[CERPEN] Percakapan Hujan yang Turun 

Kisah anak rinai dan ibunya

"Ibu, aku takut untuk turun, aku takut bumi tak seindah langit, aku takut bumi tak senyaman awan, aku takut bumi tak seramah pelangi."

Kata-kata itu terus terucap dari anak rinai kepada sang ibu. Ini adalah hari pertamanya untuk turun sebagai rintik hujan. Sang ibu yang mendengar kecemasan akan anaknya tersebut hanya tersenyum.

"Jangan takut, dalam perjalananmu nanti kau akan menemukan banyak hal yang tidak bisa kau temukan di langit," ujar sang ibu kepada anak rinai.

TENG!! TENG!!  

Suara lonceng akan turunnya hujan ke bumi sudah dibunyikan. Semua pasukan hujan sudah mulai bersiap. Petir mulai menyambar, para pasukan awan hitam sudah bersiap pada posisinya.

BRESSS!! 

Suara hujan yang turun sudah mulai bergemuruh deras. Sang anak rinai masih diselimuti oleh perasaan cemas dan takut. Sang ibu yang melihatnya lalu berusaha menenangkan sang anak rinai. 

"Lihatlah nak, bukankah bumi terlihat begitu mengagumkan dari atas sini?" tanya sang ibu pada anak rinai

Anak rinai lalu melihat bumi dari tempatnya. Rasa takut dan cemasnya mulai pudar berganti dengan kekaguman. 

"Ibu, warna biru yang begitu luas itu terlihat seperti langit," ujar sang anak rinai

"Itu adalah laut, hujan yang turun semuanya pada akhirnya akan berada di sana. Berkumpul menjadi satu."

Sang anak rinai yang masih penasaran kembali bertanya pada sang ibu, "Tetapi, bukankah kita tidak berwarna, bagaimana mungkin bisa menjadi biru seperti itu?"

"Warna biru yang dihasilkan oleh laut adalah hasil dari serapan cahaya matahari. "

Belum puas dengan jawaban sang ibu, anak rinai kembali bertanya, "Bukankah matahari berwarna merah? Mengapa warna yang diserap dapat berubah menjadi biru?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Karena cahaya merah yang diserap oleh laut tidaklah banyak. Tapi laut dapat juga berubah menjadi warna merah pada saat cahaya matahari tenggelam"

Anak rinai yang masih belum paham akan penjelasan sang ibu mulai mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang tampak bergerombol dan berwarna hijau.

"Ibu, sesuatu yang tampak berwarna hijau itu apa, Bu?" tanya anak rinai lagi.

"Itu adalah pohon, merekalah yang akan membantu kita kembali ke awan."

"Bagaimana caranya, Bu?" tanya anak rinai penasaran.

"Akan terjadi proses penguapan yang membawa kita kembali ke awan dan kembali menjadi rintik hujan."

Lagi-lagi anak rinai kembali mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang terlihat tinggi menjulang dan dikelilingi oleh pohon.

"Kalau yang tinggi itu apa Bu?"

"Itu namanya gunung, di dalamnya terdapat berbagai macam makhluk hidup yang tinggal. Bukankah gunung terlihat baik? Tanpa pamrih ia rela menjadi pelindung, tempat berteduh bagi semua makhluk hidup yang menggantungkan hidup pada tubuhnya tersebut.

"Tidakkah bumi terlihat indah nak? Tidakkah kau lihat, bumi begitu menakjubkan dengan segala isinya?" ujar sang ibu pada anak rinai. "Bumi pun membantu kita agar bisa kembali ke awan."

Sang anak rinai lalu tersenyum. 

"Iya Bu, bumi tak kalah indah dari langit. Kini aku benar-benar penasaran apa saja yang ada pada bumi," ujar sang anak rinai antusias.

Tak terasa perjalanan panjang anak rinai dan ibunya telah sampai ke bumi, mereka mengalir dengan sangat tenang. Sang anak tinai terus berusaha mengenali segala hal yang ada di bumi. Indahnya langit yang dihiasi oleh pelangi terlihat sangat indah dari bumi.

Sang anak rinai sadar, baik langit maupun bumi semuanya memiliki keindahannya masing-masing. Indahnya langit melengkapi keindahan yang tak ada di bumi, dan indahnya bumi melengkapi keindahan yang tak ada di langit. 

Baca Juga: [CERPEN] Wajah Transparan

Kastil Imaji Photo Verified Writer Kastil Imaji

Instagram: @kastil.imaji

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya