untuk tidak menghiraukan bisikan-bisikan di arah sekitarku, akupun langsung menduduki kursi pojok yang terlihat begitu jauh dari bangku lainnya. Mungkin kursi ini bisa terbilang sebagai kursi terkucilkan, seperti nasibku saat ini.

"Bulan, tolong bantu ibu isikan spidol ini" ujar guru matematika yang kini tengah mengajar. Namun aku enggan mendengar dan berpura-pura tertidur. 

"Kalo manggil dia itu harus kayak gini bu"

Buukk!! Sebuah tendangan kuat pada kursi yang kududuki berhasil membuat kepalaku yang kutidurkan di atas meja terbentur seketika. Hal itupun cukup membuat gelak tawa langsung meramaikan seisi kelas ini.

"Sudah diam semuanya!!" teriak guruku berusaha menenangkan kelas kembali.

Tak ingin mendengar namaku dipanggil untuk kedua kalinya, akupun langsung berdiri untuk menuruti perintah guruku itu. Namun belum sempat sepenuhnya berdiri, breett!!! terdengar bunyi robekan pada rok yang kini tengah ku kenakan. Gelak tawa pun kembali meramaikan kelas.

Merasa tindakan yang mereka lakukan ini sudah sangat keterlaluan, akupun membanting mejaku yang sukses membungkam tawa yang tadinya begitu terlihat sangat ramai.

Tes.. namun ternyata aku tak cukup berani untuk menyuarakan apa yang sebenarnya ingin sekali aku teriakkan pada mereka saat ini. Tangisan yang entah sudah keberapa kalinya aku keluarkan, kembali keluar hari ini. Dan aku hanya bisa melarikan diri menuju tempat yang dapat menyembunyikan tangisanku ini.

Lagi-lagi aku harus berakhir di atap sekolahku ini. Menerbangkan pesawat-pesawat dari kertas yang memang kusimpan di salah satu sudut atap sembari menunggu tangisku reda dengan sendirinya.

"Boleh ikut dong."

Kuhentikan tanganku yang sudah siap menerbangkan pesawat kertas buatanku ini karena suara yang tampak begitu asing di telingaku. Akupun spontan melihat ke sosok laki-laki yang kini tengah terlihat duduk di sampingku.

"Gak takut duduk sama aku? semua anak di sekolah ini kan nganggep aku sampah" ujarku dengan senyuman simpul.

"Badan kecil kayak kamu, paling kalau gigit juga gak bakalan sakit" ujar laki-laki tersebut dengan nada santai.

"Harusnya kalaupun kamu punya banyak tenaga, kamu pakai tenaga itu untuk ngelawan mereka yang terus-menerus ganggu kamu, Bulan"

Tak dapat menutupi rasa terkejutku, aku pun spontan menatap tajam ke arah laki-laki yang terlihat tidak seperti siswa di sekolah ini. Bagaimana mungkin ia mengetahui namaku, pikirku dalam hati.

"Sampai kapan kamu nangis, terus marah-marah padahal gak berguna kalau gak ada yang dengerin apa yang pengen kamu ucapin ke mereka itu,"

Dan bagaimana dia tahu tentang apa yang terjadi padaku saat ini.

"Siapa sih?!" ujarku mulai kesal dengan ucapan laki-laki ini.

"Saga" ujarnya mengulurkan tangannya padaku sembari tersenyum.

Alih-alih membalas uluran tangannya, aku segera beranjak dari dudukku untuk segera pergi meninggalkan orang aneh ini.

"Waitt!!" ujarnya berseru padaku. Dan anehnya, aku mengikuti ucapannya itu dan menghentikan langkahku seketika.

"Rok kamu kan bolong" ujarnya lagi sembari mengikatkan jaket yang dikenakannya untuk menutupi rok bolongku.

"Makasih sebelumnya, tapi..."

"Udah pake aja, kelasku di lantai dua pojok. Kamu bisa kembaliin ke aku besok" ujar laki-laki yang bernama Saga itu sembari tersenyum ke arahku. Entah kenapa, senyuman tulus itu tak pernah sekalipun aku dapatkan selama ini, kecuali saat ini.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Besok setiap istirahat pertama, kita harus ketemu di sini. Aku akan bantu kamu, untuk bisa melawan semua ketidakadilan yang kamu dapetin saat ini. Ini bukan permintaan, tapi ini perintah. Jadi mau gak mau, suka gak suka, kamu harus ke sini nemuin aku. Oke!" diusapnya pelan kepalaku olehnya, sembari berlalu pergi meninggalkanku yang masih mematung tak mengerti dengan ucapannya barusan.

Awalnya, aku terlihat tidak yakin dengan bantuan yang ditawarkan oleh laki-laki bernama Saga itu. Namun hari ini, aku ternyata memilih untuk memastikan ucapannya itu dan langsung menuju ke atap. Dan benar saja, aku benar-benar melihat kehadiran Saga yang langsung melambaikan tangannya begitu melihat kehadiranku saat ini. Ia pun menghampiriku dan menyuruhku duduk.

"Jadi hal pertama yang harus kamu lakukan yaitu pembuktian"

"Pembuktian?" tanyaku tidak begitu mengerti dengan ucapan dari Saga ini.

"Gak perlu kan kamu harus ikut membenci mereka yang benci kamu, karena itu akan membuat kamu jadi sama seperti mereka. Jadi kita harus bermain pintar, buat balas semua cacian mereka itu dengan hal yang lebih menguntungkan buat kamu"

"Mereka meremehkan kamu karena kamu dianggap sama seperti ayah kamu, tapi kalau kamu bisa berprestasi dan ikut berbagai event hingga organisasi sekolah, aku yakin itu perlahan-lahan bisa mengubah pandangan mereka ke kamu. Mereka akan memandang kamu..."

"Bermartabat, pintar, dan bukan seorang sampah yang hanya akan menjadi benalu untuk sekolah ini" ujarku mulai paham dengan apa yang dimaksud oleh Saga.

Saga pun mengangguk bangga dengan ketepatan otakku untuk berpikir saat ini.

"Jadi aku harus mulai dari mana dulu?" tanyaku mulai tertarik dengan rencana Saga ini.

"Aku denger kamu pintar gambar kan, jadi kamu harus ikut event ini"
Saga mengulurkan sebuah poster lomba menulis komik yang diadakan oleh organisasi OSIS di sekolah ini.

"Dari mana kamu tau aku pintar gambar?" tanyaku penasaran dengan semua yang Saga ketahui tentangku.

"This is you, right?" Saga kembali mengulurkan sebuah koran yang menampilkan berita saat aku pernah memenangkan lomba menggambar. Akupun hanya tersenyum kagum dengan satu lagi kecekatan Saga dalam mendapatkan informasi tentangku.

Awalnya aku sempat ragu apakah harus mengikuti lomba ini atau tidak. Namun Saga menyakinkanku dan mengatakan kalau aku pasti dapat memenangkan perlombaan ini. Namun, keyakinan Saga itu ternyata tidaklah sama seperti seisi sekolah ini yang kini tampak memandangiku dengan sinisnya saat aku hendak mendaftarkan diriku.

Hingga hari perlombaan itu pun, tatapan-tatapan sinis itu masih terus menghakimiku. Namun aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Dan ternyata, perlombaan itu membawaku mendapatkan juara kedua. Tentu saja itu benar-benar kejutan luar biasa untukku.

Dan persis seperti yang dikatakan Saga, perlahan tatapan-tatapan orang-orang di sekolah mulai terlihat lebih ramah padaku, meski hanya sebagian.

"Sekarang apalagi?" tanyaku pada Saga dipertemuan kami selanjutnya.

"Kamu harus dapet nilai bagus di ulangan matematika minggu depan"

"How did you know?" tanyaku lagi, masih dengan tatapan heran.

"Ada pengumumannya Lan di mading sekolah" ujar Saga lagi memperlihatkan kertas yang mengumumkan bahwa akan diadakan ulangan matematika di beberapa kelas, termasuk kelasku.

Saga kembali membantuku belajar beberapa hari ini. Dan benar saja, begitu nilai ulangan diumumkan, meski tidak mendapatkan nilai seratus sempurna, namun aku menjadi salah satu murid yang masuk lima besar nilai tertinggi di kelas.

Dan salah satu usahaku ini kembali membawa dampak positif pada beberapa teman-teman dikelasku. Bahkan beberapa ada yang mulai tidak lagi menjauh saat aku datang mendekatinya.

***

Tiga bulan berlalu begitu saja, aku berhasil mendapatkan peringkat ketiga di kelasku, aku berhasil menjadi salah satu anggota divisi kesehatan di OSIS, dan akupun berhasil menjadi perwakilan sekolah dalam lomba seni menggambar tingkat nasional.

Cacian, hinaan, hingga kejahilan-kejahilan yang dulu sering sekali aku terima, perlahan mulai tidak pernah lagi aku dapatkan. Bahkan kini, aku dapat dengan bebas memilih tempat dudukku tanpa harus terus duduk di kursi pojokan itu.

Cacian, hinaan, hingga kejahilan-kejahilan yang dulu sering sekali aku terima, perlahan mulai tidak pernah lagi aku dapatkan. Bahkan kini, aku dapat dengan bebas memilih tempat dudukku tanpa harus terus duduk di kursi pojokan itu.

Ucapan Saga semuanya hampir terbukti benar. Menaruh kebencian pada setiap kebencian yang kita dapatkan ternyata memang tidak akan pernah menyelesaikan masalah pembullian.

Saga harus pindah sekolah satu bulan yang lalu ke kota lain. Tentu saja aku sedih karena harus kehilangan teman yang akhirnya bisa merubah kehidupan kelamku dulu.

Namun kami berdua sama-sama berjanji, kalau kami akan bertemu kelak saat kami telah sukses nanti. Aku pun berjanji untuk terus menjadi kuat, dan tidak lagi menjadi seorang pecundang yang hanya pasrah saat orang-orang menginjak-injakku.

***

Magelang, 18 April 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Otak Cakap, Mulut Bungkam

Niswa Aulia Photo Verified Writer Niswa Aulia

Kastil Imaji

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya