[CERPEN] Library

Kita, yang kadang terjebak antara nyata dan ilusi

Ada banyak koleksi buku di perpustakaan yang super luas ini. Mulai dari buku pengetahuan umum, buku-buku fiksi, bahkan koran yang punya rak khusus di sudut kiri dekat koleksi majalah.

Tak ada yang khusus dengan semua itu. Aku pun bukan remaja cerdas dengan kacamata tebal yang menjadikan perpustakaan sebagai ikon keren untuk menghabiskan waktu. Benar-benar hal yang memuakkan ketika di kelas berjibaku dengan matematika, kimia, dan seabrek mata pelajaran lain, kemudian otak masih harus bermain-main dengan buku.

Mungkin apa yang aku bicarakan mulai saat ini akan terkesan dibuat-dibuat, tapi percayalah, semua adalah benar adanya.

Saat itu hari Senin, ketika aku terlambat datang ke sekolah, karena tidak ada seorang pun yang membangunkanku. Papa di luar kota, mama menunggu eyang di rumah sakit, sementara si Tolol —maaf, maksudku Kak Andre, daripada mempersiapkan kuliahnya di jam 9 nanti, dia lebih memilih memeluk guling Doraemon kesayangannya.

Sudah cukup terlambat bagiku untuk datang ke sekolah tepat waktu. Padahal saat itu adalah hari pertamaku di sekolah yang baru. Anyway, aku baru saja pindah sekolah karena suatu alasan yang tak mungkin aku jelaskan panjang lebar.

Aku kira, aku akan menjadi satu-satunya yang terlambat. Mungkin tidak seharusnya tersenyum, tapi aku benar-benar merasa beruntung. Setidaknya aku tidak akan dihukum sendirian. Lagipula, di kota ini, sekolah mana yang muridnya tak ada yang terlambat di hari Senin yang menyebalkan? Kalau memang nihil, paling-paling mereka putar balik begitu tahu gerbang sudah ditutup. Kemudian berakhir dengan nongkrong di warung, sudut-sudut jalan, atau bahkan mall dengan mengganti seragam terlebih dulu.

Namun sekali lagi, rasanya dunia sedang memihakku. Ketika semua anak dihukum lari mengelilingi lapangan upacara sebanyak 10 putaran, aku justru hanya diminta membantu Pak Suyono —salah satu petugas kebersihan sekolah— untuk membersihkan perpustakaan.

Kesan pertama untuk perpustakaan sekolah ini; luas dan bersih. Dibandingkan dengan sekolahku sebelum ini, mungkin dua kali lipatnya.

"Perpustakaannya selalu sebersih ini ya, Pak?"

Pria dengan baju biru muda itu menoleh. Sepertinya cukup terkejut dengan kedatanganku.

"Eh, maaf, Pak kalau ngagetin. Saya Arka, murid baru kelas 11." Aku berkata dengan sopan, kemudian menjelaskan alasanku kemari. Mulai dari terlambat sampai tugas hukuman dari guru berkepala botak tadi.

"Pantas nggak pernah lihat. Kalau gitu, Nak Arka bersihkan di sudut sana saja." Pak Yono menunjuk pada deretan rak di sebelah selatan. "Ini kemocengnya."

"Ini saja?" Aku menerima benda berbulu itu dari Pak Yono.

"Seperti yang Nak Arka lihat. Di sini sudah cukup bersih. Kalau pun ada debu, nggak sampai satu senti," jelas Pak Yono. "Oh, ya. Kalau ada buku-buku yang kurang rapi, atau mungkin salah tempat, Nak Arka bisa bereskan, kan?"

Aku mengangguk kecil, kemudian memisahkan diri dari Pak Yono. Ini sungguh tugas yang mudah.

Di deretan yang sedang kubersihkan ini, banyak novel berjajar. Samping kanan ada novel-novel karya penulis indonesia —itu sangat jelas dari namanya. Sementara di sebelah kiri, jika aku tidak salah tebak, sepertinya novel terjemahan. Tak ada satu pun dari buku-buku itu yang membuatku tertarik. Yah, karena aku memang bukan pecinta buku bacaan, apalagi sekelas novel yang punya banyak bab.

Sebab merasa bosan, aku kemudian sibuk mengitari deretan rak-rak lain ketika tiba-tiba kulihat seorang gadis ada di salah satu ujung rak komik. Berdiri sambil menekuri salah satu buku.

Menyadari kehadiranku, gadis itu menoleh kemudian tersenyum kecil. "Anak baru, ya?

Aku mengangguk, lalu menghampiri dan berdiri kira-kira tiga langkah darinya. "Kok ada di sini? Bukannya di kelas?"

"Lagi jam kosong," jawabnya singkat lalu kembali menekuri komik.

Mungkin karena dia terlalu cantik, aku sampai lupa memperkenalkan diri. "Oh, iya. Aku Arka. Kamu bener, aku siswa baru di sekolah ini."

"Rania, panggil aja Nia." Dia membalas uluran tanganku. "Kelas 11 IPA-3".

"Wah, sama dong!" Aku berseru sangking girangnya.

Kemudian obrolan kami berlanjut sampai sekitar lima belas menit, ketika tiba-tiba suara Pak Yono memanggilku dari kejauhan.

"Bentar, ya. Kayaknya Pak Yono butuh bantuan."

Nia mengangguk dan tersenyum.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Butuh melewati beberapa deret rak untuk menghampiri Pak Yono yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Kamu Nak Arka, ya? Murid baru itu?"

Aku mengernyit. Bukankah aku tadi sudah memperkenalkan diri? Apa mungkin Pak Yono punya tanda-tanda demensia dini?

"E-eh, iya Pak." Aku menjawab sekadarnya, berharap bisa memahami situasi berikut orang yang ada di hadapanku.

"Pak Anwar bilang kamu telat dan disuruh bantu saya."

Aku mengangguk membenarkan.

"Tadi saya juga telat. Soalnya mertua masuk rumah sakit."

What? Seketika aku merinding. Apa maksudnya? Aku menoleh pada deretan rak yang lengang. Bukankah tadi Pak Yono ... ?

"Kalau gitu, ayo bantu Bapak ambil peralatan di gudang."

Aku mencekal lengan Pak Yono sebelum beliau sempat melangkah. "Bapak lupa, ya?"

Pak Yono mengernyit.

"Tadi kan kita sudah ketemu di dalam. Pak Yono juga kasih saya kemoceng, nyuruh saya bersihin deretan rak novel."

Tanpa aku duga, wajah Pak Yono berubah pias. Kemudian tanpa aba-aba, berganti mencekal lenganku dan mengajakku pergi dengan berjalan tergesa-gesa.

Setelah berjalan lumayan jauh, kami berhenti di depan ruang guru. Pak Yono melihatku dengan saksama dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Kamu nggak apa-apa, kan?"

Aku sedikit bingung, tapi kemudian menjawab, "Aku baik-baik aja."

"Yang kamu lihat tadi, semua nggak nyata. Yang kasih kamu kemoceng, meski dia mirip saya, itu bukan saya. Kalau kamu nggak percaya, kita bisa lihat mesin absensi guru dan karyawan. Saya baru saja check-in sekitar sepuluh menit yang lalu."

Aku sontak terkejut mendengar penuturannya. Badanku serasa lemas. Kejutan macam apa ini?

"Dan juga ... " Pak Yono menggantungkan kalimatnya beberapa detik. "Kalau kamu lihat gadis berambut sebahu yang punya tahi lalat di pelipis mata sebelah kanan, dan pakai cat kuku merah muda, abaikan saja dia."

Aku membayangkan sejenak kemudian berhasil menyamakan ciri-ciri itu dengan Rania, gadis yang tadi aku temui di perpustakaan untuk kali pertama.

"Kenapa, Pak?"

Pak Yono tampak menelan ludah. Melihat sekitar kemudian kembali menatapku dengan wajah serius. "Dia anak yang bunuh diri di sekolah ini tujuh tahun yang lalu. Lompat dari atap dan meninggal. Gentayangan dan sering memperlihatkan diri. Terutama sama orang baru. Semacam perkenalan gitu."

Sekali lagi, aku terperangah. Tubuhku terasa lemas, sementara otakku sudah membeku karena ketakutan.

Aku kemudian tidak jadi membantu Pak Yono membersihkan perpustakaan dan meminta hukuman lain. Aku rasa lari sepuluh kali putaran jauh lebih baik.

Sementara hal gila lain yang mendukung pernyataan Pak Yono, bahwa Senin pertamaku yang malang itu, kelasku sama sekali tak ada jam kosong. 

Baca Juga: [Cerpen] Lemari Tua

Nur Dik Yah Photo Writer Nur Dik Yah

Just Fiction! Kita, dan segala cerita yang ada. Follow instagram @dikyahnur

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya