[CERPEN] Bahagia Berbalut Luka

Ketika malam pernikahan harus di isi dengan tangisan

Senja menjelang menjemput malam dengan untaian bintang, menemani bulan yang seolah kesepian. Tawa yang kian larut dalam angin malam menerbangkan bahagia pada orang di sekitar. Dan di sinilah aku berada saat ini, di tengah orang yang kian tertawa sampai lupa waktu. Aku dan para keluarga besarku. Berkumpul menjadi satu mengadu nasib dari perantauan di negeri orang.

Azan bergema nyaring, memacu setiap orang untuk menyebut nama-Nya dalam hati sanubari sambil melangkahan kaki menuju rumah yang kian bersinar oleh suara Azan dan dengungan Alquran.

Tawa itu terhenti seiring lantunan Azan yang kian meninggi. Membuat kami mengikuti langkah orang-orang yang kini sudah beranjak ke mesjid. Salat dan memohon pada yang satu akan kelancaran acara besok. Ya, acara. Besok adalah tepat di mana acara pernikahan kakak sepupuku berlangsung, yang juga menjadi alasan kami sekeluarga besar dapat berkumpul dan saling mengejek satu sama lain. Mengundang ratu tawa untuk memberikan kami tawa yang tidak akan sirna.

Seperti kata pepatah: “Tawa akan mengiringi tangisan dan tangisan akan mengiringi tawa” entah hukum apa itu, aku sendiri tidak tahu. Tapi aku tidak cukup bodoh untuk percaya itu. Hingga seorang pamanku datang ke rumah sesudah salat Maghrib memberikan informasi bahwa nenekku kembali kambuh.

Aku memang memiliki seorang nenek lagi yang sudah cukup tua, tapi di usianya yang sudah hampir berkepala 9 ia memang terbilang cukup sehat. Bahkan tadi siang saat aku ke rumahnya ia masih sibuk menyuruhku untuk mencarikannya baju untuk acara pernikahan cucu kesayangannya itu.

Tentu informasi itu membuatku tidak percaya, tapi mengingat pamankulah yang memberikan informasi tersebut membuatku bergegas menuju rumah nenek yang memang hanya berjarak beberapa rumah dari rumahku sendiri. Dan sepertinya aku memang harus percaya. Melihat banyaknya orang di rumah itu, terutama isakan tangis yang entah dari siapa. Aku tidak tahu.

Perasaanku mulai berkecamuk, memikirkan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh kupikirkan. Tapi pikiran itu datang menghampiriku, mengingatkanku akan baktiku yang belum banyak pada sesorang yang telah melahirkan seorang laki laki hebat yang kupanggil ayah. Sungguh aku tak kuat.

Aku memandang ke depan, tepat dimana kini ia terbaring lemah dengan beberapa leguhan kecil. Membuat atmosfer di sekitar menjadi jadi. Teriakan yang cukup nyaring membuat aku beralih menuju kamar.

Di sana kudapati adik sepupuku yang terbaring lemah dengan tangan yang memegangi dada. Aku semakin mendekat tapi ayahnya menyuruhku menjauh karna takut aku tertular. Dan hal ini membuatku bingung, aku tak mengerti apa yang kini tengah terjadi dan yang lebih bodohnya lagi aku tidak dapat membaca situasi saat ini.

Aku bergegas menuju kakak sepupuku yang lain bertanya padanya akan apa yang kini tengah terjadi. Ia mengatakan ada sesuatu yang mencoba masuk ke dalam tubuh adik sepupuku. Dan hal ini makin membuatku bingung, terutama pada kata "sesuatu" itu. 

Keadaan makin menjadi jadi saat kakak sepupuku yang akan menikah besok membacakan surat Yasin tepat di telinga nenek membuatku semakin takut jika aku akan kehilangan satu-satunya nenek yang masih kupunya.

Ingin rasanya ku menangis tapi entah kenapa tak bisa. Seperti ada sesuatu yang menahan isakan tepat di dadaku membuat nafasku terdengar sesak. Tangan dan tubuhku terasa dingin dari dalam, tapi aku mencoba menghiraukan rasa itu. Karena ini bukanlah saat yang tepat di mana semua orang meneteskan air mata, sambil mencoba mengrimkan doa terbaik, termasuk diriku.

Lantunan ayat kursi serta shalawat seakan terucap tanpa ku suruh membuat hatiku sedikit tenang. Hingga seorang tanteku datang dan mengatakan anaknya mengalami hal yang sama dengan yang di alami adik sepupuku tapi lebih parah. Membuat aku menegang tak dapat bergerak. Sebagian orangpun beralih menuju rumah tanteku yang memang bersebelahan dengan rumah nenek.

Apalagi ini Tuhan?

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Hatiku terus membatin, aku tidak dapat mencerna dengan otak sehatku kejadian saat ini. Sesuatu yang mencoba masuk ke dalam diri manusia, mempengaruhi jiwa yang sedang dihinggapinya. Sesuatu yang mereka katakan dengan mahluk halus.

Sungguh benar-benar tidak dapat dicerna oleh akal sehat manusia. Tapi inilah adanya, inilah kenyatanya mereka ada dan hidup sangat dekat dengan kita. Aku percaya dan memang harus percaya. Karna jika tidak, untuk apa sekarang aku hidup menyebut nama tuhan yang juga mahluk gaib yang tidak dapat dilihat oleh indra manusia. 

Aku masih terdiam seolah terbekukan oleh dinginnya angin malam. Menyatukan kedua tangan lalu saling menggenggam kuat. Sentuhan ringan di pundakku membuat aku mendongak. Menemukan sepupuku yang sejak tadi menemaniku, ia mengajakku untuk melihat anak tanteku yang di rumah sebelah. Aku pun mengiyakan susudah mewanti-wantinya untuk tidak meniggalkan aku saat tiba di sana.

Kami bergegas, lautan orang orang yang juga ingin tau telah menyambut kami tapi mereka berusaha menyingkir saat kami ingin melihat. Dan di depan sana ia terdiam dengan kepala tertunduk dengan di pegangi oleh beberapa orang. Tapi masih terlihat jelas denganku pandangannya sungguh kosong bak seorang yang tidak punya harapan hidup.

Tangannya pun tegang seakan ingin melawan tapi tertahan oleh dua tangan yang kini membekapnya. Lantunan Alquran pun mengiringi semuanya. Semua yang kaku menyaksikan apa yang terjadi. Hingga aku merasa atmosfer di sekitarku memanas, aku tidak tahu itu di rasakan oleh semua orang atau mungkin hanya aku tapi yang jelas rasa panas itu merasuk dan bercampur dengan dingin yang telah menemaniku sejak tadi. Membuat tubuhku panas dingin tak menentu.

Aku beranjak dari sana sambil mencoba menarik tangan sepupuku itu, aku tak kuat jika harus lebih lama lagi di sana. Melihat tubuh tegangnya dan menyaksikan hal aneh apalagi yang akan segera menjelang. Menceritakan apa yang tadi aku alami, tapi ia hanya menyuruhku untuk tetap tenang. Entah perasaanku saja, tapi aku merasa jika ia juga merasakannya tapi berusaha menyembunyikannya karena tahu kami berdua sama takutnya. 

Aku menyerah dengan rasa panas dingin yang diiringi getaran tak menentu yang semakin menjadi jadi, mencoba meredakan semuanya dengan berwudhu. Tapi aku masih merasa kurang hingga aku sholat dan merasakan perubahan yang nyata. Panas dingin itu seolah menjauh dan yang lebih utama hatiku mulai tenang. Dan aku mulai bisa berpikir jernih. Jika ini adalah akhirnya jadikanlah semua ini menjadi awal yang baik dalam hidupku. Aku ikhlas apa pun takdir Tuhan untuk kami malam ini.

Kulayangkan pandanganku pada nenek yang masih terbaring tidak berdaya, tidak lagi terdengar lantunan surah Yasin olehku. Semua diam seakan meresapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Para orang tuapun menyuruh anak-anaknya untuk pulang lebih dulu. Begitu pula aku, aku beserta adikku di suruh pulang oleh ayahku. Aku sebenarnya tidak rela tapi mungkin itu adalah yang tebaik hingga kami pulang menyisakan para orang tua yang sedang musyawarah untuk langkah apa yang harus di lakukan selanjutnya.

Aku terdiam dalam rumah yang kini penuh dalam keheningan, menunggu orangtuaku pulang dan memberikan sebuah informasi yang sudah kutunggu sejak tadi. Hingga sejam setelahnya ibu dan ayahku datang dan mengatakan bahwa nenek akan di bawa ke puskesmas. Secercah harapan mulai muncul dalam benakku. Ibu beserta ayahku kembali pergi meninggalkan aku beserta adik dan kakakku yang tenggelam dalam kekwatiran.

Menunggu dalam sebuah khawatir bukanlah hal mudah, saat di mana kau merasakan satu menit itu bagi satu jam dan satu jam itu bagaikan satu hari. Dan itulah yang ku rasakan saat ini. Menunggu dengan segenap kecemasan tak berujung. Hingga orangtuaku kembali tiba dan mengatakan nenekku harus di rujuk karna pihak puskesmas sudah angkat tangan.

Pembuluh darah nenek tidak lagi mau menerima asupan dari infus yang dipakaikan. Sejenak aku terdiam kembali secercah harapan yang kucoba bangun tadi seolah luruh dalam dinginya malam. Ayahku pergi untuk menemani nenek, menyisakan kami beserta ibu yang larut dalam kecemasan.

Dan malam pun kuisi dengan kekhawatiran tanpa sekejap pun menutup mata. Meresap setiap bunyi yang entah berasal dari mana. Esok menunggu, dan entah apa yang akan terjadi besok. Sebuah hari bahagia dalam balutan duka. Sebuah luka pelengkap bahagia, bahagia dalam luka.  ***

     

Baca Juga: [PUISI] Redupnya Cahaya Bintang

Nur Ayna Photo Writer Nur Ayna

Hanya anak sekolah yang mengeluarkan emosi lewat tulisan

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya