[Cerbung] Tikus-tikus Rumah (02)

Tetangga samping rumah

Alasan aku dan Olla tidak tinggal di rumah besar nan mewah ini, adalah karena kucing besar yang menyebalkan. Bulunya lebat dan menurut pengalamanku, dia bukan kucing kampung pada umumnya. Akan tetapi kemampuan untuk menangkap kawanan seperti kami, patut diperhitungkan.

Pernah suatu hari, Dimo, adikku yang malang tertangkap oleh kucing besar itu. Tidak sampai dimakan, tapi cakaran, gigitan, dan bahkan efek dari dilempar ke sana kemari layaknya bola mainan, membuat Dimo sekarat dan akhirnya mati di tong sampah. Aku sendiri masih sering sedih jika mengingat kejadian itu. Sebab tak bisa berbuat apa-apa di saat-saat terakhir Dimo.

Aku datang kemari melalui celah di bawah pagar besi pintu belakang. Celah itu kubuat dengan mengeruk tanah di bawah pagar, sehingga tubuhku bisa leluasa melewatinya.

Hal yang selalu jadi target utama, adalah tempat sampah di rumah mewah ini. Berbeda dengan tempat sampah di rumah Warto yang isinya sampah sungguhan, di rumah pengusaha kaya ini, ada banyak makanan enak dibuang. Olahan roti, setumpuk nasi, atau kalau sedang beruntung, aku bahkan bisa mendapatkan daging dan sosis.

Kalau mau mendapatkan makanan yang lebih layak, aku juga bisa masuk ke dapur dengan melewati palang yang kemudian terhubung dengan kabel tebal.

Oops! Aku hampir saja terjatuh. Kulihat kucing besar itu sepertinya memergokiku. Dia berdiri di dekat pintu dapur dengan pandangan waspada. Tempat persembunyianku terlalu sempit. Tak mungkin untuk bergerak dan kabur. Jadi pilihan terbaik adalah menunggu.

"Boy!" Gadis yang seumuran dengan Agus, mendekati kucing jelek itu dan menggendongnya. "Waktunya Cat-Time."

"Dek, cepetan. Kakak buru-buru, nih!" Itu suara Rion. Kakaknya Rina, gadis penyelamatku.

"Iya, Kak!" Rina tampak sedikit berlari sambil menggendong Boy yang kudengar mengeong manja seperti bocah baru belajar berjalan.

Usia Rina hampir sama dengan Agus. Kemungkinan besar mereka juga ada di kelas yang sama.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ngomong-ngomong, hari ini memang jadwalnya si Boy untuk pergi ke salon. Maka dari itu, aku sedikit kaget saat melihat kucing besar itu masih di rumah dan mengawasi dapur.

"Rion, hati-hati. Bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut." Suara lembut itu milik Arsi, nyonya besar di rumah ini.

Selain keluarga inti, di rumah ini juga ada Mbok Darmi. Nenek usia enam puluhan yang bertugas memasak. Ada juga Siti yang sering kali kulihat menyapu, mengepel dan mencuci pakaian.

"Mbak Siti, tolong ini dicuci juga, ya."

Sementara mendengar percakapan itu, aku menikmati daging ayam di balik rak piring berpintu.

Belum lama, mungkin sekitar lima menit kemudian, seorang pria masuk ke rumah tanpa mengucap salam atau apapun. Kemudian Arsi menyambutnya dengan cipika-cipiki ala anak muda.

"Maaf, aku telat."

"Nggak, kok. Anak-anak baru aja berangkat." Arsi membubuhi senyuman dalam kalimatnya. Manis sekali. Bisa membuat siapa pun yang melihatnya bertekuk lutut saat itu juga.

Terang saja, itu bukan Hans, suami Arsi yang tengah bisnis di luar kota. Entah dia siapa, yang jelas aku sering melihatnya sekitar tiga bulan terakhir. Setiap kali anak-anak tidak ada di rumah, pria itu pasti datang. Kadang-kadang membawa kue lezat, kadang setangkai mawar merah yang diberikan bersama kecupan di dahi. Sikap mereka sudah selayaknya suami dan istri. Jadi kesimpulan yang kudapat; Arsi berselingkuh.

Tak pernah ada respon dari saksi mata seperti Mbok Darmi dan Siti. Mereka melihatnya, tetapi menutup mata dan telinga. Adalah suatu kelebihan yang dimiliki Arsi untuk mempekerjakan orang-orang yang pandai menutup mulut.

Baca Juga: [Cerbung] Tikus-tikus Rumah (01)

Nur Dik Yah Photo Writer Nur Dik Yah

Just Fiction! Kita, dan segala cerita yang ada. Follow instagram @dikyahnur

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya