[Cerbung] Tikus-tikus Rumah (03)

Bagaimanapun buruknya, dia pernah menyayangimu

Malam itu suhu terasa lebih dingin dari biasanya. Karena persediaan makanan kami sudah cukup sampai besok siang, aku lebih memilih tinggal di rumah dan tidur nyenyak.

Sekitar pertengahan malam, aku, Olla, dan tiga anak kami, tiba-tiba dikagetkan oleh suara tangisan yang cukup kencang. Namun, alih-alih penasaran dan memeriksa, aku lebih memilih mendengarkan dari atas. Sudah kubilang, udaranya terlalu dingin hingga membuatku malas bergerak.

"Emak nggak percaya. Emak nggak percaya kamu pergi lebih dulu."

Olla melihatku dengan pandangan yang sama. Seolah bertanya, ada apa di bawah sana?

Daripada mati penasaran, aku akhirnya bergerak. Berniat melihat situasi di bawah. Sepertinya Olla juga sama, tapi aku mencegahnya. Menyuruhnya untuk menidurkan anak-anak kembali.

Aku mengintip dari celah ruang tamu. Di sana, tampak seseorang tengah terbujur kaku dengan kepala terbalut perban. Tertidur di atas tikar dengan berselimutkan kain jarik.

Itu Warto. Dari kalimat yang kudengar, katanya dia jadi korban tabrak lari saat pulang dari tempat judi. Memanfaatkan situasi yang sepi, pelakunya kabur meninggalkan tubuh Warto yang sekarat di jalanan. Hingga akhirnya pria itu ditemukan oleh dua pengendara yang kebetulan melintas.

Di samping Warto yang terbujur kaku, Siti tampak menatap dengan pandangan kosong. Sesekali menangis, kemudian berhenti. Sementara itu, tampak juga Agus yang malah tak menangis sama sekali. Padahal untuk anak seusianya, dia pasti sudah mengerti apa arti dari kejadian yang tampak di depannya.

Pemakaman Warto dilaksanakan pagi harinya. Dengan keranda, tubuh itu dibawa ke pekuburan. Meninggalkan anak, istri, ibu, juga keluarga dekat yang menantikan pertaubatannya. Yang amat disayangkan, bahwa Warto harus meninggal dalam keadaan yang tak disangka-sangka.

Ketika semua orang satu per satu meninggalkan kediaman Siti, ibu yang kini menjadi janda itu terduduk lesu di ruang tamu. Sedangkan Agus menatapnya penuh iba tanpa mencoba berkata-kata.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Maafin Ibu, Nak. Kamu harus kehilangan bapakmu di usia ini." Siti mengatakannya dengan nada lirih. Menatap Agus yang hanya berjarak lima kepalan tangan.

"Aku baik-baik aja, Bu." Ada sedikit garis senyuman di wajah Agus. "Aku malah seneng, karena sekarang nggak ada lagi yang bakal nyakitin Ibu."

Tiba-tiba Siti tersentak dengan kalimat Agus. Matanya melotot tajam hingga membuat Agus sedikit ketakutan. Respon yang Agus tak pernah sangka.

"Kamu jangan begitu. Bagaimanapun juga dia bapakmu. Sebelum dia jadi laki-laki nggak bertanggung jawab seperti yang kamu lihat sekarang ... dia dulu sayang sama kamu."

Agus menelan ludah. Merasa perkataan yang keluar adalah kesalahan, terlebih karena dia kira ibunya akan senang sepertinya.

"Maafin Agus, Bu. Agus nggak bermaksud ..."

Sebelum Agus menyelesaikan kalimat, Siti dengan cepat merangkulnya. Wanita itu sesenggukan dalam pelukan Agus. Sebagian dari tangis yang tertahan, tumpah di bahu kecil putranya.

Sementara aku, seperti sedang menonton telenovela layaknya manusia. Tanpa sadar air mata menetes menyaksikan pedihnya kisah mereka.

"Apa menurutmu salah kalau Agus membenci bajingan itu?" Olla tiba-tiba bertanya.

Aku terdiam sejenak, sebelum akhinya berkata, "Entahlah. Tapi apa yang dikatakan Siti ada benarnya. Bagaimanapun laki-laki itu tetap bapaknya Agus. Bagaimanapun buruknya."

Baca Juga: [Cerbung] Tikus-tikus Rumah (02)

Nur Dik Yah Photo Writer Nur Dik Yah

Just Fiction! Kita, dan segala cerita yang ada. Follow instagram @dikyahnur

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya